Merangkai Titik-titik Hidup, Sebuah Cara Untuk Bersyukur - Jurnal Darul Azis

Merangkai Titik-titik Hidup, Sebuah Cara Untuk Bersyukur

Merangkai Titik-titik Hidup, Sebuah Cara Untuk Bersyukur

Lulus SMP pada tahun 2007, sebenarnya aku tidak ingin melanjutkan sekolah, walaupun saat itu aku lulus dengan predikat terbaik. Waktu itu aku hanya ingin membantu orangtua saja. Itu merupakan pilihan dan pemikiran lazim dan logis bagi remaja kampung yang kehidupan keluarganya sangat pas-pasan dan kurang mendapatkan motivasi dan informasi pendidikan. 

Menyambung Titik-titik Hidup

Namun akhirnya, berkat bujukan kepala sekolahku semasa SMP, akhirnya aku bersedia melanjutkan ke SMK yang baru dirintisnya. Gedungnya masih numpang di SMP-ku dulu. Sehingga walau naik jenjang, aku tidak pindah  gedung sekolah. Maka jadilah aku bersekolah di sana dan menjadi murid pertama bersama 26 murid lainnya.

Menjadi murid pertama ternyata berat sekali. Ada semacam tanggungjawab yang harus kami pikul. Kami harus bisa menjadi contoh yang baik. Pakaian rapi, kelakuan terjaga, dan setiap diri adalah duta sekaligus pewarta sekolah dengan harapan akan semakin banyak murid yang tertarik untuk bersekolah di sana. Dan aku, dengan begitu naifnya, menerapkan itu dengan patuh. Kini sekolahku sudah kebanjiran pendaftar. Bahkan ruang kelas yang tersedia tidak menampung banyaknya siswa.

Tahun 2010, aku lulus dari SMK dengan predikat terbaik lagi. Tapi ternyata itu tak membuatku terlihat istimewa ketika mengajukan lamaran kerja. Terlebih lagi jurusan yang dulu dulu kuambil (dan memang tersedianya cuma itu!) adalah administrasi perkantoran. 

Di ambang keputusasaan, aku melamar kerja sebagai staf Tata Usaha di SMP-ku dulu dan diterima saat itu juga.

Di situlah kemudian pikiran aku jadi sedikit lebih terbuka. Tepatnya setelah akrab dengan salah seorang guru yang dulu pernah kuliah di Jogja, pak Kristiyanto. Oleh beliau, aku dianjurkan untuk berkuliah. Mumpung masih muda, katanya. Dan benar, di usia kerjaku yang baru 8 bulan, aku mengajukan resign dengan alasan hendak kuliah di Jogja. 

Tanggal 17 Juli 2011 aku berangkat ke Jogja, bareng guru SMK-ku yang kebetulan sedang pulang ke Purworejo. Namun bodohnya, saat itu aku belum mantap dalam memilih kampus. Sementara kampus negeri sudah tutup pendaftaran dan kalaupun masih buka aku sungguh tidak tahu bagaimana caranya mendaftar via online.

Sebenarnya sebelum berangkat aku sudah direkomendasikan oleh Pak Kris untuk kuliah di sebuah kampus kesekretariatan di Jogja dan awalnya tujuanku memang kampus itu. Namun kemudian karena alasan yang sangat prinsipil, aku urung mendaftar di kampus tersebut. 

Di tengah kebuntuan itu, aku direkomendasikan untuk kuliah di kampus saudaranya guruku itu dan jadilah aku mendaftar di sana karena kebetulan masih satu jurusan : Administrasi, dengan embel-embel ‘Negara’ di belakangnya. Dan aku merasa keren karenanya. Haha

Kuliah di kampus yang ternyata sumpah demi apa sama sekali tidak populer bahkan untuk ukuran di Jogja sekalipun, akhirnya membuatku tampak sedikit lebih heroik. Bermula dari ketertarikanku pada dunia jurnalistik, aku mengikuti sebuah workshop jurnalistik yang diadakan oleh Swara Kampus-KR. Setelahnya, aku diberi tugas mewawancarai pimpinan tertinggi kampusku, menanggapi isu diskriminasi lulusan perguruan tinggi dan swasta di dunia kerja. Wawancara itu pun kemudian membuat wajah pimpinan kampus nongol di koran dan aku melihat kebahagiaan yang teramat mengharukan di wajahnya. 

Usut punya usut ternyata beliau memang tidak pernah masuk koran, begitu juga kampus kami, kecuali kalau sedang wisuda atau ngiklan. Sejak itulah LPM di kampus yang mati suri selama bertahun-tahun pun hidup kembali, walau aku tidak menjadi bagian di dalamnya. Karena aku kemudian lebih fokus menulis di kolom opini mahasiswa pada koran tersebut sehingga kampusku pun menjadi sedikit lebih dikenal karenanya.

Berkisah tentang ini membuatku teringat dengan masa kecilku yang hobi menyuntuki koran-koran bekas yang hendak digunakan untuk alas jualan kue oleh ibu. Karena koran-koran kiloan itulahaku jadi jatuh cinta dengan dunia jurnalistik dan tulis-menulis. Dunia yang kutekuni hingga sekarang.

***
Kawan, kisah semacam ini aku yakin bukanlah milikku seorang. Kisah-ksiah serupa pasti juga dimiliki oleh banyak orang di luar sana (yang mungkin salah satunya adalah kamu!). Kisah di mana sebuah titik-titik hidup di masa lalu yang sebenarnya, jika dipikirkan ulang, tersambung satu sama lain. 

Aku percaya, di dunia ini tak ada yang kebetulan. Sebuah keputusan yang dulu kauambil, seheroik atau sepecundang apa pun itu, pasti itu berguna bagimu. Atau barangkali justru menjadi titik tolok yang mengantarkanmu sampai pada posisi sekarang.

Coba renungkanlah dan temukan titik-titik hidupmu itu! Dan kamu akan bersyukur karenanya.
   


Please write your comments