Negeri Pusaran Mata - Jurnal Darul Azis

Negeri Pusaran Mata

Negeri Pusaran Mata


(Berdasarkan pengumuman pemenang lomba esai Ini Indonesiaku, yang diselenggarakan oleh HMJ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Esai ini menduduki peringkat ketiga nasional. Tulisan yang cukup jelek sebenarnya, maklum, saya waktu itu masih belajar nulis. Hehe
Sila dibaca, semoga bermanfaat untuk Anda) 
Oleh : Darul Azis

    Kalau saja generasi muda saat ini sudi menengok sejenak tentang sejarah, juga tentang betapa tertariknya bangsa Eropa dan Asia dengan Indonesia, maka saat itu pula mata kita akan terbelalak lebar betapa kayanya negeri ini. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam dari dulu hingga kini. Seperti air zam-zam di musim Haji, kekayaan alam Indonesia seolah tak pernah habis. Begitu mudahnya Tuhan memberikan nikmat kekayaan alam  untuk Bangsa Indonesia. Mukjizat terakhir misalnya, munculnya Pulau Karang di Laut Madura pada Januari lalu, telah membawa banyak berkah bagi masyarakat sekitar seperti penyewaan perahu untuk para wisatawan dadakan.
     Begitu kritisnya orang-orang di negeri ini ketika melihat bangsa asing, yang secara jujur dapat kita akui memang telah teruji kekuatannya dan mampu mengelola kekayaan alam di negeri ini. Namun ketika dihadapkan dengan peluang mengelola kekayaan yang mentah itu, kebanyakan di antara mereka yang lepas tangan, baginya memulai dari “nol” adalah pekerjaan bodoh. Selama ada cara singkat dan praktis, kenapa tidak? Tentu ini tidak sesuai dengan tingkat “koar-koaran”nya di jalanan, seminar, diskusi-diskusi ilmiah, dan pidato-pidato akademis kalau pada nyatanya tidak ada tindakan nyata.
     Berbicara tentang kekayaan alam Indonesia memang tak ada habisnya, dan begitulah yang terjadi selama ini, yakni hanya berbicara tentang kekayaan alam, membanggakan dan memamerkan dan pada akhirnya hanya mampu menarik investor asing ke dalam negeri. Hanya itukah jalan ideal yang bisa tempuh? Tidakkah kita fikirkan betapa anak cucu kita nanti hanya bisa “ngiler” melihat orang-orang asing mengeruk kekayaan alamnya, kekayaan tanah kelahirannya. Kemana orang-orang cerdas lulusan Perguruan Tinggi  terkemuka di negeri ini ? Kebanyakan direkrut oleh bangsa asing dengan iming-iming beasiswa selama beberapa tahun, setelah itu mengabdi menjadi “buruh” di perusahaan-perusahaan asing yang ada di negerinya sendiri. Sungguh ironis.
       Apakah semuanya begitu? Tentu saja tidak, banyak di antara mereka justru “mengubek-ubek” dunia politik, menjadi aktivis partai hingga mematikan inovasinya tentang pengelolaan kekayaan alam. Bukan bermaksud memetak-metakkan posisi, namun untuk meraih satu tujuan harus disadari tidak selalu dengan cara yang sama, semua ada relnya masing-masing sehingga tidak ada kepincangan roda pembangunan, semuanya berjalan seimbang sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Ketimpangan serta inefektifitas dalam pembangunan dapat terhindari sekecil mungkin. Mungkin orang-orang negeri ini bisa dikatakan sebagai “manusia durhaka” terhadap nenek moyang, alam dan tuhan-Nya. Sejak belum punya nama, tanah berpulau-pulau ini telah terkenal kekayaan alamnya, disebut agraria countries.  Namun, seiring perkembangan zaman, kehidupan pertanian dan yang berhubungan dengan pertahanan pangan justru ditinggalkan. Sekarang, kita bisa merasakan akibat dari “kedurhakaan” itu, yakni berupa kekurangan pangan di pojok-pojok, di pusat dan di pinggiran negeri. Langkah tercepat dan termudahnya adalah melakukan impor besar-besaran dengan mengandalkan uang rakyat.

Kesiapan Generasi
Satu hal urgen untuk diperhatikan adalah kesiapan satu generasi untuk “belajar” mengelola sendiri kekayaan negerinya. Tentu perlu adanya gerakan memutus tali lingkaran setan yang selama ini banyak dianut oleh generasi sebelumnya. Komitmen yang kuat akan membukakan jalan, setidaknya pepatah itulah yang harus dijadikan pemompa semangat dan mengusir pesimisme dari satu generasi mendatang. Tidak harus dengan tingkat pendidikan yang tinggi hingga level profesor, kebersamaan yang selama ini menjadi ikon bangsa  dapat kita jadikan modal awal mengelola kekayaan alam negeri ini, misalnya dengan berkorporasi mengelola hasil alam disuatu daerah/wilayah. Koorporasi (lebih populer dengan sebutan “Koperasi”) yang telah dicetuskan oleh Moh. Hatta hingga kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945 dapat dijadikan investasi masa depan oleh satu generasi tersebut. Selain dapat mengoptimalkan pengelolaan kekayaan alam, hal tersebut dapat serta-merta memupuk semangat kesatuan dan kesatuan bangsa yang saat ini mulai terkikis oleh arus globalisasi.
Jika kesiapan generasi tidak diperhatikan sejak dari sekarang, maka nasib negeri ini bukan lagi teka-teki yang tak mudah untuk diramalkan, justru menjadi sangat mudah untuk di prediksikan  maju mundurnya hingga saat itulah bangsa asing datang sebagai “juru selamat” dengan dalih memanajemeni sistem pertahanan pangan di Indonesia, meski di balik itu semua mereka tetap saja lebih mementingkan tanah kelahirannya sebagai tempat lumbung investasi masa depannya. Itu merupakan rumusan mutlak  dan baku bagi kita, bangsa Indonesia.
Kesiapan generasi itu dapat juga dibangun dengan “menyadarkan” semua pihak bahwa negeri ini berada di pusaran mata. Artinya, semua mata negara-negara maju dan berkembang sekalipun tengah tertuju pada Indonesia. Entah kapan waktunya negara ini akan menjadi rebutan negara-negara highpower  untuk dijadikan lumbung pangan, baik dengan cara terlembut maupun dengan cara-cara yang menginjak-injak hak asasi manusia. Sebelum semua itu terjadi, sebaiknya kita persiapkan power dan mental untuk menghadapi itu semua, setidaknya kita tidak menjadi “terlalu lemah” dan mampu memberikan perlawanan ketika tanahsurga ini hendak dikeruk lebih dalam oleh bangsa asing. Atau kita hanya akan menjadi bangsa yang terjajah untuk kesekian kalinya? Na’udzubillah min dzalik.

Yogyakarta, Februari 2013.
Please write your comments