Memutus Mata Rantai Penyalahgunaan Narkoba - Jurnal Darul Azis

Memutus Mata Rantai Penyalahgunaan Narkoba

Memutus Mata Rantai Penyalahgunaan Narkoba

Memutus Mata Rantai Penyalahgunaan Narkoba/Ilustrasi Shutterstock
Prolog
Indonesia  darurat  narkoba. Demikianlah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan permasalahan narkoba di negara kita saat ini. Tahun 2014 lalu jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia mencapai 4,2 juta jiwa (BNN, 2014). Angka ini diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 5,1 juta jiwa di tahun 2015 ini[1]. Miris memang, setiap tahun jumlah penyalahguna narkoba justru terus bertambah, baik yang digolongkan sebagai pecandu –yakni orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan secara fisik dan psikis- maupun sebagai korban penyalahgunaan narkoba -seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa atau diancam untuk menggunakan narkotika.[2]

Narkoba pada dasarnya berfungsi sebagai obat atau bahan yang dapat dimanfaatkan dalam pengobatan medis, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun kemudian disalahgunakan di luar indikasi medis dan tanpa petunjuk atau resep dokter. Penyalahgunaan ini dikarenakan efeknya yang dapat menimbulkan rasa nikmat, rileks, senang, dan tenang. Perasaan itulah yang dicari oleh para para pemakai meskipun setelah itu mereka seringkali merasa cemas, gelisah, nyeri otot, dan sulit tidur. Selanjutnya, karena digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama, pemakaian narkoba menimbulkan ketergantungan.[3] Dilihat dari sudut pandang kesehatan, maupun sosial, penyalahgunan narkoba sangatlah merugikan penggunanya, menjelma bahaya bagi kehidupan manusia, masyarakat, negara serta mengancam kelangsungan suatu generasi.

Realita di atas relevan kita kaitkan dengan semakin menggilanya peredaran gelap narkoba yang telah melintasi batas-batas negara, menggunakan modus operandi yang sangat variatif, berteknologi tinggi, dan didukung oleh jaringan organisasi yang luas. Peredaran narkoba yang luas itu, sudah memakan banyak korban baru. Para korban baru itulah yang kemudian menjadi pasar bagi para pengedar karena efek yang ditimbulkan dari barang-barang haram tersebut adalah ketagihan. Syahdan, tak hanya menjadi pengguna, mereka juga tergiur untuk menjadi pengedar narkoba. Peredaran gelap narkoba yang dilakukan dengan metode multi-level marketing dan terselubung itu seringkali luput dari perhatian kita.

Kalau kita hendak menggunakan salah satu prinsip ekonomi, semakin banyak penyalahguna narkoba maka akan semakin besar pulalah suplai yang “harus” dipenuhi. Hal ini mengundang jaringan sindikat peredaran narkoba (dalam dan luar negeri) untuk beroperasi lebih giat lagi, memodifikasi modus operandi, dan bekerja serapih mungkin agar selamat dari kejaran aparat penegak hukum. Mengingat harganya yang terhitung tinggi serta didukung pasar yang sangat luas, “bisnis” ini tentu semakin menggiurkan banyak orang,  karena menjanjikan keuntungan yang tidak sedikit, baik berperan sebagai produsen, pengedar, bahkan hingga kurir sekalipun.

Ya, Indonesia berpotensi menjadi pasar empuk para gembong narkoba, karena tidak hanya jumlah penyalahgunanya yang besar, kondisi geografis kita yang berpulau-pulau pun seolah menjadi “daya dukung” aksi peredaran narkoba di tanah air. Jalur laut menjadi jalur paling rawan terhadap aksi penyelundupan narkoba ini, terutama yang berasal dari luar negeri.

