Apakah Kita Memang Sudah Sebinatang Itu? - Jurnal Darul Azis

Apakah Kita Memang Sudah Sebinatang Itu?

Apakah Kita Memang Sudah Sebinatang Itu?



Apakah Kita Memang Sudah Sebinatang Itu-Kata Sikap/Ilustrasi

Pada Jum'at sore lalu, meski tanpa visi dan misi yang jelas, saya berkeliling Jogja dengan mengendarai sepeda motor. Seakan ingin menikmati istimewanya kota Jogja di sore hari dengan penuh hikmat, saya berkendara dengan sangat santai, sambil sesekali bersiul dan bernyanyi. Mengamati tukang becak yang berlalu lalang mengantarkan penumpang, karyawan kantoran yang hendak pulang, pedagang kaki lima yang mulai menggelar dagangannya, dan berbagai pemandangan yang sarat dengan ciri khas kota Jogja.

Berangkat dari jalan AM Sangaji, saya terus ke selatan melewati jalan Mangkubumi, mengikuti jalan Mataram dan jalan Kusumanegara. 

Ketika sampai di perempatan jalan Taman Siswa, tentu, sebagai pemuda yang baik hati, tak punya SIM, tak ingin celaka,  dan kapok ditilang polisi, saya berhenti dengan tertib. Menunggu lampu hijau menyala. Sembari menunggu lampu hijau menyala itulah, mata, hati, dan pikiran saya mulai ngelayap ke mana-mana, mengamati keadaan sekitar. 

Tak lama berselang, lampu hijau pun menyala. Kami yang sedari tadi sudah menanti dengan sabar, bersiap menarik gas dan melaju ke tempat tujuan masing-masing. Saat itulah, sebuah peristiwa gawat terjadi. Dari arah berlawanan, sepasang kakek-nenek menerobos lampu merah dengan mobil tuanya. Sungguh, mereka terlihat sangat calm waktu itu. 

Tentu saja hal tersebut membuat pengendara yang berada di barisan paling depan marah-marah. Tidak meneriaki sepasang kakek-nenek itu memang, tapi melalui suara klakson yang menjerit-jerit itu selayak orang yang sedang melontarkan caci maki. Tapi sekali lagi, mereka terlihat sangat calm. Sementara suara klakson masih terus menghakiminya.

Saya berada di barisan agak belakang waktu itu, jadi saya dapat menyaksikan dengan jelas kejadian tersebut. Untunglah, jempol tangan kiri saya masih dapat dikendalikan dengan baik, sehingga tak ikut-ikutan memencet klakson-menghakimi sepasang kakek-nenek tadi. Jujur, ingin rasanya saya menyetop mobil sepasang kakek-nenek itu. Bukan untuk memakinya, melainkan untuk bertanya, kenapa sebenarnya mereka itu, kok ya nekad menerobos lampu merah segala?  Kan berbahaya, bisa ditilang polisi juga nanti kalau kepergok.

Kejadian seperti itu sudah sangat familiar bagi saya, dan barangkali bagi Anda juga. Saya sering menyaksikan peristiwa serupa di jalan. Kita juga sering melihat aksi pemukulan ramai-ramai terhadap maling yang tertangkap, mem-bully orang-orang yang menurut kita salah dan tidak sependapat dengan kita, bahkan sampai dengan mengecam, mengutuk, dan mem-binatang-kannya. 

Jujur, sekarang ini saya merasa, kita terlalu cepat, terlalu bersemangat, dan terlalu buas untuk menghakimi orang lain yang menurut kita salah. Kita melakukannya secara kolektif dan seolah menyuarakan kebenaran yang sebenar-benarnya. Dan uniknya lagi, banyak di antara kita yang tak memahami apa sebenarnya yang tengah dihakimi, kesalahan yang telah diperbuat, siapa pelakunya, siapa yang dirugikan, dan lain sebagainya. Dalam menghakimi para pelaku kesalahan, banyak di antara kita yang hanya ikut-ikutan. Ah, ternyata dalam menghukum seseorang pun kita pun sudah kehilangan esensi. Kita hanya gemar menciptakan sensasi !

Dalam peristiwa lain, kita juga melakukan hal yang sama. Terhadap pemerintah, pemuka agama, orang yang tidak seagama, tidak sesuku, dan tak setali darah dengan kita. Pokoknya, siapa pun yang salah, hajar ramai-ramai. Pokoknya, yang sedikit itu pasti salah, yang banyak sudah pasti benar. Pokoknya, sekali salah tetap salah, harus dihukum seberat-beratnya. Demikianlah prinsip yang lebih sering kita tonjolkan selama ini.

Sabda "pokoknya"  tak dapat ditawar-tawar lagi.

Apakah hal itu salah? Saya tak akan mengatakan itu salah, meski juga tidak membenarkan hal itu. Anda tentu punya pandangan masing-masing akan hal ini. Yang ingin saya pertanyakan di sini hanyalah, sudah tepatkan perlakuan kita terhadap para pelaku kesalahan itu? Sungguh, ini adalah penyakit yang sangat berbahaya sebenarnya. Penyakit yang akan membutakan kita pada kesalahan-kesalahan yang juga sering kita perbuat. Penyakit yang menjadikan kita sebagai seorang munafik tingkat iblis. Penyakit yang menjadikan kita selayak segerombolan binatang pemburu yang tega memangsa temannya sendiri tatkala binatang buruan gagal ditangkap.

Apakah kita memang sudah sebinatang (dan sebuas) itu?

Please write your comments