Jogja Berbatik, Sebuah Impian Untuk Kota Baik Dunia Dalam Melestarikan #BatikIndonesia - Jurnal Darul Azis

Jogja Berbatik, Sebuah Impian Untuk Kota Baik Dunia Dalam Melestarikan #BatikIndonesia

Jogja Berbatik, Sebuah Impian Untuk Kota Baik Dunia Dalam Melestarikan #BatikIndonesia

Berbatik, ilustrasi via www.vemale.com


Prolog; Sebuah Pengalaman Riil di Kota Batik Dunia

Pada Sabtu 24 September lalu, saya menghadiri wisuda dua orang kawan. Hari itu, saya datang dengan penuh antusias, selain karena memang mereka adalah teman terbaik saya, momen wisuda tersebut merupakan klimaks atas perjuangan mereka selama enam tahun di Jogja. Setelah menyaksikan sendiri dari dekat betapa berat perjuangan mereka untuk bisa lulus di waktu yang tepat (baca : mepet), rasanya akan sangat berdosa jika saya tidak turut hadir merayakan kebahagiannya. 


Rupanya hari itu saya datang agak kepagian, pukul 10.00 saya sudah berada di lokasi, sehingga  harus menunggu untuk waktu yang cukup lama karena mereka selesai pada pukul 13.00. Sambil menunggu itulah, mata saya tak henti-hentinya mengamati lalu-lalang orang. Terutama mereka yang juga menghadiri wisuda kawan-kawan terbaiknya. Rata-rata mereka berdandan necis; sepatu pantopel, kemeja, dan celana jins bermerek. Hingga kemudian, datanglah seorang laki-laki dengan mengenakan baju batik.


“Mau kondangan po Dab?” Seketika celetukan tersebut menyambut kedatangan laki-laki tadi. Karena yang nyeletuk adalah temannya sendiri dan pengucapannya pun disampaikan dengan nada bergurau, maka yang diselorohi pun hanya membalas dengan senyum. Lalu ia bergabung dengan teman-temannya, bersalaman, dan kemudian menunggu si wisudawan keluar. Sama seperti saya dan teman-teman yang lain.


Seloroh semacam itu dulu juga sering saya terima, saat saya begitu sering terlihat mengenakan baju batik di kampus. Batik, oleh sebagian besar kalangan, acap kali diidentikkan dengan kondangan, pesta atau hal-hal formal. Ini artinya, batik masih menjadi kain yang ‘sakral’ dalam pergaulan sehari-hari kita, terlebih bagi generasi muda. 



Duh, apakah batik memang sekurang populer itu?


Sampai saat ini saya belum berani menyimpulkan. Hanya saja dalam beberapa bulan ini kebetulan saya mengikuti edisi Selisik Batik Harian Kompas, dan dari sanalah saya memperoleh pandangan baru soal batik. Pertanyaan saya di atas mulai sedikit terjawab pada hari Minggunya, yakni tanggal 25 September, ketika saya berjumpa dengan edisi batik jogja dan batik solo. Bahwa ternyata, secara historis batik adalah kain eksklusif yang menjadi sandang utama orang-orang keraton (kerajaan). Batik menyiratkan kasta dan strata sosial dalam sistem pemerintahan monarki. Para pengrajin batik pun dulu hanya orang-orang keraton.


Hal itulah yang barangkali membuat batik jadi terkesan formal, mewah, ataupun eksklusif. Jika kemudian yang merasakan adalah orang luar sih sebenarnya tak apa-apa. Malah bagus. Karena artinya, batik menjadi berharga dan adiluhung. Namun jika yang merasakan adalah kita sendiri, itu adalah sebuah kemunduran--di era demokrasi seperti sekarang ini-- dan menandakan betapa rasa rendah diri itu masih menjadi baju kita. 



Minimnya Visualisasi Batik

Cause visual speak louder. Saya melihat kalimat itu pada sebuah billboard di kawasan jalan Lingkar Utara, dan saya membenarkannya. Tulisan “Ayo cintai batik”, saya yakin tak akan lebih menarik dari batik itu sendiri. 


Namun sayangnya, meskipun Jogja sudah dijuluki sebagai kota batik dunia, visualisasi batik di kota ini masih sangat minim. Padahal, di balik predikat Jogja kota batik, ada konsekueni logis dan tanggungjawab moral untuk membuktikannya. Saat ini, untuk melihat batik, di Jogja kita harus pergi ke pasar Bringharjo atau kawasan Malioboro terlebih dahulu—dan masuk ke toko-toko itu. Dan di sana seseorang akan menilai batik hanya sebagai kata benda, bukan sebagai kata kerja. Padahal sebagaimana kita tahu, dalam setiap kain batik tergambar proses kerja budaya yang adiluhung dan sarat dengan nilai-nilai, yang menjadi dasar kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, batik di Jogja saat ini lebih menonjol sebagai produk industri, bukan produk budaya maupun kearifan lokal. Atau bisa dikatakan pula, saat ini Jogja lebih kentara sebagai pedagang batik ketimbang pemilik batik itu sendiri.


