Cinta; Pertemuan yang Tidak Akan Pernah Selesai. - Jurnal Darul Azis

Cinta; Pertemuan yang Tidak Akan Pernah Selesai.

Cinta; Pertemuan yang Tidak Akan Pernah Selesai.

Sebetulnya, aku telah merencanakan ini sejak lama. Dengan pertimbangan yang matang pula, sebagaimana dulu aku memilihmu. Cara ini, caraku mengajakmu untuk mensyukuri pertemuan-pertemuan kita selama ini, sepertinya juga belum pernah dilakukan oleh siapa pun. Iya, rasanya memang belum pernah ada sepasang kekasih yang merayakan tanggal istimewanya dengan menulis di blog. (kalau tak percaya cek saja sendiri di kolom pencarian Google =P)Iya, mas, mbak, kami memang sedang syukuran)









Dik, aku pinta kau akan selalu setia sejak awal, aku percaya bahwa kita itu dipertemukan. Aku tak pernah merasa menjemputmu. Pun kamu bagiku, tak pernah dengan sengaja dan niat banget datang padaku. Kau, aku, kita, dipertemukan oleh Tuhan, waktu, dan takdir. Kalau kau setuju dengan pernyataanku ini, kau boleh melanjutkan untuk membaca kalimat-kalimat di bawahnya. Tapi kalau kau tak setuju, masa’ iya ndak setuju? Beneran? Ntar nyesel loh kalau ndak baca sampe selesai. Tuh kan, makanya lanjut baca aja. 

