Ilustrasi/Image source |
Semangka, jeruk, es cendol, es marimas, opor ayam, hingga kerupuk. Pada hari pertama kami berbuka puasa, hidangan itu benar-benar "berserakan" di meja makan.
Belum lagi kiriman kolak dan lauk dari abang dan ayuk saya yang rumahnya hanya seteriakan lirih dari rumah orangtua saya.
Tetapi akhirnya tak semua makanan itu termakan walau sore harinya dalam bayangan saya akan habis bis. Perut saya menolak untuk menampungnya semua. Saya kekenyangan.
Belum lagi kiriman kolak dan lauk dari abang dan ayuk saya yang rumahnya hanya seteriakan lirih dari rumah orangtua saya.
Tetapi akhirnya tak semua makanan itu termakan walau sore harinya dalam bayangan saya akan habis bis. Perut saya menolak untuk menampungnya semua. Saya kekenyangan.
Dan hal itu biasanya akan berlangsung sampai beberapa hari ke depan (maksimal sampai hari ke-15 karena setelah itu anggaran tentu akan dialokasikan untuk hal-hal lain seperti kue, baju, dan seperangkat kebutuhan perayaan hari kemenangan).
Hingga pada hari kelima kemarin, saya membuat keputusan penting: tidak makan nasi saat berbuka puasa.
Keputusan itu saya ambil semata-mata agar saya tidak malas, ngantuk, dan berat mengangkat badan saat salat tarawih yang 23 rakaat dan berlangsung cepat itu. Setelah selama dua malam sebelumnya, saya merasa teramat tersiksa karenanya
Hingga pada hari kelima kemarin, saya membuat keputusan penting: tidak makan nasi saat berbuka puasa.
Keputusan itu saya ambil semata-mata agar saya tidak malas, ngantuk, dan berat mengangkat badan saat salat tarawih yang 23 rakaat dan berlangsung cepat itu. Setelah selama dua malam sebelumnya, saya merasa teramat tersiksa karenanya
Hal serupa mungkin juga terjadi di keluarga Anda, terlebih jika kemampuan finansial sangat mendukung.
Waktu berbuka puasa akan menjadi momen balas dendam setelah seharian menahan rasa lapar dan haus --juga syahwat, nafsu untuk menggosip, riya’ dan lain sebagainya.
Waktu berbuka puasa akan menjadi momen balas dendam setelah seharian menahan rasa lapar dan haus --juga syahwat, nafsu untuk menggosip, riya’ dan lain sebagainya.
Saya lantas jadi bertanya-tanya, sejatinya kapankah saya harus berpuasa?
Mampu menahan hawa nafsu, lapar, haus, ucapan, dan perbuatan di saat saya sedang berpuasa, rasa-rasanya itu bukanlah sebuah prestasi. Melainkan sebuah kewajaran. Kewajaran karena memang saya sedang berpuasa. Kewajaran karena saat berpuasa memang hal-hal itulah yang harus dilawan; diatur; atau ditahan.
Baru sebuah prestasi apabila saya mampu "tetap berpuasa" justru di saat diperbolehkannya berbuka. Mampu menahan untuk tidak menjadi makhluk omnivor saat berbuka.
Mampu untuk tidak bergosip dan riya’ di saat malam hari ketika tidak sedang berpuasa. Atau bahkan tetap mampu banyak bersedekah dan kenceng beribadah saat berada di luar Bulan Ramadhan.
Baru sebuah prestasi apabila saya mampu "tetap berpuasa" justru di saat diperbolehkannya berbuka. Mampu menahan untuk tidak menjadi makhluk omnivor saat berbuka.
Mampu untuk tidak bergosip dan riya’ di saat malam hari ketika tidak sedang berpuasa. Atau bahkan tetap mampu banyak bersedekah dan kenceng beribadah saat berada di luar Bulan Ramadhan.
Barangkali itulah alasan mengapa sejak hari kedua Bulan Syawal kita disunnahkan untuk berpuasa lagi. Bulan Syawal adalah bulan seleksi bagi alumnus bulan Ramadhan. Dan mereka yang mampu tetap berpuasa, bagi saya adalah orang-orang yang berprestasi.
Ini sama dengan sebuah partai yang bertahun-tahun berpuasa di tampuk kekuasaan dan memilih menjadi opisisi, hingga pada akhirnya berkesempatan menjadi partai penguasa.
Setelah menjadi partai penguasa, akankah mereka tetap berpuasa dan beroposisi terhadap dirinya sendiri yang sudah pasti sarat nafsu untuk ‘berbuka puasa’ itu?
Setelah menjadi partai penguasa, akankah mereka tetap berpuasa dan beroposisi terhadap dirinya sendiri yang sudah pasti sarat nafsu untuk ‘berbuka puasa’ itu?
Juga sama dengan seorang aktivis yang telah bertahun-tahun gigih berjuang, melawan, dan mengkritik dengan segenap keteguhan prinsip dan idealismenya, hingga kemudian ia berkesempatan duduk di tampuk kekuasaan yang selama ini sering dikritik dan dilawannya.
Setelah itu, akankah keteguhan prinsip dan idealismenya itu akan tetap melekat pada dirinya atau justru luntur sehingga ia akan menjadi sosok yang tak jauh berbeda dengan yang selama ini sering dikritik dan dilawannya?
Setelah itu, akankah keteguhan prinsip dan idealismenya itu akan tetap melekat pada dirinya atau justru luntur sehingga ia akan menjadi sosok yang tak jauh berbeda dengan yang selama ini sering dikritik dan dilawannya?
Atau sama dengan ketika kelompok minoritas yang selama ini sering menjadi objek penindasan, diskriminasi, dan bahkan hinaan, yang kemudian berkesempatan menjadi pemimpin atas kelompok mayoritas atau bahkan berkembang menjadi kelompok mayoritas.
Setelah itu, akankah mereka tetap rendah hati atau malah menjadi penindas agar kesumat yang selama ini dipendam selama menjadi kelompok minoritas bisa terbayar tuntas?;
Setelah itu, akankah mereka tetap rendah hati atau malah menjadi penindas agar kesumat yang selama ini dipendam selama menjadi kelompok minoritas bisa terbayar tuntas?;
Nah, dengan begitu berarti boleh dong saya mengatakan bahwa puasa adalah soal pergantian kesempatan? Dan kesempatan itulah sejatinya sebenar-benar ujian untuk kita. Apa yang kita lakukan dan kita makan saat kesempatan itu datang itulah yang akan menentukan siapa dirinya.
Duh, tiba-tiba saya jadi teringat dengan Abraham Lincoln. Ia pernah berkata, jika ingin menguji karakter seseorang maka berilah ia kekuasaan. Barangkali hal yang sama juga berlaku bagi orang yang sedang berpuasa. Ia akan terlihat karakter aslinya ketika sudah dalam masa berbuka puasa.
Yogyakarta, 2016
Yogyakarta, 2016