Jika hal ini tidak segera diatasi, dikhawatirkan aksi penyalahgunaan narkoba akan semakin meluas dan memakan korban lebih banyak lagi serta berekses pada hancurnya suatu generasi. Mengingat dampaknya yang sangat berbahaya itu, tentu kita semua akan sepakat untuk memerangi narkoba, dari hulu  (pemerintah) ke hilir (masyarakat)  sebagaimana selama ini kita memerangi tindak kejahatan lain, korupsi dan terorisme misalnya. Untuk menanggulanginya, diperlukan komitmen, kerja keras, sinergitas, koordinasi, dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan.


Siapa?
Mengingat kembali angka-angka mengerikan di atas, reaksi kritis kita pun lantas akan bertanya, siapa sajakah penyalahguna narkoba sebanyak itu? Untuk menjawabnya, mari kita lihat jurnal data P4GN tahun 2011 yang mengungkapkan bahwa tersangka penyalahguna narkoba terbanyak berada di DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Barat. Lebih mengejutkannya lagi, dilihat dari tingkat pendidikannya, mereka yang berpendidikan SLTA merupakan jumlah terbesar sebagai tersangka penyalahguna narkoba. Sementara jika dilihat berdasarkan batas usia, mereka yang berusia di atas 30 tahun merupakan jumlah terbesar sebagai  tersangka penyalahguna narkoba. Selain itu, dilihat berdasarkan jenis pekerjaannya, diketahui bahwa pekerja swasta- termasuk di dalamnya para pelaku seni modern- merupakan jumlah terbesar sebagai tersangka penyalahguna narkoba dibanding profesi lainnya. Tak hanya itu, jumlah tersangka penyalahguna narkoba di tahun dari tahun 2006-2010  juga sangat tinggi, nyaris mencapai angka seratus ribu jiwa. [4]


Mengapa?

Berangkat dari fenomena di atas, maka pertanyaan selanjutnya yang layak kita ajukan adalah apa sebab utama yang melatarbelakangi penyalahgunaan narkoba? Mengapa angka tertinggi  penyalahgunaan narkoba ada di kota-kota besar, tidak di daerah-daerah pelosok? Menjawab pertanyaan ini, kita dapat berasumsi bahwa hal ini dikarenakan orang-orang kota cenderung lebih rentan terhadap risiko stres, frustasi, depresi. Bagaimana tidak, kehidupan di kota-kota besar amatlah sibuk, berikut permasalahan-permasalahan yang mungkin muncul, sangat kompleks dan pelik.

Ketika seseorang sampai pada kondisi stres, frustasi, dan depresi, maka saat itu pula kemungkinan penyalahgunaan narkoba semakin besar. Terlebih lagi jika mereka tidak tahu atau tidak memiliki tempat yang tepat untuk membantu menghilangkan rasa stres, frustasi, dan depresi tersebut, misalnya dengan : berkumpul bersama keluarga, berkunjung ke tempat wisata, mengikuti kegiatan komunitas, ataupun berkumpul teman-teman yang baik perilakunya. 

Selain itu, di kota-kota besar arus perputaran uang pun sama padatnya dengan arus lalu lintas, sehingga aksi peredaran gelap narkoba pun lebih cepat. Tak hanya itu, menjamurnya tempat-tempat hiburan malam, masyarakat yang cenderung kurang memerhatikan satu sama lain, menjadi faktor pemicu seseorang terjerumus dalam aksi penyalahgunaan narkoba, jalan untuk menyalahgunakan narkoba pun semakin terbuka lebar. Ditambah lagi dengan kemudahan akses informasi dan komunikasi saat ini, makin muluslah jalan seseorang untuk sampai pada aksi penyalagunaan narkoba.