Ketahuilah Fa, bahwa hakikat cinta adalah pertemuan. Ketahuilah pula, bahwa pertemuan-pertemuan itu kelak tak akan pernah selesai. Demikianlah cinta. Ia tak pernah selesai dan akan terus berlanjut. Karena hanya untuk itulah tujuan Tuhan menciptakan cinta di dunia ini ; mempertemukan, memisahkan untuk sesaat atau untuk waktu yang lama dan mempertemukannya kembali. Agar mereka terus saling merindukan, saling mengingat, dan berjalan menuju pertemuan-pertemuan itu. Dengan segenap doa yang tak pernah terhenti untuk dilafal. (Contohnya : Kakek dan nenek kita, Mbah Adam dan Mbah Hawa)
Dalam pertemuan-pertemuan itu, meski kita tak cukup menyadari, kita sering kali menjadi sepasang anak-anak, menjadi sepasang teman, menjadi seintim sahabat, menjadi setali saudara, menjadi semesra kekasih, dan (malahan sering) juga menjadi orang alay. Apakah semua itu kita sengaja? Oh, tentu saja tidak. Itu semua alamiah. Semesta mendorongmu, mendorongku. Dan bukankah memang kita hanya akan menjadi itu-itu saja dalam hidup ini.
(#Kapanromantisnya? Hei, bukankah itu semua adalah sebentuk keromantisan yang tak terencana, tersengaja, dan terpamerkan ke orang-orang? Kalau begitu, mana yang lebih indah, mana yang lebih romantis?)
Dalam pertemuan-pertemuan itu pula, Yong, kita berusaha untuk terus saling membaca, mempelajari, memahami, dan tentu saja saling mengingatkan. Kemudian, di pertemuan-pertemuan selanjutnya, kita akan membawa catatan masing-masing yang merupakan hasil upaya kita untuk berubah menjadi lebih baik. Dan saat itu, makin nampaklah kebodohan-kebodohan kita, sehingga menuntut kita untuk terus belajar dan berusaha.  Bersama-sama. Demikianlah seterusnya. Demikianlah semua umat manusia -meski tak banyak yang menyadari itu. (Cinta = belajar bersama-sama)
Sehingga sebaiknya, Nem, kita terus meyakini bahwa pertemuan dan perjalanan kita yang baru tak lebih lama dari waktu bumi mengelilingi matahari (entah teori mana yang benar, bumi yang mengelilingi, atau matahari yang mengelilingi bumi. Untuk mendapatkan jawabannya, jangan sekali-kali kau tanyakan itu pada mahasiswa semester tua yang sebenarnya masih belum menghendaki kelulusannya) ini masih akan berlanjut dan kita belum merasa lelah karenanya. Itu waktu yang sangat singkat menurutku dan barangkali menurut waktu itu sendiri. Jadi, siapkanlah tenaga, hati, dan pikiranmu untuk menghadapi pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Are you ready? Kalau aku sih yes! *Siul-siul
Oh iya, dulu (tepatnya pada tanggal 9 April 2014), ketika banyak orang membicarakan pemilihan caleg jagoannya masing-masing, kita juga yang tak mau ketinggalan, hanya saja tujuannya yang memang sangat berbeda. Saat itu kita berbicara tentang pilihan, tepatnya keptusan untuk saling memilih. Jika barangkali memang ada orang yang ngintip postingan ini karena kepengen baca suratku yang tak terlalu bagus ini, okelah, sebaiknya kita kasih mereka bocoran apa itu sebenarnya keputusan untuk saling memilih. Jadi begini, Mas, Mbak, setelah kita ini percaya bahwa hakikat cinta adalah pertemuan, maka selanjutnya kita hanya akan dihadapkan pada pilihan untuk memilih.
“Aku memilih kamu.”
         “Untuk kucintai. Titik.” Demikianlah kalimat singkat itu dulu kami ucapkan, yang jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, kami percaya semesta akan mengamini sebagai sebuah doa. Dan si pemilih dan yang dipilih akan diberkati Tuhan untuk mengalami pertemuan-pertemuan sebagaimana telah kusebutkan di tadi. Hanya itu kok, sederhana bukan?
Sebab apa aku dulu berkata demikian? Kau tahu Yong, sebab di luar sana, masih banyak sekali orang-orang yang hanya memilih tanpa mencintai, apalagi mencintai tanpa mendoakan. Padahal memutuskan untuk memilih mencintai adalah jalan terbaik bagi manusia untuk dapat menemukan makna-makna cinta; yang terhimpun dalam setiap bait doa.
Jadi, agar kita dapat memaknai cinta proses yang sebaiknya dilewati adalah memutuskan terlebih dahulu pilihan untuk mencintai. Titik. Selanjutnya, semua akan mengikuti dengan sendirinya (termasuk keromantisan, rezeki, anak, dan lain sebagainya).
Mengenai surat ini, aku sama sekali tak punya tujuan untuk beromantis-romantis, bernyeleneh-nyeleneh, atau beranti-mainstream, dan ber-ber lainnya (tapi kalau kau menganggap ini romantis dan lain-lain, ya silakan, aku ndak melarang). Sekali lagi, ini semua alami. Lagi pula, aku ini kan toekang ketik, rasanya kok ya enggak fair banget kalau aku enggak pernah ngetik, ngepos di blog, dan membagikan ke banyak orang; tentang kamu, aku = kita.
Apalagi mengenai waktu penulisan surat ini yang jatuh pada hari Rabu, sumpah, ini tak ada hubungannya dengan buku “The Wednesday Letter”nya Jason F. Wright yang kubaca belum lama ini. Aku menulisnya di hari Rabu karena kupikir memang tak ada waktu lain yang lebih tepat untukku menulis ini. Kau kan juga tahu, mesin ketikku lagi dirawat di sebuah Salon Perawatan Mesin Ketik di jalan Krasak Timur. Kalau saja ndak ada pinjaman laptop dari seseorang yang baik hati, meski agak cerewet dan doyan selfie itu, aku ndak tahu apakah tulisan ini akan jadi atau tidak. Apakah itu semua kebetulan, hooohoo, enggak dong. Itu semua tidak kebetulan. Sekali lagi, itu sungguh alami. Begitu pula dengan rasa kantuk yang mulai menyerangku ketika aku menulis ini sehingga aku harus segera tidur. Itu semua alami.
Terakhir, yang juga harus kau tahu sayang, semua yang telah kita alami semakin menyadarkanku bahwa tak ada alasan bagiku untuk tidak mensyukuri semua itu, termasuk pertemuan-pertemuan kita yang berwarna-warni seperti pelangi-pelangi yang telah dilukis oleh Sang Maha Agung (ini bukan lagu loh). Sampai bertemu esok lagi Dik, Yong, Nem, Fa, Sayang. :)
(Apa menurutmu aku masih harus berkata I Love You? Kalau iya, aku tak akan melakukannya. Kupikir, ini sudah cukup. Ini adalah puisi terpanjang yang pernah kutulis : hanya untukmu)

Yogyakarta, 8 April 2015

1 comment