Jon Jandai [Foto via A New Breed of Dragon ] |
Ini adalah bagian kedua dari transkrip pidato Jon Jandai, petani asal Thailand yang sangat menginsipirasi saya. Dalam pidatonya kali ini, ia berbicara soal pendidikan bagi orang-orang miskin. Ia juga menyoroti konsep pendidikan yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak. Yakni pendidikan yang menyenangkan. Pendidikan yang membebaskan, penuh cinta, dan pendidikan yang mengajak humanis.
Berikut transkrip pidatonya!
"Hari ini, saya ingin berbagi tentang pendidikan. Mungkin ini akan berbeda dengan apa yang selama ini Anda pikirkan.
"Dulu saya berpikir bahwa pendidikan (formal, DA) akan membuat kita lebih baik. Pendidikan bakal membawa kita pada kesuksesan. Saya berpikir demikian dan berusaha keras untuk 'maju', dengan belajar sebanyak mungkin.
"Namun yang saya temukan justru sebaliknya. Teman-teman sekolah saya berjumlah 60 orang. Anak yang paling pandai, sekarang menjadi pegawai negeri dan punya banyak utang. Kebanyakan dari mereka, bisa membiayai sekolah dengan cara orangtua mereka menjual kerbau.
“Ada pula yang sampai menjual sawah dan berutang. Namun ketika mereka lulus sekolah, mereka tak bisa mendapatkan pekerjaaan, dan tak bisa menebus sawah orangtua mereka yang terjual. Mereka adalah pekerja tanpa keterampilan yang terus bekerja keras membanting tulang.
"Hal itu membuat saya berpikir : pendidikan bagi orang miskin adalah perjudian.
"Para orangtua itu bekerja keras selama lebih-kurang 20 tahun agar bisa membayar sekolah anak-anak mereka. Tapi anak-anak mereka tak bisa mendapatkan pekerjaan.
"Dari sudut pandang orang miskin, pendidikan sangat menyiksa kami. Kami belajar giat. Tapi apa yang kami pelajari tidak kami butuhkan dalam hidup ini. Kenapa kami harus menghabiskan waktu 20 tahun, dan membuang banyak uang, hanya untuk hal yang tidak akan kita pakai dalam hidup ini?
"Saya ingat bahwa saya membenci matematika. Tapi saya mencoba memahami Sin, Cos, Tan, Pi, dll, dan sampai sekarang saya tak juga tahu siapa yang menemukan teori tentang akar kuadrat.
"Banyak teman saya belajar bahasa Inggris dari SD sampai kuliah. Dari 60 orang itu, tak ada yang bisa berbahasa Inggris. Hanya saya yang bisa sedikit-sedikit. Kenapa kami tak bisa? Karena sebetulnya guru-guru kami pun tak bisa. Kalau begitu, kenapa kami harus mempelajarinya? Kenapa kami harus membuang waktu kami yang sangat berharga? Setiap detik waktu adalah berharga. Dan kami membuangnya dengan sia-sia.
"Ketika saya punya anak, saya mulai berpikir mendalam soal pendidikan. Apa sebetulnya pendidikan itu? Saya berpikir bahwa setidaknya ada dua hal yang diambil oleh pendidikan dari hidup kita ini.
"Pertama adalah cinta. Cinta dimulai ketika kia dekat, terikat, dan berbagi. Tapi ketika kita pergi ke sekolah, cinta mendadak hilang. Karena ikatannya terputus. Apakah Anda masih ingat salah satu saat tersedih dalam hidup ini? Yaitu ketika Anda diantar orangtua Anda pergi ke sekolah untuk pertama kalinya. Bagaimana bisa, di awal pendidikan anak kita, kita telah membuatnya menangis dan bersedih? Bukankah sebelumnya dunia begitu menyenangkan? Kenapa kita menekan mereka untuk belajar sesuatu yang tidak mereka sukai?
"Ketika saya masih muda, Komunisme diperkenalkan di Kamboja, Laos, dan Vietnam. Rumor yang beredar seperti ini : Jika kita menganut komunisme maka anak-anak kita akan dicuci otak mereka, orang dewasa dipaksa bekerja, dan orang-orang sepuh hanya bisa makan semangkuk mie dalam sehari. Saya sangat takut. Saya sering menangis sendiri karena ketakutan. Kenapa? Karena saya sangat menyayangi orangtua saya, dan saya tidak mau berpisah dengan mereka.
"Dan sekarang, apa yang dulu membuat saya takut dan menangis, menjadi hal yang lumrah terjadi... Saya benar-benar tidak mengerti, kenapa kita memisahkan anak-anak dari orangtua mereka? Rasa cinta bukanlah sekadar insting. Dia dikembangkan. Dia diwariskan....