Pembahasan di atas baru menyentuh masyarakat golongan menengah ke atas, sementara di kota-kota besar, problem-problem kehidupan tak hanya dihadapi oleh golongan tersebut. Adalah golongan menengah ke bawah yang seharusnya juga tidak luput dari perhatian kita, karena posisi mereka pun tak kalah rentannya dari bahaya narkoba, baik menjadi pecandu, penyalahguna ataupun korban penyalahgunaan narkoba. Kita dapat mengambil contoh misalnya, seseorang yang penghasilannya pas-pasan atau bahkan kekurangan, kondisi keluarga kurang baik, ataupun tidak memiliki pekerjaan yang menjanjikan. Saat mereka dalam kondisi seperti itu, menjadi pengedar ataupun kurir adalah pekerjaan yang sangat menggiurkan baginya. Selain, kemudian, bisa menikmati barang haram tersebut secara gratis, mereka juga akan mendapatkan upah yang lumayan tinggi. Dari sini dapat kita identifikasikan bahwa permasalahan keluarga dan problem sosial di kota-kota besar menjadi pemicu utama tingginya angka penyalahgunaan narkoba sebagai tempat pelarian orang-orang yang dihinggapi rasa stres, frustasi, dan depresi.

Kedua, konsumen narkoba kebanyakan justru berpendidikan SLTA. Ini menandakan bahwa ternyata tingginya tingkat pendidikan serta pengetahuan tentang narkoba tidak berbanding lurus dengan kemauan dan kemampuan untuk menjauhi dan memeranginya. Mereka yang berpendidikan SLTA tentu bukan tidak tahu jenis-jenis, bahaya, dan dampak penyalahgunaan narkoba. Mengingat sebenarnya sosialisasi bahaya Narkoba sudah gencar dilakukan dalam dua dasawarsa ini baik oleh BNN, tenaga medis, maupun kepolisian.

Ini menandakan bahwa selama ini proses sosialisasi yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya sampai pada tahap penyadaran untuk memerangi narkoba. Kampanye yang dilakukan pun baru sebatas menakut-nakuti, bukan mengedukasi, lebih sering menggunakan alat peraga visual yang ditempel di ruang publik (melalui poster, pamflet, dll) sehingga minim dialog, dan tidak berorientasi pada transfer pengetahuan kepada para orang tua dan komunitas-komunitas masyarakat.

Ketiga, konsumen narkoba kebanyakan berusia di atas 30 tahun. Ada apa di usia tersebut? Di usia tersebut, seseorang akan dihadapkan pada persoalan-persoalan keluarga yang semakin pelik.  Menghadapi persoalan-persoalan di usia kepala tiga ini membutuhkan ketahanan fisik, psikis, dan iman yang kuat. Jika tidak, seseorang akan lebih mudah terjerumus pada hal-hal negatif seperti minum minuman keras, narkoba, dan aksi negatif lainnya. Atau bagi mereka yang cukup beruntung dari segi perekonomian, di usia tersebut seseorang akan menjadi sangat produktif dan semakin dekat dengan taraf kesuksesan. Di sinilah peluang penyalahgunaan narkoba muncul secara perlahan, bisa dari teman, rekan kerja, atau sekali lagi, rasa stres dan frustasi karena padatnya aktivitas sehari-hari sehingga narkoba kemudian dianggap sebagai pelarian yang tepat.

Keempat, pekerja swasta juga menjadi penyalahguna narkoba terbanyak di antara jenis pekerjaan lainnya, ada apa di pekerjaan tersebut? Tidak dapat kita pungkiri bahwa kenyataan ini muncul karena pada pekerjaan tersebut, seseorang akan lebih cepat matang dalam segi penghasilan. Hal ini kemudian, diikuti dengan  potensi rasa stres, frustasi,  dan pergaulan bebas. Kemampuan finansial yang cukup untuk membeli barang-barang haram tersebut, semakin memungkinkan mereka untuk “berkenalan lebih dekat” dengan narkoba.

