Yang Fana Adalah Jogja, Kenangannya Abadi - Jurnal Darul Azis

Yang Fana Adalah Jogja, Kenangannya Abadi

Yang Fana Adalah Jogja, Kenangannya Abadi

Jogja

Sampai hari ini, saya masih belum menemukan alasan untuk tidak kembali lagi ke Jogja, setelah beberapa minggu lamanya berada di kampung halaman. 

Di samping memang masih begitu banyak alasan yang saya punya untuk kembali lagi ke Jogja, seperti tiket bus yang sudah telanjur dibeli, tugas, studi, dan urusan kisah asmara yang belum selesai, diri yang masih selo, utang di angkringan yang belum terbayar, tagihan kos yang masih nunggak, kenangan yang semakin lekat dalam ingatan dan berbagai alasan klasik lain, yang saya yakin juga menjadi alasan bagi kebanyakan orang.

Ya, ada begitu banyak alasan bagi seseorang yang dulu pernah merantau di kota pelajar ini  untuk suatu saat kembali ke Jogja lagi. 

Dan di antara sekian banyak alasan-alasan itu, jika boleh saya tarik dalam satu simpul kata yang jujur, ia bernama kenangan. 

Orang lain boleh mengatakan bahwa Jogja sekarang tak lagi nyaman, namun kenangan-kenangan di masa silam yang pernah dilewati dan dirasakan oleh orang yang lainnya, akan membuat mereka terus-menerus berekspektasi bahwa Jogja akan tetap baik-baik saja. 

Atau kalaupun seseorang telah mengakui ketidaknyamanan Jogja yang sekarang, ia tak akan pernah peduli. 

Sebab kembalinya ia ke Jogja adalah untuk mengenang masa-masa silamnya dulu. Sebab baginya, ia boleh saja telah meninggalkan Jogja, namun tak akan pernah bisa melupakan kenangan yang ia rasakan selama berada di dalamnya. Sepahit, sebodoh, segetir, dan setakmenyenangkan apa pun kenangan itu. 

Karena itu merupakan saksi perjuangannya hingga sampai pada kondisi yang sekarang. Kenangan tetaplah kenangan, yang layak untuk terus dirayakan. 

Dan satu-satunya upacara yang harus dilakukan untuk merayakannya adalah dengan kembali ke Jogja. Lagi.

Karena dengan kembali ke Jogja, kenangan tentang Anda -yang dulu- akan sertamerta hadir dalam ingatan.

Bahwa Anda dulu pernah beberapa kali gagal tes masuk kampus negeri idaman hingga kemudian kuliah di kampus swasta saja;

Bahwa dulu Anda pernah merasa sangat terbantu dengan tukang becak dan teman kos yang punya motor yang mau mengantarkan Anda ke mana-mana tersebab Anda yang masih buta dengan jalan di Jogja;

Bahwa Anda dulu pernah dikerjain habis-habisan oleh kakak senior yang sok berwibawa dan sok disiplin ketika Ospek;

Bahwa Anda dulu pernah saling bantu dan kelimpungan mencari barang-barang bawaan Ospek hingga kemudian jadian sama teman seangkatan;

Bahwa Anda dulu pernah begitu bersemangat kuliah dan mencari IP tinggi saat-saat semester pertama, hingga kemudian berkenalan dengan organisasi kemahasiswaan dan organisasi pecinta alam yang ternyata jauh lebih asyik daripada ruang perkuliahan yang membosankan itu;

Bahwa Anda dulu pernah dikejar-kejar aparat saat Indonesia bergejolak tahun 98 gegara ikut-ikutan berdemo dan teriak "Soeharto Harus Turun!!";

Bahwa Anda dulu pernah ingin mengajak kenalan cewek di bus kota tapi tidak punya cukup nyali untuk melakukannya;

Bahwa Anda dulu pernah dibaikin oleh ibu kos sampai kemudian digadang-gadang jadi menantunya;

Bahwa Anda dulu sering main ke rumah teman kuliah yang asli Jogja agar dapat bonus gizi;

Bahwa Anda dulu pernah punya langganan angkringan dan langganan ngutang tempat makan ketika uang bulanan telat dikirimkan orangtua di kampung kampung halaman karena berbagai alasan;