“Dan kita sekarang berhenti mewariskan cinta kepada anak-anak kita. Kita menghentikan keterikatan agar kita kelak hidup sendiri-sendiri.
"Hal kedua yang diambil oleh pendidikan dari kehidupan kita: kreativitas.
"Kreativitas tumbuh paling baik di usia sebelum 10 tahun. Ini adalah periode ketika otak begitu bebas dan merdeka. Anak-anak mengembangkan kreativitas dengan pasir, daun, kayu, dll. Di tangan mereka, semua itu bisa menjadi apa saja. Itu adalah fase perkembangan kreativitas terpenting dalam hidup kita. Ketika kita makin dewasa dan menua, kreativitas kita makin menurun. Karena otak kita makin dipenuhi dengan informasi. Kita lebih banyak meniru dan mengikuti pikiran orang lain.
"Lihatlah negara kita (Thailand). Ketika kita ingin mengembangkan sesuatu, misalnya pemilu dan demokrasi, kita harus meniru negara lain. Kenapa? Kenapa kita harus meniru mereka? Karena kita tidak diajar untuk berpikir mandiri. Tidak dilatih untuk menjadi kreatif.
"Anak-anak di usia sebelum 10 tahun tak seharusnya 'belajar'. Mereka saatnya bersenang-senang, bermain, dan berbahagia. Merasa bebas. Merasa kreatif. Merasa bisa mengerjakan apa saja.
“Tapi apa yang terjadi? Kita mengirim anak kita yang berusia 3 tahun ke prasekolah. Memaksa mereka dengan sekian daftar les dan kursus. Membawa tas yang lebih berat dari tas kita sendiri. Kita memberi tekanan kepada mereka sejak dini. Mereka layu sebelum mekar. Kenapa kita begitu kejam kepada anak-anak kita? Akan mereka lebih cerdas jika belajar lebih banyak dan sekolah lebih dini?
"Lihat. Ada banyak universitas di negeri ini. Ada banyak sekali sarjana. Tapi sekarang banjir di Bangkok menjadi masalah yang besar. Dulu juga sudah ada banjir. Tapi banjir yang biasa saja. Sekarang menjadi masalah yang sangat besar. Air bersih kurang dan kita harus minum dari air dalam kemasan.
"Ini adalah krisis mental dan krisis pendidikan yang tak bisa kita pecahkan. Kita belajar di sekolah hanya untuk melihat hal biasa menjadi sebuah masalah yang besar.
"Ketika anak-anak tak bisa menggunakan kreativitas, mereka stres. Lalu mereka akan terbiasa dengan stres. Dan tumbuh dewasa menjadi orang dewasa yang stres.
"Lalu seperti inilah hidup mereka: Saya lahir untuk bekerja, dibayar, dan membayar. Itu saja. Tak ada yang lain. Mereka tak banyak berpikir. Karena di sekolah mereka diajar untuk merasa patuh dan nyaman. Mereka dibuat berada dalam posisi 'di belakang garis batas'. Mereka diminta memakai pakaian yang sama, potongan rambut yang sama, dan jawaban yang sama untuk setiap pertanyaan. Mereka hanya diminta memilih: A, B, C, dan D.
"Seusai sekolah, kita juga tak diajari untuk berpikir. Kita hanya bisa patuh dan menyesuaikan diri. Ini kemudian menjadi masalah sosial: para sarjana yang punya pengetahuan tapi tak punya pekerjaan. Kita mempelajari apa yang serba jauh: bulan, bintang, presiden negara lain, berbagai jenis bebatuan, tapi mereka tak pernah belajar apapun tentang apa yg paling dekat: belajar tetang diri kita sendiri. Kita bahkan tak bisa membuat api dan memasak. Ketika kita di hutan atau taman, tak tahu tanaman apa yang bisa kita makan. Jika kita sakit, kita tak bisa melakukan apa-apa selain pergi ke dokter.
"Kita bisa sakit. Itu wajar. Alamiah. Tapi kenapa kita tak belajar cara menyembuhkan dan merawat diri kita sendiri?
"Semua yang berhubungan dengan kita sendiri tak pernah kita pelajari. Kita belajar tentang uranium dan radioaktif. Tapi kita tidak belajar tentang MSG yang kita makan tiap hari.
"Hal itu membuat saya berpikir bahwa pendidikan membuat banyak kerusakan di kehidupan manusia. Banyak orang kehilangan peluang. Ini membuat saya berpikir tentang anak-anak. Saya tak ingin anak saya menjadi seperti orang lain. Ketika saya melihat anak-anak pergi ke sekolah, saya seperti melihat mereka berbondong-bondong pergi ke pabrik untuk diproses dengan standar yang sama.
