Media Online, Media Sosial, dan Potensi Konflik - Jurnal Darul Azis

Media Online, Media Sosial, dan Potensi Konflik

Media Online, Media Sosial, dan Potensi Konflik



Sumber Gambar dari sini



Oleh : Darul Azis

Insiden kekerasan massa yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436 H di Talikora, Papua, beberapa waktu lalu meninggalkan beberapa pelajaran yang selayaknya dapat menjadi bahan koreksi bagi kita semua--masyarakat informasi ini. Hal ini diperlukan agar ke depan kita dapat mengantisipasi kasus-kasus serupa –meski kita tidak berharap peristiwa sejenis terulang kembali- dan dapat menyikapinya dengan lebih bijaksana.


Pertama, berkaitan dengan kredibilitas dan profesionalisme portal berita online dalam memberitakan kejadian. Sebelumnya kita memang mengamini bahwa keberadaan portal berita online telah membuat informasi apa pun dapat lebih mudah dan cepat  diakses,  jika dibandingkan dengan surat kabar cetak.  Namun meski begitu kita tidak lantas membiarkan, apalagi membenarkan jika media-media online tersebut semakin jauh menyimpang dari fungsi persnya. Terhadap peristiwa semacam di Talikora, kita sering menemukan pemberitaan di media online yang  justru bersifat provokatif, tidak berimbang, tidak akurat dan cenderung mengadudomba. Padahal pada saat-saat seperti itu kita sangat membutuhkan berita yang benar-benar  objektif, berimbang, terpercaya, dan faktual agar kondisi tidak semakin runyam disebabkan pemberitaan yang  diplintir-plintir dan ngawur.

Kedua, menyangkut kecenderungan kita yang enggan membaca informasi sampai selesai, enggan mencari tahu kebenaran berita, serta kebiasaan asal sebar berita di media sosial. Dalam kasus Talikora kemarin, tak berselang lama setelah insiden tersebut terjadi, jagat media sosial menjadi sangat gempar karena kemudian tersebar berbagai macam “berita” bernada provokatif, subyektif, mengadudomba dan tidak berimbang sebagaimana disinggung di muka baik yang berasal dari media online maupun dari perorangan berbentuk pesan siaran (broadcast).

Kondisi tersebut agaknya juga dilatarbelakangi oleh perilaku pengguna media sosial yang dengan begitu “bersemangat” menyebarkan “berita-berita” tersebut  kepada khalayak tanpa mau membaca  secara detail, apalagi meneliti lebih lanjut  mengenai kebenaran dan keakuratan berita. Kebiasaan asal sebar berita yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya inilah yang semakin memperkeruh suasana, di samping komentar-komentar orang-orang yang tak begitu paham dengan kondisi yang sebenarnya, termasuk yang dilontarkan para pejabat kita.
 
Seperhatian penulis, masalah ini sebenarnya sudah cukup lama mewabahi masyarakat kita, terutama para pengguna media sosial. Bahkan di DIY tempat saat ini penulis tinggal pun tidak luput dari fenomena serupa. Sebagai contoh, dalam beberapa waktu terakhir banyak tersebar “berita-berita”  plintiran tentang aksi Raden Kian Santang, begal, gempa, dan kematian mahasiswi di media sosial seperti facebook, line, blackberry messenger, whatsapp, yang pada akhirnya bukan menjadi sebuah informasi yang akurat, melainkan justru menimbulkan kegelisahan dan keresahan di masyarakat karena kesimpangsiurannya. 

Akankah kita terus-menerus seperti itu?
 
Seharusnya tidak. Karena internet dan media sosial tidak diciptakan untuk tujuan seperti itu. Internet dan media sosial diciptakan untuk mempermudah kita terhubung dengan dunia luar agar tetap terus terjalin komunikasi dan silaturahmi antarsesama. Agar kita tetap bersatu walau terpisah jarak dan waktu. Bukan malah terpecah belah dan berkonflik. Sebagai pengguna yang notabene dikarunia akal sehat dan hati nurani, seharusnya kita mampu lebih bijak dalam mempergunakan internet dan media sosial.

Karena itulah, pada momen yang fitri ini saya mengajak kepada pembaca sekalian untuk mari kita bermawas diri terkait kebiasaan asal sebar berita itu, baik yang berasal dari media-media online maupun yang beredar di media sosial. Sebab di era padat informasi ini kejelian kita dalam mendeteksi mana informasi sampah dan mana informasi yang akurat dan faktual sangat dibutuhkan. Agar konflik yang mungkin saja timbul di tengah kondisi kita yang beragam ini dapat kita minimalisasi. Mari kita belajar untuk bisa sedikit lebih bersabar; mau bertabayun; dan berlatih untuk menahan diri di era media sosial seperti sekarang ini. Karena itulah yang saat ini sedang kita butuhkan.



Please write your comments