Hujan Sore Hari di Tanah Jogja dan Upaya Menghadiri Undangan Khusus
Sore itu hujan mengguyur tanah Kasultanan Ngayogyakarta dengan begitu derasnya. Kami yang baru saja menyelenggarakan acara Ngopas (Ngobrol Pemuda dan Ketahanan Nasional) edisi kedua di Kafe Joglo Kopi di bilangan Sorowajan, sampai tak bisa ke mana-mana dan terjebak di sana dalam waktu yang cukup lama.
Acara Ngopas merupakan program rutin kami, mahasiswa program studi Ketahanan Nasional 2017 beasiswa Kemenpora, yang bertujuan untuk membahas isu-isu kepemudaan dan ketahanan nasional dari berbagai macam perspektif. Pada acara Ngopas sebelumnya (edisi pertama), kami mengundang Mantan Ketua Komisi Yudisial Dr. Suparman Marzuki. Acara diselenggarakan pada 29 September 2017 di Pusham UII. Dalam acara tersebut, Bapak Suparman berbicara Ketahanan Nasional Indonesia dalam perspektif hukum HAM.
Pada edisi kedua kali itu, kami mengundang seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ahmad Sahide, SIP., MPA. Bapak Sahide juga merupakan pengajar pada program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga. Bapak Sahide merupakan sosok yang sangat kapabel dalam menjelaskan kondisi negara politik internasional saat ini.
Walhasil, karena hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, aku, Asrari, Padlun, Faat, dan Salman terpaksa mengendap di sana. Menunggu hujan reda. Tetapi sayangnya, kopi dan kudapan yang kami pesan sudah habis sehingga obrolan kami sore itu terasa kurang lengkap. Obrolan kami kemudian terhenti oleh suara azan Magrib dan bergegas menunaikan salat bersama.
Sampai pukul 18.00 hujan belum reda juga. Padahal malam itu kami berencana menghadiri undangan dari Pak Nasir, dosen Keamanan Nasional di kelas kami. Malam itu, di rumahnya yang berlokasi di bilangan Kotagede akan diselenggarakan sebuah acara bedah buku “Anak Kolong” karya mantan Direktur PT. Freeport Indonesia. Acara tersebut merupakan kelanjutan dari acara sebelumnya, yang menghadirkan penulis buku Krakatoa Simon Winchester.
“Bismillah, berangkat!” ujarku kemudian. Aku segera bergegas dengan penuh keyakinan. Padlun, Asrari, dan Faat kemudian mengikuti keputusanku. Lalu kami berangkat bersama. Sesaat setelah kami memutuskan untuk berangkat, hujan terlihat agak reda. Kami semakin yakin dan bersemangat untuk bisa segera sampai di lokasi acara.
Ketika mengundang kami, Pak Nasir memberikan slentingan bahwa penulis buku yang akan berbicara pada malam hari itu baru mulai menulis buku justru di saat sudah berada pada usia kepala enam. Itulah yang sangat menarik perhatianku dari sosok penulis yang bukunya akan dibedah malam itu. Aku penasaran sekali dan ingin menggali banyak hal dari beliau. Karena pastilah menulis usia segitu, membutuhkan effort yang sangat luar biasa. Aku yakin, ada banyak hal yang bisa kupelajari dari beliau.
Maka dari itulah, walaupun di tengah perjalanan hujan malah turun semakin deras, aku tidak membatalkan niat untuk tetap datang dalam acara penting itu.
Sekira pukul 18.40 kami sampai di nDalem Natan. Karena pada malam itu hujan masih turun cukup deras, maka para undangan pun banyak yang masih terlihat belum datang. Kami menunggu acara dimulai dengan berbincang dan menikmati kudapan dan minuman hangat seperti kopi dan teh yang telah tersedia di meja. Selain kudapan, malam itu juga tersedia pula makanan berat. Panitia menyediakan urap, oseng-oseng tempe, dan soto.
Bedah Rumah nDalem Natan Royal Herritage
Bedah Rumah nDalem Natan Royal Herritage
“Seperti bedah rumah ya,” celetuk Mbak Novita, teman saya yang duduk di sampingku ketika mendengar penjelasan Pak Nasir tentang nDalem Natan Royal Herritage. Malam itu, sebelum masuk ke acara bedah buku Pak Nasir memang terlebih dahulu membicarakan seluk beluk nDalem Natan Royal Herritage yang juga merupakan kediamannya.