Selanjutnya, kelompok lain tidak selayaknya kita lupakan adalah para remaja. Kehidupan remaja tak kalah rentannya dari risiko penyalahgunaan narkoba. Penyebabnya pun nyaris sama, yakni pergaulan, permasalahan keluarga, faktor teknologi informasi dan komunikasi, dan gaya hidup yang hedonis. Di usia tersebut, para remaja membutuhkan perhatian ekstra dari orang tua, guru di sekolah, serta masyarakat di lingkungan tinggalnya, mengingat pada usia ini mereka masih dalam tahap pencarian jati diri dan pola pikirnya pun cenderung labil, senang meniru, pragmatis, dan menghendaki kesenangan-kesenangan yang sifatnya sementara. [5]

Kepada teman yang mengaku pernah minum minuman keras maupun menyalahgunakan narkoba, Penulis seringkali melakukan diskusi tentang apa sebenarnya motif mereka mengonsumsi narkoba.  Kepada Penulis mereka mengaku, adalah rasa stres dan frustasi yang menyebabkan mereka sampai pada barang haram tersebut. Adalah pergaulan yang membuat mereka berkenalan dengan barang memabukkan tersebut. Mulanya hanya coba-coba, namun lambat laut mereka pun merasa ketagihan –efek dari jenis narkoba yang dikonsumsinya. Tidak adanya benteng yang kuat menyebabkan mereka semakin terjerumus dan kesulitan untuk bangkit dari keterpurukan tersebut. Barulah ketika mereka menemukan sosok-sosok penolong, secara perlahan mereka dapat meninggalkan narkoba.

Dalam proses penyembuhannya, mereka menggunakan metode self suggestion dan self motivation dengan menanamkan tekad dapat sembuh dari ketergantungan narkoba, di samping menempuh upaya lain seperti menjauhi teman dan pergaulan yang mengarah pada hal-hal berbau narkoba, menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas, dan memperdalam ilmu agama tentunya. Di akhir diskusi, mereka pun mengaku merasa menyesal telah mengonsumsi barang haram tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak lagi mengonsumsi barang haram tersebut serta mewanti-wanti agar Penulis jangan sampai terjerumus pada narkoba.


Di mana?

Seseorang yang telah menjadi pecandu narkoba, tidaklah mungkin berbuat demikian dengan sendirinya. Dapat dipastikan bahwa untuk sampai pada situasi tersebut, seseorang terlebih dahulu menjadi korban penyalahgunaan narkoba, baik karena terpengaruh bujukan, pergaulan, diperdaya, ditipu, dipaksa ataupun diancam orang lain.

Untuk itulah, selain harus selektif dalam bergaul, kita juga dituntut untuk tahu di mana tempat paling rawan dan paling aman dari aksi penyalahgunaan narkoba. Ya, meski tidak dapat dijawab secara pasti, namun setidaknya kita harus mampu membedakan tempat-tempat mana yang berpotensi menimbulkan bahaya narkoba. Dengan begitu, kita dapat meminimalisasi risiko yang mungkin timbul. Katakanlah, upaya ini sebagai antisipasi pribadi agar jangan sampai kita salah dalam membawa diri, karena bahaya narkoba dapat muncul di mana-mana. Dalam hal ini, kewaspadaan kita adalah yang utama.

Tempat-tempat hiburan dan pesta adalah yang paling rawan terhadap aksi penyalahgunaan narkoba. Terlebih lagi, jika di tempat-tempat tersebut juga terdapat berbagai jenis minuman keras. Berada di tempat tersebut, tak hanya berpotensi menjadi penyalahguna, kita juga dapat terjebak menjadi korban penyalahguna narkoba. Selain itu, berada di lingkungan yang tidak kondusif, tidak teratur, dan cenderung bebas juga berpotensi menimbulkan aksi penyalahgunaan narkoba, maka sebaiknya kita bisa menjaga jarak dengan lingkungan yang demikian itu. Kalaupun terpaksa harus berada di lingkungan tersebut, sekali lagi, kewaspadaanlah yang utama.

