Pertemuan Imajiner dengan Ahok dan Habib Rizieq : Ketika Mereka Berdamai dan Ngopi Santai - Jurnal Darul Azis

Pertemuan Imajiner dengan Ahok dan Habib Rizieq : Ketika Mereka Berdamai dan Ngopi Santai

Pertemuan Imajiner dengan Ahok dan Habib Rizieq : Ketika Mereka Berdamai dan Ngopi Santai

Ahok dan Habib Rizieq Akhirnya 'Berdamai'/ Kredit foto Agan Harahap

Setelah foto editan jabat tangan Ahok dan Habib Rizieq tersebar viral di media sosial, saya akhirnya berinisiatif untuk menghubungi kedua tokoh tersebut untuk mengklarifikasi. Meski awalnya saya sempat ragu, karena inisiatif itu baru muncul pada pukul 10 malam lewat 13 menit, namun ternyata keinginan saya untuk segera tahu kebenaran foto tersebut jauh lebih besar ketimbang keraguan saya. Hingga akhirnya tangan saya bergerilya di kontak telepon dan menemukan nomor kedua orang tersebut. 

Panggilan kepada Habib Rizieq tidak diangkat. Saya mengulangnya sampai dua kali, namun tak juga mendapatkan jawaban. Mungkin sudah tidur, pikir saya kemudian. Lalu panggilan telepon saya arahkan kepada Ahok. Tak menunggu terlalu lama, panggilan telepon saya akhirnya diiangkat. Saya ingat, terakhir bertemu dengan Ahok saat kami berada di Kepulauan Seribu. Saat itu saya sedang ada panggilan pekerjaan untuk mengeksplorasi keindahan wisata Kepulauan Seribu untuk ditulis di blog. 

"Iya Zis. Ada apa?" Tanya Ahok di seberang sana menjawab sapaan saya.
"Bapak ada waktu? Saya mau mengklarifikasi foto Anda dengan Habib Rizieq. Apakah itu be..?"
Pertanyaan saya terpotong oleh suara kekehan Ahok. Tak cuma suara Ahok, terdengar pula suara tawa lain di sana. Cukup riuh. Saya menduga suara panggilan telepon saya di-loudspeaker oleh Ahok.
"Kamu lagi di mana sekarang?"
"Di Jakarta Pak."
"Lagi selo?"
"Iya Pak. Kebetulan kerjaan sudah selesai."
"Ya sudah, kalau gitu ke rumah saya saja. Kita obrolkan semuanya di sini. Sampai pagi." Tantangnya, seperti biasa, dengan gaya bicaranya yang sumbang.
"Baik Pak. Segera meluncur." Kata saya kemudian.

Panggilan saya akhiri dan saya segera berkemas untuk segera menuju ke rumah pribadi Ahok. Alat perekam, kamera, buku catatan, pensil, dan sebungkus rokok Samsu tak lupa saya bawa. Saya membayangkan, saya akan mendapatkan banyak bahan postingan blog setelah pertemuan malam ini.

Setengah jam perjalanan, akhirnya saya sampai juga di kediaman Ahok. Rumah yang bisa dibilang cukup sederhana untuk ukuran seorang pejabat negara. Di beberapa titik, tampak petugas keamanan sedang berjaga-jaga.
"Mas Azis ya?" Tanya salah seorang Satpam
Saya mengangguk dan tersenyum.
"Mari masuk. Bapak sudah menunggu di taman belakang rumah. Perlu saya antar?"
"Oh tidak. Terimakasih." Jawab saya karena memang sudah cukup hapal dengan rumah itu. Ini bukan kunjungan saya yang pertama kali. Sebelumnya saya pernah diundang untuk acara yang sama; nongki-nongki di rumah Ahok sampai pagi. 
Saya berjalan santai menyusuri ruang tengah rumah berarsitektur Belanda tersebut. Tampak di setiap sisi dinding terpampang foto-foto para tokoh bangsa : Soekarno, Hatta, DN Aidit, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy'ari, Sjahrir, Tan Malaka, Bung Tomo, Sultan Mahmud Badarudin, Pangeran Antasari, Cut Nyak Dien, Natsir, M Yamin, dan lain sebagainya. 

