Tujuh Syarat untuk Menjadi Analis Kebijakan Publik yang Baik - Jurnal Darul Azis

Tujuh Syarat untuk Menjadi Analis Kebijakan Publik yang Baik

Tujuh Syarat untuk Menjadi Analis Kebijakan Publik yang Baik

Image Source : www2.gnb.ca
Salah satu prospek dan peluang bagi para lulusan Administrasi Negara/Publik dan Manajemen Kebijakan Publik adalah menjadi seorang analis kebijakan publik. Profesi ini akan sangat diperlukan di masa mendatang sejalan dengan semangat good governance yang sampai saat ini masih diupayakan perwujudannya. Seorang analis kebijakan publik akan dijadikan partner oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan –jika mereka bertindak sebagai analis independen atau swasta. Seorang analis kebijakan publik juga akan berperan sebagai penyambung lidah rakyat karena pada gilirannya mereka harus terjun ke lapangan untuk menyerap aspirasi dan memahami masalah-masalah ril yang dihadapi masyarakat.
Karena pengaruhnya amat besar pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, para analis kebijakan publik dituntut untuk memenuhi syarat-syarat sebagaimana pendapat Yehezkel Dror dalam Solichin Abdul Wahab (2012 : 65)  yakni sebagai berikut : 

1.      Memiliki perspektif historis dan komparatif.
Realitas masa kini dan yang terus muncul tidak bisa dipahami dan ditangani di dalam ruang waktu yang tipis. Ketidaktahuan akan sejarah bisa menyebabkan seseorang mendapat persepsi yang salah mengenai realitas kekinian, dan sangat membatasi pemahaman seseorang disebabkan oleh kapasitas pemahaman yang diberikan oleh analisis sejalan dengan waktu.  Orang itu harus membaca beragam bahan. Orang harus selalu mengetahui sejarah lengkap dengan area kebijakan yang ditelitinya. Pemahaman semacam ini dapat membantu memahami kecenderungan yang berlangsung dari waktu ke waktu, dan berusaha memprediksi masa depan kebijakan pada area substantif tersebut.

2.      Mengetahui realita pembuatan kebijakan.
Pandangan yang sangat terdistorsi mengenai bagaimana proses pembuatan kebijakan dapat diperoleh melalui teori “populer” atau teori yang tidak berhubungan dengan praktik. Dror mengkritik secara terang-terangan ketergantungan analisis kebijakan pada pendekatan ekonomis, sebagaimana terlihat pada teori public choices/pilihan publik. Dari sudut pandangan Dror –sebagai seorang pakar yang dienal berpandangan rasionalis- bukanlah ide yang bagus untuk meleatkan diri pada satu model analisis kebijakan tertentu sebab ada  ririko bahwa pendekatan semacam ini akan menjadi dogmatis dan membatasi ruang manufer, serta kapasitas seseorang untuk menemukan “kebenaran obyektif”.

3.      Mempelajari masyarakatnya sendiri secara mendalam.
Dror di sini ingin menegaskan bahwa “paling tidak setiap permasalahan harus dipahami dari dalam konteks proses penangan masalah kemasyarakatan; institusi-institusi sosial utama  dan dinamika mereka harus dilihat dari konfigurasi historis; dan yang tak kalah penting, fakta-fakta utama situasi terkini harus diketahui sepenuhnya dengan interpretasi alternatif serta dalam masa depan alternatif yang komprehensif”. Terkadang seseorang perlu meninggalkan konteks operasional untuk dapat lebih memahaminya. Dror kemudian menyarankan agar seorang analis sering melakukan perjalanan agar dapat memperoleh perspektif yang bagus mengenai negara dan institusi-institusi lain di luar negara berikut semua nilai-nilainya.

4.      Mempelajari isu-isu besar mengenai kebijakan dan bekerja dalam isu-isu berlainan.
Dror selama ini merasa bahwa para pakar kebijakan telah gagal memahami makna sebenarnya di balik isu-isu besar mengenai kebijakan dan malah tersandera memilih “isu mikro’ yang mudah disesuaiikan dengan metode yang sudah ada. Di sini, Dror menyarankan agar para pakar mencoba mempelajari berbagai isu besar kebijakan dalam buah karya pakar-pakar kebijakan yang andal, seperti Herman Kahn, Amitai Etzioni, dan Robert Reich. Selain itu untuk membangun kemampuan diri  dan membiasakan daya sensitifitas yang amat dibutuhkan dalam menganalisis kebijakan, seseorang harus memiliki sprektrum pengalaman yang cukup luas dalam  beragam isu dan masalah kebijakan publik. Spesialisasi di dalam satu bidang mungkin dikehendaki dalam satu waktu, namun untuk jangka waktu relatif lama, akan lebih baik memperluas jangkauan dan horizon kepakaran pakar tersebut.


