Ambiguitas SKCK, Surat Sehat, dan SIM - Jurnal Darul Azis

Ambiguitas SKCK, Surat Sehat, dan SIM

Ambiguitas SKCK, Surat Sehat, dan SIM



Contoh SKCK/Dok.Pri


Sampai hari ini, karena beberapa alasan, saya masih belum bisa berdamai dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan Surat Keterangan Sehat Dari Dokter. Sehingga saya belum juga membuat kedua surat tersebut walau dalam beberapa kesempatan saya sangat membutuhkannya. Dan saya tahu, ini akan mendatangkan kendala bagi saya--untuk tidak dikatakan sebagai sebuah persoalan. Ya tentu saja salah satunya adalah saya tidak bisa melamar pekerjaan di instansi yang mensyaratkan agar saya menyertakan kedua dokumen tersebut.

Baca : Contoh Surat Lamaran Kerja yang Akan Membuat Manajer HRD.....

Tapi mau gimana lagi, di mata saya, kedua surat tersebut masih terlihat sangat aneh, formalis, dan ambigu. 

Mengapa? 

Mari kita bicara soal SKCK terlebih dahulu.

Bagaimana mungkin polisi mencatat kelakuan saya, sedangkan mereka sama sekali tidak mengetahui bagaimana kelakuan saya sehari-hari? Okelah jika misalnya, batasan catatan kelakuan tersebut berkaitan dengan tindak pidana yang pernah saya lakukan. Tapi dengan demikian, bukankah kemudian fungsi SKCK tak lebih dari sekadar dokumen sampah? Bagaimana tidak, kelakuan baik kan tidak sebatas yang dicatatkan/tidak dicatatkan, dan dipidanakan/tidak dipidanakan. Lebih dari itu, kelakuan dan perbuatan pidana seseorang adalah yang pernah dilakukan, baik yang sudah tercatat maupun yang tidak, yang sampai ke meja hijau maupun tidak. 

Bagaimana jika misalnya, saya pernah melakukan tindak pidana (mencuri, merampok, dll) namun tidak tercatat dan atau tidak sampai ke meja hijau? Bukankah saya akan tetap bisa memperoleh SKCK, jika kemudian saya mengajukannya? Bagaimana jika misalnya, ada seorang koruptor yang ingin membuat SKCK --plus dibantu salah seorang kenalannya di kepolisian? Bukankah ia akan tetap memperoleh surat tersebut? Kita semua paham soal ini.


Selanjutnya, mari kita bicara soal surat keterangan sehat dari dokter. 

Ini masih sama aneh dan ambigunya dengan SKCK, cuma ya nggak parah-parah banget. Bagi saya, sepaham-pahamnya dokter terhadap kesehatan seseorang, tetap jauh lebih paham orang itu sendiri sebagai empunya tubuh. 

Dengan demikian, sebetulnya surat keterangan sehat dari dokter tak lebih dari sekadar surat formalitas. Selain itu, tak ada fungsi lain yang lebih berarti. Jadi lebih baik dimaafkan saja--walaupun belum tergerak untuk membuatnya.

Ah... saya jadi ingat kalau saya ini juga belum berdamai dengan SIM. Ya, saya belum punya SIM. Karena bagi saya, SIM juga tak kalah ambigunya dengan kedua dokumen yang saya sebutkan di muka. 

SIM, sebagaimana kita tahu adalah bukti bahwa orang tersebut telah diizinkan untuk mengendarai kendaraan. Untuk mendapatkan (surat) izin tersebut, seseorang harus menjalani tes tertulis dan praktik mengendarai. Dengan kata lain, seseorang harus paham betul peraturan lalu lintas dan bagaimana cara mengendarai kendaraan dengan baik dan benar.  

Namun dalam praktiknya, banyak sekali orang yang dapat dengan mudah memperoleh SIM walaupun belum begitu paham peraturan lalu lintas dan suka ugal-ugalan ketika mengendarai kendaraan. Juga masih banyak sekali polisi-polisi yang merangkap jadi biro jasa pembuatan SIM. Serta tak jarang, pembuatan SIM begitu dipersulit sampai banyak orang yang memilih 'nembak' saja.
Selain itu, saya juga masih terganggu dengan dua pertanyaan tentang SIM berikut ini :

1. Jika fungsi SIM berlaku di seluruh wilayah Indonesia, mengapa proses pembuatannya tidak dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia juga?

2. Jika ada pengemudi yang terbukti melanggar peraturan lalu lintas (dengan kategori pelanggaran berat dan membahayakan keselamatan pengendara lain), mengapa tidak ada sanksi pencabutan SIM jarang sekali dilakukan walau telah jelas-jelas diatur dalam undang-undang? 


Sidang pembaca yang berbahagia walau banyak utangnya

Demikianlah kondisi di negara kita. Seseorang baru terlihat baik ketika ia sudah mendapatkan SKCK. Tak peduli di rumah ia suka membentak orangtuanya. Tak peduli di lingkungan tempat tinggalnya, ia tak mendatangkan ketenteraman bagi tetangganya dan malah sebaliknya. Tak peduli ia sering korupsi, maling, atau menyuap dan menerima suap dan tidak tersentuh hukum;

Di negara kita, seseorang baru bisa dikatakan sehat ketika ia telah mengantongi surat keterangan sehat dari dokter;

Dan di negara kita ini, seseorang bisa punya SIM walaupun sejam sebelumnya ia dinyatakan tidak lulus oleh pak petugas kita yang tercinta--tentu setelah melobi dengan selembar amplop berisi uang yang biasanya tidak langsung diterima tangan melainkan disuruh ditaruh di meja itu.


Demikianlah teman...tolong hal ini dipahami dan dicukuptahui saja. Untuk urusan perbaikan, biarlah itu urusan Pak Tito Karnavian.

Dan harap dimaklumi jika curhatan saya kali ini banyak dipenuhi dengan pertanyaan dan argumen bodoh. Tolong doakan saya agar jadi lebih cerdas lagi. Curhatan ini sebenarnya hanya untuk konsumsi pribadi, dan sangat tak baik jika dikonsumsi khalayak. Namun karena saya punya blog pribadi, ya saya posting di sini. Maka dari itu, jangan ditelan mentah-mentah curhatan saya ini. Baiknya diperam dulu sampai matang.

Dan doakan pula agar curhatan ini sampai kepada bapak-bapak polisi yang terhormat itu. Agar kalau ada yang salah dengan pandangan saya, bisa segera diluruskan. 

Terimakasih.





Please write your comments