Ketika sedang berkendara di Jogja, saya sering kali mendapati lampu lalu lintas di sebuah perempatan mati. Jogja, kita semua paham lah kita betapa padatnya kini. Motor membludak, mobil membanjir, menggeser pamor becak, sepeda, angkutan umum. Namun dalam kondisi seperti itu, ada saja keunikan yang menghiasinya. Coba kita bayangkan, la wong lalu lintas sedang padat kok ya lampu lalu lintasnya pake mati segala. Piye jal? Kan lak yo bajigur tenan!
Uniknya tuh di sini. Meskipun lampu lalu lintas mati, namun toh ternyata masyarakat Jogja (para pengendara itu) masih tetap bisa “menyelamatkan diri’ dari bahaya kecelakaan lalu lintas. Ndak pernah saya lihat tuh, ketika lampu lalu lintas mati, njukada orang tabrakan, ndak pernah saya lihat. Ndak pernah saya lihat juga bahkan, orang yang menerobos lampu kuning, kadang juga merah, tabrakan dengan orang dari depan atau sampingnya.
Mengapa bisa demikian? Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari kita review betapa jeleknya cara polisi lalu lintas kita dalam menyosialisasikan etika berkendara. Polantas kita selama ini hanya memasyarakatkan kedisiplinan dan keteraturan dalam berlalu lintas. Coba lihatlah di baliho-baliho, spanduk-spanduk yang dipasang oleh Polantas kita, tidak ada kan yang berisi imbauan agar masyarakat bisa menjaga diri dari bahaya kecelakaan lalu lintas? Ndak ada kan? Yang ada tuh masyarakat disuruh disiplin dan teratur. Iya kan?
Jangkrik ik, untuk selamat itu harus disiplin dan teratur, Le. Utekmu ki mlaku ora Je?
Iya Mas, tapi itu tidak berlaku universal. Masyarakat kita itu sudah terlalu pintar untuk ditertibkan dan didisiplinkan. Masyarakat kita juga tidak buta pada aturan. Mereka semua sudah tahu. Semakin mereka didisiplinkan, ditertibkan, dan diatur, semakin memberontaklah mereka. Orang yang dipaksa disiplin, dipaksa teratur, dan dipaksa tertib itu tidak akan pernah menyadari untuk apa kedisiplinan dan ketertiban itu, selain agar tidak berurusan dengan aparat (yang menurut mereka kebanyakan) keparat itu. Cuman itu.
Sekarang begini sajalah, kalau sampeyan hendak menerobos lampu merah, hal pertama yang menjadi pertimbangan sampeyan pastilah ada polisi atau tidak. Iya kan? Kalau ada polisi, pasti ndak berani. Iya kan? Kalau tidak ada polisi, pasti lanjut, iya kan? Baru, setelah merasa aman dari polisi, sampeyan tengok kanan dan kiri, kira-kira bisa menerobos rambu-rambu lalu lintas dengan selamat atau tidak. Ternyata, kita selama ini, jauh lebih takut pada Polisi atau aparat ketimbang dari bahaya kecelakaan lalu lintas. Iya kan?
Contoh lain, ketika dulu saya melanggar rambu-rambu lalu lintas, di pos polisi saya langsung ditanya apa salah saya, karena pura-pura tidak tahu, saya langsung dicekoki pasal-pasal yang puanjang dan berbelit kalimatnya, sehingga saya jadi pusing karenanya. Kemudian, oleh polisi itu, saya juga langsung diberitahu berapa nominal rupiah yang harus saya bayarkan kepada polisi Negara -jika mau "damai" di tempat. Tapi, jeleknya, setelah itu, saya tak diberi tahu tuh kalau perbuatan saya itu, misalnya, bisa membahayakan diri sendiri dan pengendara lain. Tidak, sama sekali tidak! Pancen Jancuk tenan kok!
Untuk itulah, baliho-baliho itu, seharusnya bukan berisi ajakan untuk tertib berlalu lintas, tapi selamat berlalu lintas. Sosialisasi Polantas kita, dengan begitu dangkalnya, namun dengan begitu arogannya, nyuruh-nyuruh masyarakat agar disiplin. Tapi tidak mengajak masyarakat untuk berusaha menyelamatkan diri dan orang lain ketika berkendara. Padahal esensi adanya rambu dan lampu lalu lintas yang sebenarnya ya itu tadi : untuk mendukung terciptanya keselamatan dalam berkendara.
Tapi meskipun demikian, apakah masyarakat akan bergantung pada aturan lalu lintas? Ternyata tidak tuh! Kita ini sedang membicarakan Jogja loh, di tempat ini banyak sekali orang pintar, berbudaya, sopan dan santun. Tapi kenapa ketika lampu mati, semua tidak lantas tertib menunggu, melainkan mlipir-mlipir agar bisa segera menyeberangi perempatan? Loh, memang yang dipentingkan itu disiplinnya? Kan bukan! Yang penting itu keselamatannya. (Wah jan, sesat tenan iki.)
Walaupun lampu lalu lintas mati, tapi karena masyarakat sadar kalau mereka harus menjaga keselamatan diri dan orang lain (karena keselamatan diri mereka juga akan memengaruhi keselamatan orang lain), maka semakin berhati-hatilah mereka, walaupun mereka semua jelas-jelas melanggar aturan. Dengan tidak adanya aturan seperti itu, masyarakat ternyata akan lebih sangat berhati-hati dalam menyeberangi perempatan, agar sekali lagi, mereka semua selamat. Di sinilah indahnya ketika kita menemukan lampu lalu lintas yang mati di Jogja. Semua selamat. Tidak ada yang tabrakan. Karena semua saling menjaga -walaupun mereka semua tidak tertib, tidak disiplin, dan tidak teratur.
Sekarang, lebih penting mana, ajakan untuk disiplin berlalu lintas atau ajakan untuk selamat dalam berlalu lintas? Pembaca bebas memilih yang pertama, ataupun yang kedua. Sing penting, ketika panjenengan berkendara, mohon pertibangkan beberapa saran sederhana ini. Berdoa, ngati-ngati, eling, dan waspada. Karena sebeja-sebejane wong lali, isih beja wong engkang eling lan waspada.