Kau pernah meminta aku menulis sebuah puisi tentang rindu tapi bukan rindu yang mengandung kesedihan karena kesedihan menurutmu adalah racun yang akan terus menggerogoti tubuh dan membikin cepet mati tanpa sempat membuat jejak kisah bahagia; adalah pisau tumpul yang sedang dipakai oleh orang tak kau kenal untuk memutus lehermu.
Aku menyanggupi permintaanmu, dan ternyata cuma inilah yang mampu kutulis.
Aku menyanggupi permintaanmu, dan ternyata cuma inilah yang mampu kutulis.
Perjalanan Rindu
Ternyata tak mudah bagiku
menulis puisi tentang rindu yang gembira
sebab kutahu
ia memang tercipta dari bulir
air mata yang jiwanya tertawan perpisahan.
Kekasih, aku pernah bertanya pada Jarak
adakah yang lebih jahat
dari ia yang telah memisahkan
raga kita menjadi sedemikian jauh?
Ada, jawabnya. Ialah ketika aku atau kau tak lagi saling mengingat dengan sengaja.
Aku juga pernah bertanya kepada Waktu
adakah yang lebih menyakitkan dari menunggu kehadiranmu?
Ada, katanya. Ialah ketika aku atau kau tak lagi ingin bertemu.
Yogyakarta, 6 April 2019