Pak Nasir menjelaskan tentang seluk beluk nDalem Natan Royal Herritage dalam acara itu bukan tanpa alasan. Melainkan karena rumah yang telah dibangun sejak tahun 1857 itu, menurut keterangannya, merupakan rumah yang desain arsitekturnya bercorak Solo. Sementara itu, Pak Yan Lubis juga merupakan seseorang yang memiliki ikatan darah dengan Solo. Bahkan bisa dibilang ia merupakan keturunan bangsawan Solo.
“Tadi waktu kami salat bersama, Wildan dan Pak Yan Lubis bilang mereka merinding. Aku meminta dia untuk menjadi imam.’’ Jelas Pak Nasir. Wildan adalah teman kelasku yang malam itu hadir lebih dulu dari kami berempat.
Peristiwa di ruang salat itu, menurut Pak Nasir, menjadi bukti bahwa Pak Yan Lubis telah diterima dengan baik di rumah itu. Setelah itu, Pak Nasir kemudian menjelaskan lebih mendalam tentang bagian-bagian Ndalem Natan.
“Arsitektur rumah ini sangat sufistik. Setiap unsur dan ornamennya memiliki filosofi-filosofi tersendiri. Rumah ini, setiap pintunya kalau diperhatikan dengan jeli, dihiasi dengan ukiran lafaz Allah.” Kata Pak Nasir menjelaskan.
Penjelasan Pak Nasir langsung kukonfirmasi saat itu juga. Sambil mendengarkan penjelasannya, kuedarkan pandanganku, menyusuri setiap sudut ruangan yang pada acara sebelumnya sama sekali tidak kulakukan.
Dan benar saja. Setiap pintu rumah memang terdapat ukiran berlafaz Allah. Namun memang kuakui, untuk memahami ukiran tersebut dibutuhkan tingkat kejelian dan ketajaman pandangan mata yang tinggi. Selain lafaz Allah, pada bagian pintu tengah rumah itu juga terdapat ukiran burung Jawa.
“Jadi pemilik rumah ini dulu ingin bahwa dirinya setiap kali memasuki pintu selalu mengingat Allah.” Terang Pak Nasir.
Pendopo nDalem Natan Royal Herritage terdiri dari tiga shaf, yang setiap shafnya memiliki fungsi sendiri-sendiri. Sejak dari pendopo itulah dulu, menurut Pak Nasir, setiap tamu sudah harus berjalan jongkok. Sampai pada batas shaf ketiga, tamu harus berhenti dan menunggu tuan rumah mempersilakan untuk masuk.
Kesederhanaan dan Kesufian Pak Yan Lubis
Kesederhanaan dan Kesufian Pak Yan Lubis
Malam itu, Bapak Yan Lubis terlihat sebagai sosok yang sangat bersahaja. Meskipun pernah menjabat sebagai direktur di perusahaan tambang raksasa kelas dunia, pada dirinya tidak terpancar sedikit pun kemewahan. Pakaian yang beliau kenakan malam itu pun juga jauh dari kata mewah. Maka tak berlebihan pula jika kemudian Pak Nasir berpendapat bahwa kesederhaan Pak Yan Lubis mencerminkan kesufian.
“Saya melihat sosok Yan Lubis ini merupakam seorang sufi. Kesufian Yan Lubis ini terpancar dalam penampilan dan tertuang dalam bukunya ini.” Kata Pak Nasir sambil mengangkat buku Anak Kolong.
Kesederhanaan dan kesufian Pak Yan Lubis banyak dipengaruhi oleh ajaran Jawa. Pak Yan Lubis sangat ahli dalam membaca dan menerjemahkan karya-karya klasik Jawa. Buku Anak Kolong pun tidak luput dari ajaran filosofi kehidupan bangsa Jawa yang sangat dipegang teguh olehnya.
Ajaran-ajaran Jawa yang telah dipelajarinya kemudian diramunya dengan ajaran Islam. Sehingga kemudian corak novel ini, selain memiliki nilai motivasi juga sarat dengan muatan keislaman sebagaimana telah menjadi keyakinan Pak Yan Lubis. Selanjutnya, pembicaraan kemudian mengarah pada buku tersebut secara lebih mendalam.
Kesan Terhadap Buku "Anak Kolong" Karya Yan Lubis
Buku Anak Kolong ditulis oleh Pak Yan Lubis selama kurang lebih dua tahun. Sampul depannya berisi gambar anak-anak berambut ala tentara yang tengah berlari dan bertelanjang dada. Di sampul depannya itu pula, terdapat endorsment dari penulis buku Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari.
“Sebuah karya (sastra) yang mengesankan,’’ demikian komentar Ahmad Tohari untuk buku pertama Pak Yan Lubis tersebut.
Menurut keterangan Pak Yan Lubis, Ahmad Tohari menyukai buku itu karena tiga hal. Pertama, karena ditulis oleh orang yang sudah berusia 60 tahun.
