Foto: @nonaaellen |
Kecuali untuk kepentingan komodifikasi, saya sekarang selalu memikirkan ulang segala bentuk romantisasi. Sebab ketika meromantisasi sesuatu, nalar manusia akan tumpul dan itu dapat membahayakan kehidupan manusia itu sendiri.
Kejadian orang-orang meromantisasi kenangan bersama Mekdi di Sarinah, dan kemudian berkumpul ramai-ramai di sana di tengah kebijakan PSBB, adalah bukti betapa meromantisasi sesuatu itu sangat berbahaya, baik bagi kehidupan pribadi pelakunya maupun bagi kehidupan publik.
Dengan argumen yang sama, romantisasi terhadap virus Corona, yang oleh kaum naturalis dikatakan sebagai cara alam menyembuhkan dirinya ketika mereka melihat udara yang semakin bersih saat ini saya tolak.
Narasi semacam itu hanya berlandaskan pada penafsiran belaka. Fakta hanya dijadikan bahan untuk menafsir. Padahal fakta lebih penting daripada sekadar tafsiran. Dalam hal ini, udara yang makin bersih adalah fakta, akibat dari berkurangnya aktivitas manusia. Harusnya sampai di situ saja. Menafsirkan Corona sebagai cara alam untuk menyembuhkan diri merupakan kesesatan dalam bernalar.
Tak hanya kaum naturalis, kaum agamais pun tak ada bedanya. Secara oversimplistik, mereka menganggap Corona sebagai ujian dari Tuhan atau teguran terhadap kesombongan manusia. Bahkan ada yang sampai menganggap mereka sebagai Tentara Tuhan. Dari mana mereka tahu kalau Corona ujian/teguran dari Tuhan? Itu saya pikir hanya penafsiran mereka. Hikmah mereka menyebutnya.
Ketimbang menyebut itu sebagai ujian/teguran dari Tuhan, saya lebih berminat menyebut Corona sebagai ujian terhadap imun tubuh manusia, atau ujian terhadap kepedulian manusia mengenai kebersihan dan kesehatan tubuhnya.