Sebelum sampai di taman, saya melihat ada aquarium raksasa berukuran sekira 3 x 3 meter. Pada salah satu sisinya, terdapat lukisan aktivitas penambangan timah di Belitung. Saya mengamatinya sejenak, lalu meninggalkan senyum di sana dan melanjutkan langkah ke taman.
"Nah, ini dia orangnya," sambut Ahok seraya berdiri dan menyalami saya.
"Apa kabar Pak?"
"Seperti yang kamu lihat. Dan aku tahu kabarmu baik. Jadi aku nggak perlu tanya balik 'kan?"
Saya hanya menjawab dengan tawa lepas. Lalu kami sama-sama duduk di sebuah kursi kayu mengeliling meja yang di atasnya sudah terhidang 2 gelas kopi, keduanya sudah tinggal separuh.
"Mau kopi apa?"
"Toraja ada, Pak?"
"Ada. Seminggu yang lalu saya kedatangan Gubernur Sulsel. Dibawain kopi sedus," jawabnya panjang.
Lalu Ahok memanggil salah seorang pelayan dan memintanya untuk membuatkan kopi untuk saya.
"Malam ini Bapak sedang ada tamu lain?"
"Maksudmu gelas kopi itu?"
Saya mengangguk.
"Oh, nanti kamu juga tahu."
Tak lama kemudian, dari samping taman muncul seorang laki-laki berbadan tegap tinggi dengan mengenakan kaos polo dan celana jeans.
Saya melongo. Memandanginya dengan saksama dan memastikan bahwa yang saya lihat adalah benar adanya.
"Habib?" Kata saya terkejut.
Saya lihat Ahok hanya tersenyum. Begitu juga dengan laki-laki itu yang kemudian menyalami saya.
"Assalamu'alaikum Zis."
"Wa..wa'alaikumussalam warahmatullah." jawab saya
"Nggak usah kaget gitu. Kamu ini polos bener jadi orang." Timpal Ahok
"Iya. Kamu itu, gitu aja kaget." Susul laki-laki yang kini saya yakini adalah Habib Rizieq.
"Saya malam ini sengaja ke sini, untuk membalas kunjungan Ahok tiga hari yang lalu."
"Jadi Anda berdua sudah berdamai?"


"Damai atas apa? Kami tak pernah bertikai." Sergah Habib Rizieq disusul anggukan Ahok.
"Loh, yang di berita-berita koran, website, dan tivi-tivi itu?"
Dahi Habib Rizieq mengernyit, Lau sambil menepuk pundak ia berujar, "Yaelah Zis, kamu ini laki-laki kok baper dan nggak punya akal sehat." 
"Maksud Bapak?"
"Lu ini katanya pernah belajar politik. Masa' kayak ginian aja kagak tahu." Cecar Ahok. Waduh, keluar nih garangnya, kata saya dalam hati.
Saya tertawa kecil sambil menggaruk-garuk kepala. Saya tidak ingat apakah saya juga meringis atau tidak. 
"Itu semua pendidikan politik." Kata Habib kemudian, seolah ingin mengakhiri kebingungan saya.
"Iya, kamu ingat kata Pak Anies Baswedan 'kan? Tanya Ahok
"Yang mana dulu Pak? Pak Anies banyak mengeluarkan kata-kata dan semuanya bagus-bagus. Mana mungkin saya bisa ingat semua." Kali ini saya menjawab agak cerdas--dan membantah.
"Yang soal musuh dan lawan." Jawab Ahok
"Oh, ya saya ingat."
"Nah..begitulah kami sebenarnya." Habib Rizieq menjelaskan. "Saya dan Pak Ahok tidak sedang bermusuhan. Melainkan sedang berlawanan secara politik dan berteman dalam demokrasi. Semua yang kamu lihat itu sebenarnya adalah cara kami mendidik masyarakat dalam berdemokrasi." Tandasnya kemudian.
"Lalu, soal Gubernur DKI harus Muslim?" tanya saya pada Habib Rizieq. Saya belum ingin pembicaraan selesai sampai di situ.
"Itu persoalan gampang. Sebagai da'i, saya hanya menyampaikan apa yang tertera dalam Al-Qur'an, walaupun kalangan ulama masih berbeda pendapat soal ayat itu. Namun saya orangnya lebih memilih untuk berhati-hati, makanya saya menyampaikan yang 'itu'. Selanjutnya terserah masyarakat Muslim Jakarta akan masih memilih Ahok atau tidak. Setiap orang, bebas untuk memilih sesuai dengan tingkat keyakinan, kecerdasan, dan penalaran politiknya. Dan Ahok sudah mengerti soal ini. Beliau sudah paham. Bukan begitu kan, Koh?"
Ahok tersenyum seraya mengacungkan jempol. 
"Itulah mengapa saya kemarin langsung meminta maaf kepada masyarakat Muslim jika perkataan saya telah menyinggung perasaan mereka. Dan kalau mau diproses hukum saya siap. Biarkan aparat hukum yang bekerja. Saya menghormati isi kitab suci berikut penafsirannya."
"Lalu bagaimana jika kelak Ahok tetap jadi Gubernur?"
"Kalau memang itu yang terjadi, ya tidak masalah. Di hadapan jabatan, semua agama sama. Yang membedakan adalah kualitas keimanan, kejujuran, dan kebersihan hati nuraninya."
"Jika memang demikian, selain karena amanah ayat suci, hal mendasar apa yang melatarbelakangi upaya keras Anda untuk memunculkan Gubernur Muslim bagi DKI Jakarta?"
"Mengapa kami berupaya keras agar Gubernur DKI itu Muslim?  Ini menyangkut soal tanggungjawab sebagaimana yang dikatakan Gus Mus pada beberapa waktu lalu saat diundang dalam acara Mata Najwa. Sebagai umat mayoritas mengapa kita tidak bisa memunculkan sosok pemimpin yang adil, bersih, dan amanah? Padahal dalam Islam 'kan sudah ada contoh yang begitu mulia, yakni Nabi Muhammad. Mengapa pemimpin di Indonesia yang kebanyakan beragama Islam justru tidak mampu menjadi pemimpin yang adil? Itu seharusnya membuat kita malu. Benar-benar malu."
"Baik. Dimengerti. Sekarang Anda pak Ahok, bagaimana seandainya Anda tidak terpilih lagi sebagai Gubernur DKI Jakarta?"
"Tidak masalah. Asal pengganti saya, yang notabene Muslim itu benar-benar bisa memimpin Jakarta dengan adil. Jakarta bukan butuh pemimpin Muslim atau non Muslim, tapi butuh pemimpin yang adil."
"Apakah pernyataan Anda berdua bisa saya pegang?"
Mereka berdua mengangguk mantap.