"Ada 4 hal yang saya rasa penting buat anak saya sendiri: makanan, tempat tinggal, pakaian, dan obat-obatan. Ini adalah inti pelajaran hidup. Jika kita bangun pondasi yang bagus, kita tak perlu khawatir. Kita bisa hidup dengan rasa bangga. Tapi sistem pendidikan telah menghilangkan itu semua. Kita semua mendadak ketakutan ketika kita lulus. Kita mendadak berpikir bahwa kita belum belajar apapun. Kita tak tahu apapun, dan sialnya, kita bahkan tak tahu tujuan kita.
"Jika Anda takut, Anda akan mencari sesuatu yang aman. Dan sesuatu itu bernama: uang. Dan untuk mendapatkan uang, Anda akan bekerja keras. Hidup Anda habis untuk bekerja.
"Jadi ketika saya punya anak, saya berpikir tentang pendidikan alternatif. Di Thailand, Anda boleh sekolah di rumah. Jadi anak-anak saya bersekolah di rumah. Prosesnya sederhana. Anda hanya perlu menghubungi otoritas pendidikan lokal, lalu mengembangkan kurikulum sendiri. Lalu Anda kirim kurikulum tersebut ke otoritas pendidikan lokal itu. Untuk menyenangkan Menteri Pendidikan, buatlah kurikulum sesuka Anda.
"Kemudian kita bisa mengajar dengan cara yang berbeda. Saya mengajari mereka menanam sayuran. Cara mengurus kebun. Saya juga mengajari mereka matematika dan teknologi. Termasuk saya ajarkan pula bahasa Thaiand dan bahasa Inggris. Di luar semua itu, mereka bisa mempelajarinya di alam bebas. Mereka bisa mengatur diri mereka sendiri.
"Putra saya yang berumur 9 tahun, sudah punya rumah yang dibangun dengan tangannya sendiri. Selama ini, saya tak pernah memberinya mainan lebih dari 10 buah. Dia lebih tertarik menemukan mainannya sendiri di kebun. Jika dia ingin membeli sesuatu, dia mencari uang sendiri. Dia bisa menjual sayuran untuk menbeli mainan lego. Dia bisa membuat senter dari batrei hape bekas, dan menjualnya. Saya hampir tak pernah memberinya uang. Dia begitu terlihat bahagia dalam hidupnya.
"Sementara anak saya yang berumur 11 tahun, dia bisa belajar banyak hal sendiri. Termasuk mendesain rumah. Dia bisa menjaga diri sendiri. Dan jika itu sudah terjadi maka orangtua seperti saya bisa tenang mati kapan saja.
"Saya bisa memberi banyak contoh seperti itu di lingkungan saya. Misalnya Tonkla. Umurnya 13 tahun. Dia berternak bebek. Dari bebek dia belajar banyak sekali ilmu. Dua tahun lalu, dia pergi jalan-jalan ke Amerika dari uang hasil berternak bebek. Mereka tak meminta uang sepeser pun dari orangtua mereka.
"Jadi, pendidikan tak perlu susah. Tak seharusnya menjadi beban. Seharusnya mudah dan menyenangkan. Tidak membuat stres dan frustrasi. Anak-anak seharusnya belajar tentang apa yang mestinya mereka butuhkan dalam hidup. Itulah pendidikan yang membahagiakan dan membanggakan.
"Semua itu berbeda dengan sistem pendidika yang selama ini sedang berlangsung. Kita harus bergantung pada banyak hal.
"Jadi sekarang kita bisa menciptakan pelajaran sendiri. Ini akan memunculkan keragaman. Sementara sistem pendidikan yang dikontrol ketat Kementerian Pendidikan, mencoba mengembangkan cara berpikir yang sama dan seragam. Dengan ide dan tindakan yang sama, kita akan lebih sering gagal. Keragaman itu indah.
"Jadi pendidikan mestinya lepas dari kendali ketat dari Kementerian Pendidikan. Seharusnya menjadi hak azasi manusia. Masyarakat harus mendesain sistem pendidikan mereka sendiri. Untuk menjawab kehidupan dan persoalan mereka sendiri. Dan tidak memperbudak mereka ke dalam sebuah sistem, seperti yang sekarang ini mesti terjadi.
"Saya ingin mendorong Anda berpikir: Haruskah kita lanjutkan menyiksa anak-anak kita? Atau haruskah kita mencarikan mereka alternatif?
"Terimakasih banyak..."