Terkait hal ini, saya jadi tertarik untuk mengomparasikannya dengan bus kota di Kota Bandar Lampung yang pada sisi kanan dan kirinya dilukis tapis, kain khas Lampung. Begitu juga dengan gedung-gedung di kota tersebut, selalu tersemat lambang Siger. Sampai di sini, saya juga ingat Solo. Bertandang ke kota ini, membuat mata saya kian akrab dengan batik. Bagaimana tidak, di sisi jalan banyak sekali batik motif-motif batik yang diperkenalkan. Dengan adanya upaya semacam itu, maka orang langsung akan ngecunIni kain khas masyarakat Lampung”, “Ini batik solo”. Sedangkan Jogja, sampai sejauh ini –kaitannya dengan statusnya sebagai kota batik dunia tadi- baru menonjolkan toko-tokonya saja. Sementara tempat produksinya berada nun jauh di sana, di desa-desa. Minimnya visualisasi batik di area publik inilah, yang saya pikir menjadi salah satu penyebab mengapa kita kurang begitu akrab dengan batik.

Bus Trans Lampung dengan lukisan kain tapis di sisi kanan kirinya/ Foto oleh rayapos.com

Interupsi, di Jogja sudah ada upaya visualisasi batik di area publik loh. Di nol kilometer.


Iya, betul. Tapi coba Anda amati, hanya sedikit saja orang yang meliriknya. Kemungkinan penyebabnya adalah peletakannya yang kurang tepat, yakni di bawah. Dan itu tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap daya tangkap visual kita.  Sebab yang kita inginkan di sini adalah bagaimana agar visualisasi batik di Jogja dapat dilakukan secara meluas-merata, sehingga dapat semakin mengakrabkan daya visual kita terhadap batik yang pada akhirnya dapat mengikis kesan formal sebagaimana yang saya ceritakan tadi.


Lalu gimana dong caranya?


Pertama, cara yang saya pikir paling mudah, murah, dan kemungkinan akan diterima oleh masyarakat Jogja, terutama para generasi mudanya adalah dengan menetapkan hari Jogja berbatik, melalui titah sultan sebagai raja sekaligus gubernur Jogja misalnya. Strategi ini bisa kita mulai dari kampus-kampus yang notabene menjadi tempat bertemunya mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air. Saya yakin, setiap mahasiswa pasti punya batik, baik yang dari daerah asalnya maupun batik jogja,  dan pasti tidak akan merasa keberatan jika seminggu sekali mereka mengenakannya. Jogja menjadi miniatur batik Indonesia setiap minggunya.


Dan selanjutnya bisa kita bayangkan, betapa indahnya hari itu. Jogja menjelma lautan batik dengan berbagai corak, warna, dan asalnya, berikut kisah tentang masing-masing batik. Dengan demikian, sebutan Jogja sebagai kota batik dunia pun menjadi sembada, karena telah tervisualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, di tempat-tempat umum.


Kedua, cara ini mungkin akan sedikit mengeluarkan biaya, yakni pengenalan di ruang publik melalui fasilitas publik. Bisa di bus, papan reklame, billboard, halte, ataupun di gedung-gedung. Dengan demikian, siapa pun yang berada di Jogja, baik masyarakat maupun wisatawan, akan merasakan nuansa “inilah kota batik dunia”. Dan muruah Jogja sebagai kota batik dunia akan semakin terangkat karenanya.



Ketiga, tentu dengan pagelaran dan pengenalan batik. Tahun ini, untuk pertama kalinya Pemda DIY menggelar Jogja International Batik Biennale (JIBB) yang akan diselenggarakan pada 12-16 Oktober 2016 mendatang. Pameran batik dua tahunan ini adalah peneguh predikat Jogja sebagai Kota Batik Dunia (World Batik City) yang diberikan oleh World Craft Council pada 2014 lalu. Dengan mengusung tema Tradition for Innovation, pagelaran JIBB akan menampilkan koleksi museum batik dari seluruh penjuru tanah nusantara. 
Jogja International Batik Biennalle 2016/ http://www.jogjabatikbiennale.com/


Tak hanya itu, dalam rangkaian pagelaran ini akan diselenggarakan pula simposium batik, pameran koleksi batik, pemilihan dimas-diajeng batik, kompetisi batik, pameran fesyen, dan karnaval di Jalan Malioboro dan workshop internasional tentang batik. Rangkaian kegiatan tersebut rencananya akan digelar di tiga tempat yakni gedung Grha Pradipta (Jogja Expo Center), Royal Ambarukmo, dan Imogiri. 


Karena itulah, diselenggarakannya acara JIBB ini menjadi angin segar bagi perkembangan batik di Indonesia. Bahwa ternyata, predikat Jogja sebagai kota batik dunia dapat menjadi pintu masuk bagi daerah lain untuk mengenalkan batiknya. Bahwa ternyata, gelar Jogja sebagai kota batik dunia itu bisa migunani tumpraping liyan, yakni daerah-daerah lain yang juga ingin memperkenalkan batiknya.


Dan yang tak  kalah penting lagi adalah, ini akan semakin mengakrabkan sensor visual kita terhadap batik.

Munculnya ide tentang visualisasi batik ini, selain karena bahwa “visual speak louder” tadi, juga berangkat dari peribahasa Jawa yang selama ini kerap kita ungkapkan ketika berbicara soal cinta. Witing trisna jalaran saka kulina, cinta dapat tumbuh karena adanya kebiasaan dan interaksi berulang. Itulah yang harus diupayakan di Jogja, yakni bagaimana menjadikan batik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Visualisasi batik di ruang publik adalah alternatif logis untuk mewujudkan hal itu. Tak hanya itu, visualisasi batik ini juga dapat menjadi upaya lain untuk menjadikan Jogja sebagai 'museum batik raksasa dunia, yang hidup, dinamis, dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Bukan museum yang berupa gedung semata.



Dan itu akan menjadikan Jogja semakin istimewa.



Semoga melalui Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2016 ini, cita-cita itu dapat terwujud. 




Please write your comments

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)