Seperti siang yang tak pernah terlambat datang, suara azan zuhur tak pernah telat berkumandang. Ia selalu menggema saat matahari berada tepat di atas kepala sehingga tubuhmu tak lagi punya bayang-bayang.
Bagi para pedagang, suara azan zuhur ibarat penanda agar mereka segera meninggalkan perniagaannya kepada manusia. Lalu berganti berniaga kepada Ia Yang Maha Kaya.
Kumandang azan zuhur adalah kabar baik bagi para buruh. Sehingga mereka dapat menyeka peluh dan melemaskan otot-otot yang kaku hingga kendur. Seraya mengisap rokok dan berbicara melantur.
Kumandang azan zuhur adalah pertanda bagi para petani untuk segera pulang ke rumah menjumpai anak dan istri: di meja makan melahap hasil tanamannya sendiri. Hingga masing-masing beristirahat sejenak, agar nanti bisa bekerja kembali.
Konon, kumandang azan zuhur tak pernah bisa terdengar di ruangan para bos-bos besar, di lantai-lantai tertinggi gedung-gedung yang melangit di tengah kota yang selalu sibuk dan menjerit.
Suara kumandang azan zuhur tak pernah sampai pada orang-orang yang berwaktu dan berhati sempit. Tapi ia selalu terdengar di gang-gang sempit, di hati orang-orang yang terbaring sakit, dan di telinga orang-orang yang nasibnya terimpit.
(Darul Azis, 2017)
Ilustrasi: Tribunnews.com