Nah, setelah mampu mengidentifikasi zona bahaya narkoba, selanjutnya kita dapat beralih ke tempat-tempat yang cukup aman dari bahaya narkoba. Kita harus realistis, daripada menghabiskan waktu, tenaga, dan uang untuk hal-hal mahal dan berdampak negatif, lebih baik mengalokasikan semua itu untuk hal-hal  yang lebih positif. Kita dapat mengunjungi destinasi wisata alam misalnya, rumah sanak saudara, menonton pagelaran seni budaya, acara-acara komunitas sosial, dan berbagai aktivitas positif lainnya yang pada intinya dapat menghindarkan kita dari risiko bahaya narkoba.


Kapan?

Sejak usia dini, secara bertahap kita harus menanamkan pemahaman tentang jenis, bahaya, dan dampak buruk narkoba kepada anak, adik, atau bahkan tetangga kita. Upaya ini dilakukan untuk menanggulangi risiko menjadi korban penyalahgunaan narkoba pada anak-anak, karena saat ini pun tidak jarang anak-anak usia SD seringkali menjadi korban aksi tersebut, menghisap lem adalah fenomena yang paling sering kita temui.

Selain itu, upaya ini juga akan berguna sebagai bekal sekaligus penangkal di usia remaja. Dengan memberikan pemahaman secara bertahap, diharapkan generasi muda kita tidak lagi terjerumus dalam jurang narkoba karena telah dibekali dengan pengetahuan yang cukup luas. Agar lebih efektif lagi, hendaknya upaya ini diiringi dengan ajakan untuk memerangi narkoba secara bersama-sama.

Meskipun demikian, dalam menanggulangi bahaya narkoba diperlukan upaya yang berkesinambungan, karena bagaimanapun juga aksi penyalahgunaan dan peredaran narkoba tidak pernah berhenti pada satu titik tertentu. Setiap saat kita harus tetap mewaspadai, mengidentifikasi, mencegah, dan menanggulangi bahaya narkoba. Ingat, bahaya narkoba ada di mana-mana dan bisa datang kapan saja, serta mengintai siapa saja yang lengah.


Bagaimana?

Tanggungjawab menanggulangi aksi penyalahgunaan narkoba, seyogyanya tidak kita serahkan kepada pemerintah, tenaga medis, ataupun aparat penegak hukum saja. Kita semua sesungguhnya memiliki peran yang strategis dalam mencegah dan menanggulangi aksi penyalahgunaan narkoba. Kita sebagai masyarakat memiliki kesempatan yang sangat luas untuk membantu pencegahan dan memberantas penyalahgnaan dan peredaran gelap narkoba.

Dalam menghadapi berbagai ancaman penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, upaya pencegahan adalah langkah utama yang harus kita kedepankan. Pencegahan merupakan langkah untuk menanamkan nilai-nilai hidup sehat, membekali  dan membentengi diri setiap  warga masyarakat dari ancaman penyalahgunaan narkoba. Upaya pencegahan ini akan menjadi upaya yang sangat mudah, murah, dan dapat dilakukan oleh siapapun serta memiliki manfaat dan dampak yang teramat besar. Namun, upaya  tersebut menuntut konsistensi, sinergitas, dan kesinambungan, serta harus dimulai dari lingkungan terkecil dalam komunitas kita,  yakni  keluarga, pendidikan, tempat kerja dan lingkungan masyarakat.

Di muka kita telah menemukan benang merah mengapa seseorang bisa sampai  menjatuhkan dirinya pada narkoba, yakni frustasi, pergaulan, dan rendahnya ketahanan psikis dan keimanan seseorang. Saat ini, mari kita ingat, untuk sekedar menghilangkan rasa stres dan frustasi, sungguh banyak sekali tempat sekaligus fasilitas untuk kita  me-refresh otak. Pergi jalan-jalan bersama teman-teman kemudian ber-selfie ria adalah salah satu cara mudah dan murah untuk menghilangkan rasa stres dan frustasi tersebut.