“Tidak semua orang punya niat menulis di usianya yang ke-60.” Kata Pak Yan Lubis menirukan ucapan Ahmad Tohari. Oleh karenanya, Ahmad Tohari pun kemudian ikut andil dalam mendukung dan mengobarkan semangat Pak Yan Lubis untuk menulis buku tersebut sampai purna.
Kedua, menurut penilaian Ahmad Tohari penulisan buku tersebut dilakukan secara lebih objektif.
“Buku-buku yang lain biasanya ditulis secara tidak berimbang. Apalagi kalau menyangkut era orde baru. Kebanyakan penulisannya berat sebelah. Dalam hal ini, Angkatan Darat selalu diposisikan sebagai pihak yang terpojokkan. Pak Ahmad Tohari bilang seperti itu.” tutur Pak Yan Lubis lagi.
Adapun hal ketiga, yang membuat Ahmad Tohari menyukai buku tersebut ialah bahwa meski buku anak kolong tersebut merupakan buku otobiografi namun terdapat nilai sastra yang cukup tinggi di dalamnya.
“Buku sastra itu kalau dibaca akan memiliki pengaruh besar bagi pembacanya. Nah, buku ini memiliki sifat seperti itu.” Ujar Pak Yan Lubis lagi menirukan kembali ucapan Ahmad Tohari.
Selaku pembedah, Pak Nasir pada malam itu juga banyak bercerita tentang proses pembacaannya terhadap buku Anak Kolong.
“Ada bagian yang bikin aku ketawa-ketawa, tapi ada juga bagian yang sampai bikin aku menangis loh Yan.” Aku Pak Nasir. Melalui buku tersebut, masa kecil Pak Yan Lubis diketahui sangat usil. Selain itu, sosok Pak Yan Lubis pada masa mudanya juga terkuak pernah berkali-kali ditolak cewek.
Tanya Jawab
Dalam kesempatan tersebut, dibuka pula sesi tanya jawab. Dua temanku dari Prodi Ketahanan Nasional UGM Kelas Kemenpora 2017, Asrari Puadi dan Anif Muchlasin tidak ketinggalan untuk memberikan apresiasi dan pertanyaan.
Asrari bertanya perihal pandangan Bapak Yan Lubis terkait Solo hari ini yang semakin terlihat tidak menunjukkan keluhuran budaya kraton. Sementara dalam buku tersebut, Solo terlihat sangat adem ayem dan damai. Tidak seperti sekarang ini.
Mendapatkan pertanyaan itu, Pak Yan Lubis kurang bisa menjawab, karena menurut pengakuannya, beliau sudah agak jarang berinteraksi dengan Solo. Namun saya melihat ada kehati-hatian dan sesuatu yang sepertinya sengaja beliau rem untuk tidak dikatakan.
Asrari dalam kesempatan itu juga berharap agar buku Anak Kolong bisa dicetak lebih banyak lagi, dan kemudian difilmkan karena memiliki muatan pendidikan yang luar biasa.
“Saya berharap semoga nanti buku ini mendapatkan perhatian banyak sponsor sehingga kemudian bisa difilmkan.” Harapnya.
Sebagai salah satu redaktur di Good News From Indonesia ia juga berharap agar kiranya Bapak Yan Lubis bersedia untuk berkunjung ke kantor redaksi di Surabaya. Karena menurutnya kehadiran buku itu perlu dikabarkan secara lebih luas sebagai bagian dari kabar baik dari Indonesia.
Adapun Anif, sebagai sesama orang ngapak yang bahkan kemudian diketahui bahwa nama desanya juga masuk dalam buku tersebut, bertanya perihal strategi Pak Yan Lubis dalam menjaga konsistensi dan semangat untuk menulis di tengah berbagai kesibukan urusan pekerjaan dan keluarga.
Pak Yan Lubis menjawab bahwa dirinya ketika menulis buku itu selalu menyempatkan diri untuk menulis saban harinya.
“Konsistensi dan disiplin. Itu yang terpenting. Saya sendiri karena merupakan anak seorang tentara yang tinggal di barak sudah sangat terlatih untuk itu.” terangnya.
Selain itu, menurut Pak Yan Lubis, buku tersebut ia tulis sebagai media bercerita dengan anak cucunya agar mereka kelak tahu dari mana dirinya berasal.
“Seorang anak pasti hanya tahu kehidupan orang tuanya di masa tua. Tapi mereka tidak pernah benar-benar tahu bagaimana kehidupan orang tuanya itu di masa kanak-kanak.” Kata Pak Yan Lubis menegaskan.