Upacara Adat Cing Cing Goling, Kearifan Lokal Dari Karangmojo Gunungkidul - Jurnal Darul Azis

Upacara Adat Cing Cing Goling, Kearifan Lokal Dari Karangmojo Gunungkidul

Upacara Adat Cing Cing Goling, Kearifan Lokal Dari Karangmojo Gunungkidul

Upacara adat Cing Cing Goling adalah salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh warga Dusun Gedangrejo, Karangmojo, Gunungkidul, DIY.
"Upacara adat Cing Cing Goling ini terinspirasi dari kisah pelarian bangsawan akibat runtuhnya Majapahit yang terjadi sekitar abad ke-15." Kata  Agus Purwanto memulai pembicaraan. Ia adalah salah satu seorang pelestari Upacara Adat Cing Cing Goling.
Upacara adat Cing Cing Goling

Pada saat itu, Raden Wisang Sanjaya yang merupakan salah satu bangsawan Majapahit beserta istri dikawal abdi kepercayaannya Ki Tropoyo, meninggalkan kerajaan yang mulai surut tersebut. Mereka berjalan dari Jawa Timur menuju barat dengan menyusuri jalur perbukitan dan naik turun jurang. Agar dapat berjalan lebih cepat, Nyi Wisang Sanjaya menyingkap kainnya (cincing dalam bahasa Jawa) sampai terlihat betisnya, sehingga terlihat oleh para pria. Para pria yang melihat sampai tergiur hatinya (ngoling atine dalam bahasa Jawa). Godaan dan hambatan oleh para pemuda hidung belang idan berandal terjadi silih berganti, namun berkat kesaktian cemeti pusaka Ki Tropoyo, berbagai halangan dan rintangan pun dapat dihadapi. Hingga akhirnya pelarian mereka berhenti di sebuah tempat bernama Gedangan.

"Saat ini bernama Desa Gedangrejo, Kecamatan karangmojo, Gunungkidul." Jelas guru seni budaya di SMPN 1 Karangmojo ini.

Para pelarian itu hidup dan membaur dengan warga setempat. Warga setempat pun menerima mereka dengan tangan terbuka terlebih mereka dianggap ramah dan suka membantu. Raden Wisang Sanjaya merasa betah tinggal di Gedangan, hingga mengubah namanya menjadi Kyai Pisang atau Kyai Gedangan. Seluruh rombongan pelarian juga dianggap berjasa dalam mengamankan desa dari para perampok yang sering menjarah hasil pertanian warga. Tidak hanya itu, mereka juga punya andil dalam memajukan pertanian di Gedangan, khususnya dalam urusan irigasi. Konon, Raden Wisang Sanjaya dan Ki Tropoyo menggunakan senjatanya berupa tongkat serta cemeti menggores tanah kemudian tanah itu berubah menjadi sungai. Air sungai yang mengalir dibendung dan saat itu waduk itu dikenal dengan nama Waduk Kedung Dawang.


Hasil pertanian menjadi sangat baik berkat irigasi yang lancar, kemakmuran masyarakat pun meningkat. Sejak saat itu, sebagai ungkapan rasa syukur tiap tahun setelah panen padi kedua (lemarengan), Kyai Pisang mengajak masyarakat untuk mengadakan sedekahan di bendungan Kedung Dawang di bawah pohon beringin. Sedekah tersebut diberi nama sedekah bendungan. Konon diyakini jika ingin kehidupannya berhasil atau sembuh dari penyakit, maka masyarakat sebaiknya nggedekke ambeng (bernadzar) menyembelih ayam atau kambing yang ujubnya akan diikrarkan oleh juru kunci yang bernama Eyang Rejo Tamsi. Sampai saat ini peran juru kunci dijabat turun temurun hingga kini disandang oleh Mbah Suwitorejo.

"Mengingat nilai historisnya, maka upacara ini perlu terus dilestarikan oleh masyarakat." tutur pria kelahiran 51 tahun yang lalu ini.

Upacara Cing Cing Goling sendiri berarti "menarik kain jarik yang dikenakan ke atas saat berlarian dan membuat pria yang melihat menjadi tergiur hatinya". Hingga saat ini upacara ini tetap dilaksanakan setelah musim panen kedua, berkisar antara Bulan Juli-Agustus hari Kamis Kliwon atau Senin Wage pukul 13.00 WIB. Area yang digunakan adalah bendungan Kedung Dawang, Gedangan I, Gedangrejo, Karangmojo. Upacara ini diikuti oleh warga dusun Gedongan I, II, dan III.


Ritual kenduri sedekah bendungan pelaksanaannya dibarengi dengan prosesi kesenian adat sebagai penggambaran perjalanan pelarian Raden Wisang Sanjaya dan rombongannya.  Di mana dalam prosesi kesenian tersebut, satu adegan melibatkan puluhan penari yang berlarian menginjak-injak lahan pertanian. Mereka percaya, tanaman yang diinjak-injak tidak akan mati, justru panen berikutnya akan lebih subur.
Please write your comments