[Ilustrasi via Dekorasi Rumah] |
kerajinandaribambu.com ~ Di depan meja kasir, aku mengingat-ingat kembali apa yang tadi telah aku makan. Untuk memastikan agar tidak ada makanan yang terlewat untuk disebutkan, aku mengarahkan kembali pandanganku pada etalase warung.
"Nasi hati rempela, tempe, dan air putih Bu," satu per satu makanan yang telah kuambil kusebutkan secara perlahan, mengimbangi gerakan tangan wanita setengah umur itu memencet-mencet kalkulator.
"Sepuluh ribu Mas." Jawabnya kemudian.
"Pas ya Bu." Kataku sambil menaruh uang sepuluh ribuan di meja. Tepat di depannya.
"Iya Mas. Makasih." Katanya sambil melemparkan senyum padaku. Senyum yang, kuakui, sama sekali tidak dipaksakan.
Selesai membayar aku langsung pergi meninggalkan warung makan tersebut. Seorang kolega pentingku sudah menunggu di suatu tempat dan karena itu aku tidak boleh terlambat. Namun kemudian, seorang temanku, yang baru kusadari keberadaannya setelah helmnya terantuk di helmku, mengusikku dengan sebuah pertanyaan.
"Mengapa kamu tidak mengucapkan terima kasih pada Ibu penjaga warung tadi?" Tanyanya ketika kami mulai meninggalkan warung makan itu.
"Memangnya aku harus mengucapkannya?" Aku balik bertanya dan terus melajukan kendaraan.
"Aku bertanya mengapa, coba kamu jawab dulu!" Ia menghardikku.
"Aku tidak merasa harus mengucapkannya." Aku menjawabnya dengan tegas.
"Mengapa?" Ia bertanya dengan nada penuh keheranan.
"Karena aku adalah pembeli. Aku sudah membayar."
"Dan kamu pikir yang paling pantas berterima kasih hanyalah ibu tadi, yang berstatus sebagai seorang penjual? Sementara kamu sebagai pembeli tidak?" Ia bertanya lagi, seolah sedang ingin memastikan sesuatu.
"Tentu saja." Aku menjawab santai.
"Apakah kamu menganggap dia lebih rendah darimu hanya karena kamu telah membeli apa yang dia jual?" Ia terus memberondongku dengan pertanyaan lain.
Aku terdiam beberapa saat karena tak cukup siap dengan pertanyaannya.
"Tentu saja tidak. Aku tidak pernah menganggapnya seperti itu. Kupikir ini hanya persoalan teknis saja. Karena aku juga sedang buru-buru. Jadi mungkin saja aku tadi lupa." Aku berusaha berkilah.
"Aku tidak percaya." Ia langsung membantah, seolah tahu benar isi hatiku, "kalau kulihat dari caramu membayar dan juga jawabanmu tadi, aku melihat ada kesombongan yang tersembunyi dalam hatimu."
"Terserah kalau kamu tidak percaya. Yang tahu isi hatiku itu cuma aku. Kamu tidak berhak menghakimiku seperti itu."
Aku tak mau kalah dan berbalik menyudutkannya.
"Hmmm..baiklah. Kamu benar. Yang tahu isi hatimu itu cuma kamu sendiri. Dan juga Tuhan barangkali. Aku tidak berhak menghakimimu seperti itu. Maafkan aku."
Mendengar jawabannya, aku merasa menang. Namun tak lama kemudian, aku merasa sedang telanjang, di depan begitu banyak orang.
Yogya, 19 April 2017