Atau selain itu, kita dapat berwisata kuliner, menonton aksi pelawak di tivi, menyaksikan hiburan tradisional, drama, pertunjukan tari, membaca komik, bercanda ria dengan keluarga, atau berkunjung ke rumah sanak famili yang berada di desa. Cara-cara tersebut selain efektif untuk menghilangkan stres, juga tidak memerlukan biaya yang mahal, bahkan lebihmenyehatkan tubuh kita. Pikiran dan aktivitas yang positif bagaimana pun juga dapat menghindarkan kita dari aksi penyalahgunaan narkoba. Dalam hal ini, pemerintah, keluarga, komunitas, dan lingkungan masyarakat perlu membangun ruang-ruang terbuka yang kondusif, edukatif, dan nyaman serta aman dari bahaya narkoba. Tersedianya fasilitas-fasilitas tersebut akan mampu “mengalihkan perhatian” kita terhadap kemungkinan menyalahgunakan narkoba.

Dan yang lebih penting lagi sebenarnya, kita juga tetap harus membentengi diri dengan nilai-nilai dan norma agama dan budaya. Kalau kita berpegang teguh pada keduanya, maka kemungkinan untuk kita terjerumus pada narkoba pun akan sangat kecil adanya. Kita semua mafhum, agama mana pun tentu tidak akan menghalalkan narkoba sebagai pelampiasan permasalahan yang kita hadapi. Agama mana pun menghendaki setiap persoalan hidup yang kita hadapi hendaknya kita kembalikan kepada Tuhan Yang Telah Memberi Ujian, bukan melampiaskannya dengan cara-cara negatif dan melanggar norma agama.

Selanjutnya, pemerintah perlu lebih tegas lagi dalam menindak para sindikat peredaran narkoba di tanah air. Hukuman mati bagi narapidana kasus narkoba hendaknya tetap dilanjutkan guna memberi efek jera karena hukuman ini memiliki daya tangkal terhadap pelaku kejahatan, sehingga sangat dibutuhkan untuk mencegah semakin merajalelanya kejahatan narkoba di Indonesia. Dalam keadaan pidana mati masih berlaku pun, tingkat kejahatan narkoba masih begitu tinggi, bagaimana kalau sama sekali tidak ada.

Mari kita telaah lagi, tingginya angka penyalahguna narkoba di Indonesia yang saat ini mencapai 4,2 juta jiwa itu boleh jadi karena andil bandar narkoba, yang dapat dengan bebas menyelundupkan barang haram tersebut ke Indonesia. Memutus mata rantai peredaran gelap narkoba harus menjadi agenda utama dalam kerangka pemberantasan narkoba di tanah air.

Selama ini pemerintah telah cukup intens mencegah penyalahgunaan narkoba melalui  metode  promotif dan preventif, bagi mereka yang belum begitu paham nama, jenis, dan bahaya narkoba.  Pemerintah juga telah berupaya mengobati para pengguna melalui cara yang lebih manusiawi, yakni metode kuratif (penyembuhan) dan rehabilitasi (pemulihan) bagi para pengguna. Dari beberapa upaya di atas, selanjutnya, upaya lain yang juga harus diambil adalah dengan menggunakan metode represif, yakni penegakan hukum. Metode ini diperlukan -sekali lagi- untuk menindak tegas para produsen, bandar, dan pengedar narkoba.

Jika upaya-upaya di atas dilaksanakan secara konsisten, berkesinambungan, terpadu, dan sinergis, maka mata rantai peredaran narkoba di Indonesia dapat segera teratasi. Karena, menurut hemat penulis, memberantas aksi penyalahgunaan (berikut peredaran) narkoba harus dilaksanakan secara proporsional dan sesuai dengan tingkat permasalahannya. Ibarat penyakit, tentu perlu penanganan yang berbeda, sesuai dengan tingkat kekronisannya. Demikian pula dalam memberantas aksi penyalahgunaan narkoba, hukuman mati adalah langkah proporsional yang harus pula diambil di samping upaya lain yang telah Penulis sebutkan di atas.