Bahwa Anda dulu pernah merasa sangat sebal dengan teman kos yang tak kunjung bayar utang, sementara Anda sudah dua hari tidak makan nasi;

Bahwa Anda dulu pernah kesal dengan teman kos yang jemur celana dalam sampai berhari-hari di penjemuran sementara Anda juga kehabisan celana dalam; 

Bahwa Anda dulu pernah marah-marah dengan teman yang menghabiskan sampo Anda tanpa minta izin padahal hari itu Anda harus mandi junub;

Bahwa Anda dulu pernah bergotong royong membersihkan kos-kosan setiap hari minggu—sementara mata masih sangat mengantuk karena semalaman habis begadang;

Bahwa Anda dulu pernah enggan pulang ke kos karena malu dengan ibu kos tersebab telat bayar uang kos;

Bahwa Anda dulu pernah sama-sama ngantri di fotokopian menjelang hari ujian tiba karena saking fanatiknya Anda dengan faham "The power of kepepet" dan "Sistem Kebut Semalam (SKS)";

Bahwa Anda dulu pernah disuruh menutup pintu dari luar oleh dosen killer kesayangan semua mahasiswa;

Bahwa Anda dulu pernah merengek kepada petugas keuangan kampus untuk meminta dispensasi pembayaran;

Bahwa Anda dulu pernah pagi-pagi ke kampus demi menemui dosen pembimbing yang tidak punya banyak waktu itu;

Bahwa Anda dulu pernah putus cinta justru di saat mau diwisuda dan itu sungguh menyakitkan lagi memalukan;

Bahwa dulu Anda pernah pontang-panting mencari kerja ke sana-kemari setelah sekian lama mendapatkan ijazah; 

Dan sederet kenangan lain yang saya yakin tak akan pernah selesai untuk diceritakan.

Wahai Tuan dan Puan sekalian, mengapa kenangan itu teramat indah untuk dikenang?

Kalau boleh saya mencoba menjawabnya, barangkali kesederhanaanlah jawabannya Tuan Puan sekalian. Dalam setiap kenangan-kenangan yang tak terlupakan itu, tersirat betapa kesederhanaan telah merajai dan mewarnai tempat kita dulu pernah tinggal; Jogja. 

Sebab memang, Jogja menjadi sangat istimewa karena kesederhanaannya. Baik kesederhanaan rajanya, pejabatnya, kaum intelektualnya, juga masyarakatnya. 

Jogja adalah kesederhanaan, maka jika kesederhanaan itu kian hilang, maka Jogja adalah fana. Yang abadi tinggallah kenangan kita tentang kesederhanaan itu.

Maka jika sekarang Jogja tampil dengan segenap kemewahan dan keeksklusifannya, tanda-tanda kefanaan itu sepertinya memang telah datang;

Di saat anak-anak kos semakin masyuk dengan individualitas dan kediriannya. 

Di saat  bangunan gedung kampus terkalahkan oleh bangunan gedung apartemen, hotel, dan pusat perbelanjaan. 

Di saat perpustakaan tak lagi menjadi tempat yang asyik untuk belajar dan kalah pamor dengan kafe-kafe. 

Di saat ruang diskusi kian sepi karena kalah asyik dengan ruang ngrumpi. 

Di saat naik sepeda berkeliling Jogja menjadi sedemikian mengerikannya karena semakin buasnya para pengendara di jalanan Jogja. 

Di saat budaya dan kearifan lokal masyarakat hanya dijadikan sebagai objek foto dan unggahan di media sosial.

Di saat masyarakat dan pelajar tak lagi berbaur satu sama lain.

Maka yang tinggal dalam ingatan kita hanyalah kenangan-kenangan tentang kesederhanaan itu. 

Tentang kekonyolan semasa menjadi anak kos, romantisme dan kebersahajaan bersama sang pacar yang kini telah menjadi milik orang, tentang kesederhanaan ketika menjadi pelanggan angkringan dan keasyikan nongkrong di pinggir jalan sembari menyeruput kopi jos atau teh aroma melati sampai tiba waktu pagi. 

Sekali lagi, yang fana adalah Jogja, kenangan-kenangan itu abadi.

[Judul tulisan ini disadur dari spuisu Sapardi Djoko Damono, "Yang Fana Adalah Waktu"]

Simpang Way Tuba-Jogja, 21-22 Juli 2016
Please write your comments