"Jawaban kami di sini, lebih bisa dipercaya daripada yang terucap di media massa arus utama. Bukan begitu Bib?"


Habib mengangguk lalu menyodorkan tangannya di depan Ahok. Mereka berjabat tangan dan meminta saya untuk memfotonya.


Oke. Sampai di situ saya mulai mengerti. Bersamaan dengan datangnya secangkir kopi dari salah seorang pelayan. Uhhhh...aromanya, seketika membuat saya teringat mantan pacar yang dari Toraja. Meski masih panas, saya langsung menyeruputnya. Nikmat sekali. 

Malam itu, kami membicarakan banyak hal, tapi tidak menyinggung soal politik lagi. Karena setelah itu, mereka lebih banyak membicarakan saya (baca : mem-bully) tersebab saya belum berani menikah di usia yang sudah hampir seperempat abad. Mereka membanding-bandingkan dengan keberanian mereka yang dulu nikah muda. Mereka membanding-bandingkan saya dengan putra Ustadz Arifin Ilham. Lalu sayup-sayup saya mendengar suara Mario Teguh dari mulut mereka berdua.  

Menjelang subuh kami membubarkan diri karena Habib Rizieq harus mengimami salat subuh di markas. Sementara saya harus bersiap-siap pulang ke Jogja pagi-pagi karena besok saya harus membayar kos, sebelum semua barang-barang di kamar saya dikeluarkan oleh ibu kos. 

Sayang, saya lupa bilang kepada mereka berdua untuk segera bertemu dengan Agan Harahap dan Anies Baswedan. Mungkin nanti, setelah selesai memposting tulisan ini pesan tersebut akan saya sampaikan via WA.

11 comments

  1. dasar wartawan murahan..... media sampah... fitnah... tukang pecah belah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lucu. Kualitas pemikiran dangkal semacam mas Rio anando ini yang justru banyak menimbulkan fitnah dan memecah belah masyarakat.

      Delete
  2. Hmm... maaf ini benar beritanya?

    ReplyDelete
  3. Oh iya, dari awal Anda sudah membuat judul "pertemuan imajiner". Hahaha saya paham.

    ReplyDelete
  4. apakah wartawan dalam menyajikan berita berdasarkan imajinya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya bukan wartawan. Dan itu bukan berita, melainkan cuma karangan.

      Delete
  5. Beberapa komentarnya bikin sedih, tapi tak apa. Beragam memang manusia itu..

    ReplyDelete