Epilog

Memberantas aksi penyalahgunaan narkoba memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun dengan semakin tingginya angka korban maupun penyalahguna narkoba di Indonesia, adalah naif kalau kita -terutama para generasi pemuda- hanya berdiam diri menyaksikan kejahatan narkoba merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penyalahgunaan narkoba dapat dicegah. Namun karena permasalahan begitu kompleks, disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks pula, upaya pencegahan ini pun harus komprehensif dan terpadu. Penyebaran informasi yang tepat dan terpercaya melalui kampanye dan penyuluhan adalah salah satu upaya pencegahan, namun itu semua belumlah cukup. Mengingat bahwa penyalahgunaan narkoba pada dasarnya merupakan problem perilaku sosial, maka pemberian informasi atau transfer pengetahuan harus didukung oleh upaya pendidikan yang dapat mengubah perilaku  dan pola pikir seseorang, selain membimbing anak-anak maupun para remaja untuk menjadi dewasa.

 Kita perlu menciptakan  kegiatan  alternatif  yang  dapat  membantu  mengembangkan atau mengaktualisasi diri agar lebih bermanfaat, baik bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, maupun untuk sesama manusia. Dengan adanya kegiatan alternatif tersebut, kita dapat mengalokasikan waktu yang ada untuk mengembangkan wawasan dan kemampuan penalaran, sehingga semakin terhindar dari aksi penyalahgunaan  narkoba.  Melibatkan diri pada berbagai aktivitas sosial (pendidikan, budaya, agama, pariwisata, seni, olahraga, dll) merupakan cara efektif untuk terhindar dari aksi penyalahgunaan narkoba ini.

Selama ini, barangkali kita lebih sering menjadi obyek sosialisasi anti-narkoba. Saat itu pula kita hanya melihat bahwa upaya tersebut dilakukan agar kita tidak terjerumus ke dalam bahaya narkoba, baik sebagai pecandu, penyalahguna ataupun korban penyalahgunaan narkoba. Namun, jika kita bersedia merenung lebih dalam lagi, ada tujuan mulia yang tersirat dari berbagai pesan yang disampaikan oleh para orang tua (para sosialisator) itu, yakni agar kita menjadi kader-kader anti-narkoba di masa mendatang. Agar kita tidak hanya menghindari, melainkan juga aktor yang memerangi narkoba.
Ya, dengan menjadi pemuda anti-narkoba, kita tak hanya menjaga diri sendiri dari bahaya narkoba, melainkan juga turut menebarkan semangat anti-narkoba kepada banyak orang, mengingatkan orang lain tentang bahaya narkoba, dan pada akhirnya mampu memutus mata rantai generasi pecandu narkoba. Pemahaman seperti ini mutlak diperlukan, karena sebagai orang yang terlebih dulu mengetahui jenis, bahaya, dan dampak buruk narkoba bagi kesehatan dan kehidupan sosial manusia, kita memiliki tanggung jawab moral yakni harus menyebarkannya secara luas, agar semakin banyak pula orang yang tahu, dapat terhindar serta bersedia memerangi aksi penyahgunaan narkoba. Amboi, indah nian jika kita mampu seperti itu.
Terakhir, mari kita penuhi lambaian tangan Ibu Pertiwi yang berharap agar kita –para generasi muda- datang sebagai generasi penerus yang sehat, cerdas, dan bermoral serta bebas dari narkoba. Generasi muda, dengan segenap daya kreatifitasnya diharapkan mampu menjadi agen pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkoba. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Narkoba, aku sih no, kamu? (Darul Azis)



[1] Lihat Renstra BNN 2010-2014, halaman 16
[2] Pengertian mengenai pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkoba dapat dilihat di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
[3] Lihat Buku Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja, BNN, 2012 Hal. 2
[4] Ibid, hal 9-15
[5] Ibid hal IV
Please write your comments