Saya saat ini sedang ingin memprogram diri untuk kembali rutin menulis di blog. Proyek ini rencananya akan saya lakukan selama 40 hari. Topik tulisan akan berkaitan dengan hal-hal yang ringan saja, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Rencananya, saya juga akan mengajak teman-teman saya untuk ikut menulis secara bebas, yang barangkali itu akan berguna bagi pikiran dan jiwa mereka. Kalau mereka mau ~
Saat menulis pengantar ini, saya sebetulnya belum menemukan topik yang akan saya tulis. Namun begitu saya menulis tanda titik, topik itu muncul. Dia adalah imajinasi tentang ruang tamu rumah saya di masa depan, yakni tahun 2024.
Ukurannya tidak terlalu luas, hanya berukuran sekitar 4 kali 2,3 meter seperti kamar kos saya pada tahun 2017-2019. Meski ruang tamu saya berdinding tembok, saya menutup dinding dengan kayu secara penuh. Saya tak punya tujuan khusus tentang ini kecuali untuk bersenang-senang saja.
Ruang tamu yang tidak ada rumusnya itu saya isi dengan perabot meja dan kursi dari kayu dalam arti yang sebenarnya. Maksudnya, kursi dan meja itu masih akan berbentuk kayu gelondongan yang dialihfungsikan. Jadi bukan kayu yang dialihwujudkan menjadi kursi dan meja. Karena bagi saya, segala perabot manusia itu pada dasarnya ialah tentang fungsi, bukan wujud.
Agar tetap menarik dan awet, kayu gelondongan yang saya alihfungsikan sebagai kayu dan meja itu saya haluskan dan saya bubuhi cat antirayap. Dengan begitu, maka setiap tahun saya dapat dengan mudah mengganti kursi dan meja di ruang tamu saya tanpa pertimbangan nilai ekonomi sedikit pun.
Benda lain yang saya taruh di ruang tamu adalah lukisan kedua orang tua saya. Lukisan ya, bukan foto. Lukisan itu saya pesan di Sagan. Saya tidak punya tujuan lain tentang hal ini selain agar tamu-tamu saya tahu bahwa saya adalah anak mereka. Anak kandung, bukan anak pungut seperti yang pernah diselorohkan oleh ayuk-ayuk saya dulu buat ngerjain saya sampai nangis goling koming.
Lalu saya menaruh barang lain di sana. Yakni patung Nabi Isa ketika disalib atau ketika Nabi Isa mengulurkan tangan. Dua patung Nabi Isa itu, bagi saya sangat puitik. Saya sangat menyukainya.
Mengapa bukan Nabi Muhammad?
Andai sosok Nabi Muhammad boleh digambarkan seperti itu, barangkali beliaulah yang akan saya pilih. Tak boleh Rasulullah, Nabi Isa pun jadi.
Apa lagi?
Sebenarnya saya berpikir untuk memajang koleksi buku, tapi sepertinya tidak terlalu penting. Ruang tamu itu kan untuk mengobrol, bukan untuk membaca buku. Buku-buku koleksi saya lebih baik ditaruh di tempat lain saja. Tapi di mana ya? Saya pikir sebaiknya di kamar saja. Agar setelah saya dapat membaca buku sewaktu-waktu, seperti misalnya ketika sebelum atau sesudah bercinta.
Oh ya, saya baru ingat. Saya juga menaruh asbak di ruang tamu rumah saya. Meski saya bukan perokok, saya tetap akan menyediakan asbak di meja ruang tamu saya. Asbak itu juga harus terbuat dari potongan kayu. Ini tidak ada hubungannya dengan toleransi. Karena ini saya lakukan hanya karena kesenangan semata. Saya senang dengan asbak.
Saya tidak ingin kamu menginterupsi saya tentang lampu, karenanya ia sudah berada di sana. Tapi lampu yang bagaimana dulu? Ini yang membedakan ruang tamu rumah saya dengan ruang tamu orang lain karena saya tidak meletakkannya sebagai lampu gantung, melainkan lampu dinding. Lampu tersebut saya upayakan terbuat dari bambu.
Selain lampu, di dinding ruang tamu rumah saya juga ada tempat pembakaran dupa. Dupa itu, tentu sebagai pewangi ruang, bukan untuk mengundang setan. Setan mah tidak perlu diundang, gak bakalan ngasih amplop juga.
Barang-barang tersebut saya pikir sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana konsep ruang tamu rumah saya.
Bagaimana dengan konsep ruang tamu rumahmu? Yuk, ikut nulis….