Helm orang-orang kok bagus-bagus ya? Bermerk, kacanya bening, dan mengilap.
Ini helmku udah kacanya buluk, mangap-mangap, lawas banget lagi.
Tapi walaupun begitu, aku tetap sayang, hehe.
Ini helm pertama yang kupunya. Kubeli sejak sepuluh tahun yang lalu, dengan uang gaji pertama yang aku dapatkan dari tempat kerjaku.
Helm ini telah menjadi saksi kelemotanku dalam mengendarai sepeda motor di perjalanan. Puluhan ribu kilometer jalan telah ia lewati bersamaku. Perjalanan terjauhnya melintasi Jalan Lintas Sumatera, menyeberangi Selat Sunda, menjelajahi jalan tol dan lintas Selatan dan Utara sampai ke Jogja, naik bus Rosalia.
Selama dalam kepemilikanku, helm ini pernah jatuh tanpa hambatan langsung menghantam semen dari lantai dua, yang tingginya sekitar lima meter. Ia tidak apa-apa. Cuma bautnya yang kendor, dan bisa kukencangin lagi.
Ia helm yang sebenarnya berat sekali ketika dipakai. Berpergian dengan mengenakan helm ini selama satu jam perjalanan saja sudah bikin leher pegal minta ampun. Kalau sudah seperti itu, biasanya aku akan menjadikan helm ini sebagai alat musik ketika berhenti di perempatan sambil menunggu lampu hijau menyala. Ya, aku klotekan dengan helm ini. Helm tebal ini ternyata mengandung unsur musikal yang sangat menenangkan.
Selama di Kota Pelajar ini, ia pernah bertemu kembarannya sekali sekali saja, itu pun di jalan dalam waktu yang sangat singkat. Tentu ini sebuah keunggulan yang membanggakan, sebab dapat menjadi indikasi bahwa helm ini tidak banyak yang menyamai, nggak seperti helmmu. Entah karena stoknya terbatas, atau memang karena orang pada nggak mau membeli, wkwkwk. Tapi aku harap, faktor stok yang terbataslah yang membuat helm ini tak punya banyak kembaran di jalanan.
Dengan rekam jejak seperti itu, mungkin lima puluh tahun lagi helm ini akan sangat layak untuk dikoleksi dan harganya tentu tidak murah. Siapa tahu kan?
Yogya, 14 April 2019