[Image source: shutterstock] |
Hari itu pasar Beringharjo sudah mulai sepi pengunjung. Sejak pemerintah mengumumkan telah ada kasus pasien positif Covid-19, orang-orang di kota ini menjadi takut keluar rumah. Virus ini memang menghendaki orang-orang agar menghindari kerumunan, dan pasar Beringharjo adalah pasar paling ramai di kota ini karena berada di kawasan komersil.
Saya menjumpainya ketika ia sedang duduk di sebuah kursi kayu menunggu pengunjung pasar yang mungkin membutuhkan jasanya. Hari itu belum ada juragan, demikian ia menyebut orang yang berbelanja dalam jumlah banyak, yang menggunakan jasanya. Padahal jam operasional pasar akan segera berakhir, azan ashar telah berkumandang.
Di tempat duduknya, tangannya tidak diam. Sembari menunggu, ia memotongi daun kangkung dari tangkainya untuk dimasak ketika nanti telah sampai di rumah. Menjelang Magrib, ia biasanya telah sampai di rumah. Memperoleh atau tidak memperoleh uang, ia akan tetap pulang. Membawa sesuatu untuk dimakan, baik dari hasil barter tenaga atau dari membeli dengan uang simpanannya.
Usianya tak lagi muda. Perempuan asal Wates itu sudah berumur hampir 70 tahun. Namun jika dilihat dari fisiknya, ia masih seperti orang berusia lima puluhan tahun. Kulit wajahnya masih cukup kencang. Rambutnya tak banyak yang berwarna putih. Giginya masih terlihat utuh. Begitu pula dengan pendengarannya, masih sangat bagus. Hanya saja, badannya agak membungkuk. Terang saja, ia telah menghabiskan separuh dari masa hidupnya di pasar, menjadi buruh gendong.
Namun soal kebugaran tubuhnya itu, ternyata bukan tanpa rahasia.
"Aku sering ngombe jamu." ujarnya.
Jamu yang ia minum bermacam-macam. Mulai dari kunyit, kencur, temulawak, dan jamu cekok dari berbagai bahan yang rasanya amat pahit itu.
Ia bukan satu-satunya perempuan tua yang bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. Ada banyak sekali buruh gendong sepertinya, yang kebanyakan juga berasal dari desa. Berangkat pagi, pulang sore. Setiap hari.
"Nek aku biasane diterne anake. Balike nunut mobile juragan bawang." terangnya ketika saya bertanya tentang teknis keberangkatan dari Wates ke Pasar Beringharjo.
Kadang, jika anaknya tidak bisa mengantar, ia naik bus dan turun di Wirobrajan. Dari Wirobrajan ke Pasar Beringharjo ia berjalan kaki.
"Kadang nek pas nduwe duwit yo numpak becak." katanya.
Bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo kini ia lakoni hanya sebagai pembunuh waktu. Selebihnya, uang akan ia anggap sebagai bonus. Ia tak mau berpangku tangan di rumah selama raga masih kuat untuk bekerja.
"Daripada nganggur neng omah. Ngene kan seneng atine. Ketemu konco, oleh duit." akunya.
Ia memiliki cara berpikir khas orang Jawa tua pada umumnya. Tak ingin hanya berdiam diri di rumah. Tak mau menjadi beban anaknya. Selama ia masih kuat, ia akan tetap berusaha menghidupi dirinya sendiri. Meskipun misalnya, sang anak sudah mampu mencukupi kebutuhannya atau melarangnya untuk bekerja.
Saya kemudian mengulik lebih jauh soal penghasilannya. Dalam sehari, jika pasar sedang ramai ia bisa memperoleh uang hingga seratus ribu rupiah. Upah yang ia dapatkan berbeda-beda dari setiap orang yang dibantunya. Kadang dua puluh ribu, kadang sepuluh ribu. Tergantung siapa pula juragan yang ia bantu. Kalau yang ia bantu adalah para bakul, tak ada tarif upah yang ditetapkan. Upah hanya didasarkan pada kemampuan dan kewajaran.
Buruh gendong telah menjadi bagian dari identitas Pasar Beringharjo sejak dulu hingga sekarang. Mereka adalah salah satu satu anggota jaringan sosial di Pasar Beringharjo yang eksistensinya begitu penting, karena meringankan pekerjaan para pedagang dan pengunjung pasar.
Dan kini, kehidupan mereka sedang terganggu karena pandemi. Banyak buruh gendong Pasar Beringharjo yang tak bisa lagi bekerja, karena pasar kini pun sepi.
Di sana sepi di sini sepi.
Semoga mereka, juga kita, mampu bertahan dalam kondisi ini.
Yogyakarta, 14 April 2020