Benarkah Mereka Butuh Ucapan Selamat Natal Dari Kita? - Jurnal Darul Azis

Benarkah Mereka Butuh Ucapan Selamat Natal Dari Kita?

Benarkah Mereka Butuh Ucapan Selamat Natal Dari Kita?

---Sebuah pertanyaan kepada umat muslim yang terus berkubang dalam  perdebatan---
Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal
Benarkah Mereka Butuh Ucapan Selamat Natal Dari Kita? /Ilustrasi via plusquotes.com

Setiap tahun Hari Natal dirayakan. Setiap tahun pula kita, umat muslim ini, memperdebatkan perihal boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal kepada mereka yang merayakan. Seperti tak ada paham-pahamnya. Seperti tak ada solusi-solusinya. 

Lalu, seperti biasa energi kita pun terkuras pada perdebatan-perdebatan itu, sehingga lupa bagaimana harus mengambil sikap. Padahal setahu saya, ketika ilmu dan pengetahuan sudah didapat selanjutnya kita harus mampu mengambil sikap atas sebuah persoalan. 

Setiap momen Natal tiba, saya yakin umat Kristiani dan Katholik juga tak henti-hentinya berharap agar dapat melaksanakan Misa Natal dengan khidmat. Tetapi  apa yang kemudian terjadi? Mereka malah terganggu dengan suara lantang dan suara berisik kita yang terus berdebat ini, dan mirisnya lagi lebih banyak dilakukan di media sosial. Selalu begitu setiap tahunnya dalam beberapa tahun ini.

Sungguh, saya tak bisa membayangkan, bagaimana perasaan umat Kristiani dan umat Katholik ketika menyaksikan perdebatan kita itu, terlebih lagi ketika kata haram dan kafir mulai dikeluarkan. Dalil dan hadits mulai dikumandangkan.

Saya juga tak bisa membayangkan, bagaimana perasaan umat Kristiani dan Katolik, ketika menerima ucapan selamat Natal dari teman, keluarga, atau sahabatnya yang beragama Islam, sementara di luar sana ucapan tersebut masih diperdebatkan karena dianggap mencampuradukkan aqidah, yang berarti bagi mereka yang mengucapkan itu sama dengan sedang mempertaruhkan akidahnya. Rumit sekali bukan?

Alat Komunikasi

Dulu sebelum alat komunikasi menjadi secanggih sekarang, seingat saya perdebatan itu tak pernah ada,-barangkali karena memang karena akses kita masih terbatas. Sekarang, alat komunikasi sudah sedemikian canggih, cepat, dan lengkap. Dalam hitungan detik, kita sudah bisa mengirim ucapan-ucapan selamat hari raya kepada teman, keluarga, sahabat, dan orang-orang tercinta, dilengkapi dengan gambar dan emoji. Interaksi menjadi sedemikian gampang dan instannya.

Namun kita juga tahu bukan, pada media semacam itu apa yang tampak bisa sama sekali berbeda dengan yang sebenarnya? Dan itu sering kali terjadi dan kita lakukan. Kita bisa mengirim emoji tersenyum, tapi saat mengirimkannya kita bisa saja sedikit pun tidak tersenyum. Kita bisa memberikan kata-kata bernada menyemangati tanpa harus benar-benar menyemangati. Kita bisa berpura-pura sedih meski sebenarnya tidak sedang bersedih. Kita juga, bisa berpura-pura gagah berani, meski sebenarnya kita adalah seorang pengecut. Begitulah kita, di tengah kemajuan alat komunikasi dan informasi ini.

Demikian halnya dengan ucapan-ucapan itu, saya tak begitu yakin ketika seseorang mengirimkan ucapan-ucapan selamat (dalam berbagai hal) benarkah itu berasal dari hati, tulus, dan jujur? 

Bisa jadi hanya sekadar basa-basi, formalitas, dan karena rasa 'gak enak' 'kan? Itu baru dari sudut pandang si penyampai pesan (komunikator). Bagaimana jika dilihat dari sudut pandang penerima pesan (komunikan)? Saya juga yakin, si komunikan pun akan menganggap sama. Tidak benar-benar menerimanya dengan penuh perhatian, bahkan ucapan terima kasih atas ucapan selamat pun misalnya, tak akan lebih dari sekedar formalitas belaka. Tak perlu jauh-jauh, silakan bagi Anda yang Muslim, periksa kembali saat Anda menerima ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri.

Ucapan Selamat Natal menurut saya tidaklah terlalu penting untuk diperdebatkan (lagi). Sebab pada akhirnya, di era serba instan ini, ucapan selamat hari raya tak lebih dari sekadar ucapan basa-basi, formalitas, dan kesetiakawanan semata. 

Lagi pula, apalah artinya kita memberikan ucapan selamat sementara, misalnya, dalam memberikan kesempatan umat lain untuk beribadah atau mendirikan tempat ibadah saja, kita sering bertindak superior dan berbelit. 

Apalah artinya mengucapkan Selamat Natal kalau itu justru berpotensi memunculkan konflik dan kebencian antar saudara (seiman) sendiri. 

Apalah artinya kita mengucapkan Selamat Natal sementara kita tak tahu benarkah mereka membutuhkan ucapan Selamat Natal dari kita atau tidak? Apalagi kalau 'cuma' lewat sms, WA, BBM, status FB, dlsb.

Dan, ini yang saya kira jauh lebih penting, apalah artinya kita mengucapkan Selamat Natal kalau cuma ingin terlihat dan tampil sebagai manusia yang toleran dan moderat--sekali lagi di media sosial. Sungguh, aplikasi toleransi tak sehipokrit dan setransaksional itu.

Menutup tulisan ini, saya punya keyakinan bahwa dalam kehidupan yang beragam ini, kita lebih membutuhkan sesuatu yang lebih konkrit dari ucapan selamat, seperti keamanan, kebebasan, kenyamanan, bagi umat lain untuk beribadah, juga untuk mendirikan tempat ibadah.  

Umat Kristiani dan Katolik, bahkan mungkin tidak terlalu berharap ucapan selamat dari kita, sebab mereka lebih butuh rasa aman, nyaman, dan kekhidmatan dalam menjalankan ibadahnya. Dan kita, sama sekali tidak berhak menganggunya dengan perdebatan-perdebatan itu. 

Justru sebagai umat Muslim, kita harus bersyukur karena pada hari itu kita turut kebagian berkahnya. Apakah itu?

Apalagi kalau bukan hari libur? 😝

Mari kita gunakan hari libur itu untuk rehat sejenak; pulang ke kampung halaman; nyantai di pantai; atau membersamai keluarga di rumah. Dan semoga itu akan dapat menambah kadar kebahagiaan dalam diri Anda, Anda, dan Anda semuwah. Aamiin.




Please write your comments