5.      Bergerak menuju apa yang disebut metapolicymaking.
Dalam hal ini Dror menganjurkan agar seseorang harus berupaya sedemikian rupa untuk membangun perspektif dalam pembuatan kebijakan, bukan sekedar mencoba menjelaskannya. Dalam pemaknaan ini, sang analis kebijakan itu harus berpikir seperti praktisi sesekali dan mencoba melihat dunia dari perspektif ini. Pandangan mengenai dunia (worldview) yang berbeda semacam ini akan membantu sang analis dalam mengembangkan pemahamannya sendiri atas proses pembuatan kebijakan yang dalam banyak kasus amat berliku.

6.      Membangun filosofi ilmu pengetahuan dan bertindak sesuai dengan itu.
Dror misalnya, mendorong penolakan positivisme, sebab metodologi eksklufif ini dianggap “sok saintifik’. Kemampuan klinis, pengetahuan subyektif yang didasarkan pada keterlibatan dalam kerja terapan dan studi teoritis, pemahaman implisit, serta dasar-dasar pemahaman yang sejenis merupakan sumber absah (ligitimate) pengetahuan dalam pembuatan kebijakan. Misalnya, studi mengenai pemikiran politik klasik beserta filosofinya dapat memacu peningkatan kemampuan analis untuk memahmi dan menilai pilihan-pilihan normatif yang tercakup dalam banyak keputusan kebijakan.

7.      Memperluas jangkauan metodologi dan pengalamannya dengan berpindah pada lokasi-lokasi kerja yang berlainan, menghabiskan waktu dalam budaya yang berbeda, dan mempelajari suatu bahasa.
Sepanjang hidupnya, dimungkinkan untuk memahami dan menerapkan teknik-teknik yang berlainan. Misalnya, yang didapatkan dari analisis pertahanan atau penelitian masa depan. Masih menurut Dror, setiap pakar kebijakan idealnya punya waktu dua atau tiga tahun di masing-masing dari ketiga tipe lokasi kerja ini : sekolah kebijakan publik untuk  melakukan penelitian serta mengajar, unit analisis kebijakan di dalam pemerintahan, dan sebuah think tank yang menangani isu-isu sosial-politik utama. Singkatnya, kalau kita mengikuti jalan pikiran Dror, seorang analis kebijakan harus mencoba hidup dalam dunia nyata, yang secara sosio-ekonomi dan politik, penuh dengan segala pernak-pernik tantangannya.  Dengan kata lain, seorang anlis kebijakan sebaiknya membiasakan diri hidup dalam suasana pluralisme yang ada di negaranya. Menurut Dror, “tidak ada yang bsa menggantikan bekerja selama beberapa tahun dalam budaya yang berbeda untuk memperluas peta kognitif seseorang, melihat masyarakatnya dalam cara berbeda dan lebih tepat, serta mendapatkan pemahaman mengenai dimensi krusial permasalahan umat manusia dan isu-isu kebijakan”.
Akhirnya, Dror menyarankan agar seorang analis kebijakan melipatkan dasar keilmuannya dan berhati mengenai etika profesional. Memahami disiplin lain di luar ilmu politik, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi, atau sosiologi merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat. Idealnya, para pakar kebijakan mempelajari suatu disiplin tambahan yang berlawanan dari asumsi dasar disiplin yang paling dikenalnya. Etika profesional pribadi harus menjadi pusat perhatian bagi setiap pakar kebijakan. Analis harus memutuskan apakah akan bekerja bagi setiap klien yang menarik (membayar),  atau hanya bekerja bagi klien yang memiliki nilai-nilai moral yang bisa dihormatinya.
Selain itu, analis harus menyeimbangkan antara kesetiaan terhadap klien dengan nilai-nilai utama dan kepentingan klien. Akhirnya, ketika bekerja dengan kalangan elit, analis harus dengan tegas merepresentasikananalisis dan temuan yang sering tak dikehendaki atau bertentangan dengan intuisi.
Lebih lanjut, Solichin juga berpendapat mengenai kebutuhan analis kebijakan  di Indonesia di abad 21 ini. Menurutnya, permasalahan sosio politik yang semakin lama semakin meningkat, akan membawa konsekuensi terhadap meningkatnya kebutuhan analis kebijakan dalam lembaga penelitian independen, PTN/PTS, serta lembaga-lembaga pemerintahan baik pada skala lokal  maupun pusat.
Ditambahkannya pula, di abad ke-21 adalah abad yang penuh dengan masalah sehingga jelas akan membutuhkan lebih banyak analis kebijakan dalam beragam bidang keahlian. Dengan mencoba menjadi analis kebijakan yang baik, artiya seseorang sudah memilih karir yang sangat menjanjikan, dan tak diragukan lagi, posisinya di masyarakat akan lebih penting di abad baru ini.

Sumber : Abdul Wahab, Solichin. 2012. Analisis Kebijakan. Bumi Aksara : Jakarta.
Please write your comments