Tahun lalu, saya masih ingat betul, menjelang hari lebaran tiba beredar tulisan sensasional berjudul “Jangan Ajarkan Anakmu Jadi Pengemis” di grup-grup WA yang saya berada di dalamnya.
Tulisan tersebut mencoba mengkritik ucapan basabasi yang muncul saat lebaran seperti “Om THR buat adek mana?” “Tante, kok THRnya belum kelihatan nih, masih mau nunggu siding isbad?”, dan ucapan sejenis yang sebetulnya juga tidak serius-serius amat pengucapannya.
Kalau dikasih syukur, nggak dikasih ya nggak apa-apa. Toh cuma basa-basi. Tapi biasanya sih selalu dikasih, karena si Om dan Tante memang udah nyiapin itu THR.
Saya pikir, meminta THR kepada Om dan Tante di saat lebaran sama sekali tidak berarti mengajarkan anak untuk jadi pengemis. Karena ucapan itu pun muncul ya cuma setahun sekali dan diucapkan dalam situasi suka cita tanpa memelas. Ucapan itu hanyalah bumbu penyedap suka cita obrolan. Beda dengan pengemis, mereka meminta-minta setiap hari dalam kondisi memelas, bahkan ada yang sampai menipu dan memanipulasi keadaan.
Prasangka buruk saya, tulisan tersebut dibikin oleh orang yang merasa insekyur dengan pertanyaan-pertanyaan tentang THR. Entah karena memang keadaan ekonominya yang sulit, karena gengsi, karena terlalu “berhati-hati” dalam beragama, atau karena faktor lain. Dan kemudian diamini oleh penyebarnya, yang saya duga juga dalam kondisi serupa.
Tulisan tersebut bagi saya adalah tulisan yang negatif dan meski demikian, saya yakin tahun ini tulisan tersebut akan muncul lagi. Haha
Dan karena itulah, saya merasa perlu membuat kontranarasi yang lebih positif. Inilah dia….
*****
Momen lebaran di Indonesia menjadi saat paling membahagiakan di antara hari-hari lain. Karena hari itu biasanya seluruh anggota keluarga dapat bertemu dan berkumpul, baik di rumah orang tua maupun di rumah kakek/nenek. Pada hari itu, jarak benar-benar dilipat. Orang-orang dari pulang ke desa meski ribuan kilometer jaraknya; meski harus bermacet-macet ria untuk sampai ke tujuannya. Semata agar dapat merayakan lebaran bersama.
Itulah mengapa momen lebaran sarat dengan suka cita. Karena ada rindu yang harus dituntaskan; ada kenang yang harus diziarahi kembali; ada luput yang harus diluruhkan, dan ada kelapangan hati yang akan meminta dan memberi maaf.
Itulah mengapa momen lebaran sarat dengan suka cita. Karena ada rindu yang harus dituntaskan; ada kenang yang harus diziarahi kembali; ada luput yang harus diluruhkan, dan ada kelapangan hati yang akan meminta dan memberi maaf.
Semua menjadi bahagia, baik mereka yang tua atupun yang masih belia. Energi kebahagiaan hari itu berlimpah ruah dan menghinggapi semua orang. Tak terkecuali anak-anak. Hari itu mereka bertemu teman-teman baru, saudara-saudara lamanya, dan tentu saja cerita-cerita yang juga baru dan akan selalu membekas dalam ingatannya.
Saat lebaran juga merupakan waktu yang sangat tepat untuk berbagi. Wujudnya bisa bermacam-macam. Ada yang berupa masakan, kue, baju, hingga uang THR. Bahkan bisa dikatakan, ini sudah menjadi tradisi di Indonesia.
Namun selama ini, kegiatan berbagi ini pelakunya hanya orang-orang tua. Anak-anak tidak pernah dilibatkan. Mereka hanya menjadi objek yang diberi, bukan subjek yang juga memberi. Saya pikir, inilah yang perlu diubah.
Ronald Reagan, Presiden ke-40 Amerika Serikat pernah berkata, money can’t buy a happiness, but it will certainly get you a better class of memories. Uang memang tidak dapat membeli kebahagiaan, tapi itu akan membuat kenangan Anda menjadi lebih baik. Maksud dari kenangan yang lebih baik di sini ialah kita jadi dapat melakukan banyak hal, seperti memberi bantuan atau memberi hadiah pada orang lain.
Namun selama ini, kegiatan berbagi ini pelakunya hanya orang-orang tua. Anak-anak tidak pernah dilibatkan. Mereka hanya menjadi objek yang diberi, bukan subjek yang juga memberi. Saya pikir, inilah yang perlu diubah.
Ronald Reagan, Presiden ke-40 Amerika Serikat pernah berkata, money can’t buy a happiness, but it will certainly get you a better class of memories. Uang memang tidak dapat membeli kebahagiaan, tapi itu akan membuat kenangan Anda menjadi lebih baik. Maksud dari kenangan yang lebih baik di sini ialah kita jadi dapat melakukan banyak hal, seperti memberi bantuan atau memberi hadiah pada orang lain.
Karena itulah, momen lebaran sangat tepat untuk mengajarkan anak kita berbagi karena itu akan sangat membekas dalam ingatannya.
Kita tidak perlu berteriak-teriak “Jangan ajarkan anak jadi pengemis.” Kita butuh hal yang lebih konkrit lagi, yakni dengan mengajarkan anak untuk memberi.
Kita tidak perlu berteriak-teriak “Jangan ajarkan anak jadi pengemis.” Kita butuh hal yang lebih konkrit lagi, yakni dengan mengajarkan anak untuk memberi.
Memberi siapa?
Bisa siapa pun. Yang paling dekat tentu kepada saudara-saudara sebayanya. Atau bagus juga kalau anak diajarkan untuk memberi kepada yang lebih tua, misalnya kepada kakek dan neneknya.
Langkahnya, siapkanlah uang pecahan dua ribu atau lima (soal jumlah, tentu harus disesuaikan dengan kemampuan finansial masing-masing orangtua).
Siapkan amplop lebaran yang lucu-lucu seperti ini. Bisa Anda beli di Tokopedia. Harganya sangat murah. Amplop lebaran seperti ini akan membuat pemberian kita, seberapa pun nilainya, menjadi lebih berarti. Pertama karena tidak kelihatan nominalnya, sehingga akan memunculkan kejutan-kejutan. Kedua, karena ada nilai plus yang ditawarkan. Misalnya karena desainnya yang bagus. Hehehe
Ajak anak Anda untuk memasukkan uang yang telah Anda siapkan ke dalam amplop.
Beritahu anak Anda bahwa uang itu nantinya akan ia berikan pada saudara-saudaranya saat lebaran.
Dengan begitu, saat lebaran anak tidak hanya menjadi pihak yang menerima, melainkan juga memberi. Bahkan bisa jadi, pada saat lebaran dia tidak akan berpikir meminta melainkan lebih fokus pada tindakan memberi, bukan menerima.
Tindakan ini saya pikir lebih baik dibandingkan dengan berteriak-teriak "JANGAN AJARI ANAK JADI PENGEMIS SAAT LEBARAN!" (Darul Azis).
Tindakan ini saya pikir lebih baik dibandingkan dengan berteriak-teriak "JANGAN AJARI ANAK JADI PENGEMIS SAAT LEBARAN!" (Darul Azis).