Ilustrasi Makan Malam: Cokscanner |
Pasca makan, saya mendapatkan pertanyaan dari Rahmad. Jika saya sudah berkeluarga kelak, apakah saya akan membawa budaya makan-bersama-di-meja makan seperti yang selama ini menjadi kebiasaan kami di nDalem Kewahanan?
Bagi saya pertanyaan sederhana ini menarik. Pertanyaan tersebut membangkitkan imajinasi saya tentang kehidupan berkeluarga di masa yang akan datang dan menengok kembali latar belakang saya. Jawaban yang saya lontarkan pun jadi tidak pendek, dan akan saya ceritakan di sini.
Makan bersama di meja makan sebenarnya memang hal baru bagi saya. Ini terjadi setelah saya menapakkan kaki di Kota Yogya. Sebelumnya, ketika masih hidup di desa, saya tak pernah merasakan makan malam di meja makan keluarga. Itu terlalu sakral, dan hanya akan dilakukan oleh Bapak. Pemimpin di antara kami.
Kami anak-anaknya makan secara tak terorganisasi. Ada yang di amben dapur, kursi kayu bikinan bapak, dan ada yang di depan pawonan. Tak hanya soal spasial, soal waktu pun juga tak teratur. Kami kadang makan sebelum azan Magrib berkumandang. Sedangkan Bapak, lebih sering makan setelah salat Magrib.
Dulu saya tidak pernah memikirkan hal semacam ini. Juga tidak melakukan protes. Toh nyatanya, makan tidak di meja makan tetap nikmat-nikmat saja. Apalagi makan di depan pawonan. Barangkali latarbelakang sebagai keluarga petani-tradisional turut mempengaruhi. Kami biasa makan setelah dari ladang/sawah dan mengambil sayur dari wajan yang masih nengkreng di pawonan, bukan dari mangkok seperti orang-orang zaman sekarang. Itu, menjadi kepuasan dan kebebasan tersendiri bagi saya dan saudara2 saya.
Saya kemudian jadi teringat pengalaman makan bersama orang-orang terdekat saya. Beberapa di antara mereka, sudah menerapkan makan malam di meja makan. Mereka umumnya keluarga terdidik, memiliki strata sosial yang cukup baik dalam konstruksi sosial kita sehingga cukup modern pola hidupnya, dan/atau hidup di kawasan perkotaan. Makan malam di meja makan, bagi saya di awal-awal, menjadi begitu formal. Tidak asyik dan intimidatif.😅 Saya tak dapat menikmatinya, baik rasa makanan, momen, maupun dialognya.
Sekarang, setelah saya memiliki pengalaman dialogis di meja makan, pandangan saya berubah. Maka dari itu, menjawab pertanyaan Rahmad, saya tertarik untuk terus menjadikan makan malam di meja makan sebagai bagian dari budaya keluarga, meskipun misalnya, saya kelak hidup di desa. Ini bukan tersebab saya sudah kekota-kotaan. Tapi lebih karena saya ingin menghadirkan ruang dialog yang intim dan egaliter bagi keluarga kecil saya. Meja makan, saya pikir adalah ruang yang tepat.