Viral sebuah video seorang laki-laki marah-marah kepada petugas kepolisian militer. Ia marah karena istrinya disuruh pindah duduk di kursi belakang, dalam rangka PSBB. Ia berkata berkali-kali dengan nada bicara tinggi bahwa ia lebih menghormati hukum Allah, ketimbang hukum manusia. Karena itu, dia tidak ingin memindahkan istrinya di kursi belakang.
Video tersebut, seperti biasa, diromantisasi oleh netizen. Terlebih ada lagu religi yang menjadi latar belakang video. Sekilas laki-laki itu memang terlihat heroik dan mulia. Nalar feminisme saya juga mengesankan hal serupa. Tapi kemudian, setelah saya pikirkan ulang, ada yang salah pada cara berpikir laki-laki itu & netizen yang meromantisasi video itu.
Pertama, soal hukum Allah. Saya tidak menemukan adanya pelanggaran hukum Allah pada larangan duduk di depan bersama dirinya yang bertindak sebagai sopir. Jika maksud si laki-laki adalah untuk memuliakan istri, sehingga istri harus duduk di depan bersama dirinya, ini tentu alasan yang mengada-ada. Istri duduk di belakang tidak akan berkurang marwahnya. Itu juga bukan merupakan penghinaan bagi istri.
Sebaliknya, yang saya temukan justru "penghinaan" terhadap si laki-laki jika sampai si istri duduk di belakang. Karena si laki-laki jadi terkesan seperti sopir, dan si perempuan seperti bos. Apakah karena hal itu sebenarnya yang membuat laki-laki itu marah? Wkwk, hanya dia yang tahu.
Dalam video tersebut, si suami juga mengatakan toh di rumah mereka tidur bareng dan mungkin juga ngewe. Masa di mobil mereka disuruh duduk terpisah? Di sinilah muncul kesalahan berpikir yang kedua. Dia tidak sadar bahwa mereka berada di ruang publik. Di ruang publik, seseorang terikat pada aturan publik. Aturan publik itu bersifat general. Semua akan dipukul rata. Semua orang harus patuh, terlepas apakah dia sudah berstatus sebagai suami-istri atau belum. Kalau tidak diterapkan dengan cara seperti itu, maka penegak hukum akan kesulitan mengidentifikasi pelanggaran, kecuali harus memindai satu per satu.
Memindai satu per satu pengendara mobil di jalanan untuk mengupayakan kepatuhan terhadap peraturan, tentu terlampau merepotkan. Itu hanya bisa terjadi jika penegakan peraturan publik dianalisis menggunakan metode kualitatif. Sementara di Indonesia, dan juga negara-negara lain, penegakan peraturan selalu menggunakan metode kuantitatif, agar dapat digeneralisasi. Penggunaan metode kualitatif biasanya hanya bisa dilakukan di pengadilan.
Saya beri contoh. Misalnya kamu dari Jakarta, pulang ke kampung. Kamu naik mobil pribadi. Di jalan kamu juga selalu berhati-hati. Menerapkan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid. Kamu juga dalam keadaan sehat. Tanpa gejala apa pun berkaitan dengan Covid-19.
Tapi meskipun begitu, ternyata setelah sampai di kampung halaman, kamu auto jadi ODP. Kamu juga disuruh isolasi selama 14 hari. Kalau mau pakai standar mas2 heroik tadi, kamu berhak marah dan menolak. Tapi petugas kesehatan juga punya argumen yang lebih masuk akal tentang mengapa kamu harus jadi ODP dan isolasi mandiri. Karena dasar pemikirannya di sini adalah perpindahan manusia. Bukan bagaimana cara kamu berpindah. Itu tidak akan dilihat secara mendetail, karena sifatnya kasuistis dan tidak dapat digeneralisasi. Lha kalau mau dipindai semua, yo repot.
Itu juga berlaku untuk para pengendara mobil/motor di masa PSBB. Masa mau dipindai semua apakah mereka berstatus sebagai suami-istri atau tidak? Gila aja!