Begini Cara Kerja Buzzer Politik di Indonesia - Jurnal Darul Azis

Begini Cara Kerja Buzzer Politik di Indonesia

Begini Cara Kerja Buzzer Politik di Indonesia

Pernahkah Anda melihat sebuah akun media sosial yang hanya memiliki beberapa teman atau pengikut namun sering memancing perdebatan?

Ilustrasi via Harian Nasional

Pernahkah Anda melihat sebuah perdebatan di media sosial pada status-status SARA? 

Pernahkah Anda melihat kiriman-kiriman pada sebuah grup media sosial yang isinya hanya puja dan puji kepada seorang tokoh?

Pernahkah Anda melihat kiriman pada sebuah grup yang isinya hanya berupa kejelekan tentang seorang tokoh tertentu?

Terlebih menjelang perhelatan pesta demokrasi seperti sekarang ini, tak dapat dimungkiri  linimasa media sosial kita akan semakin riuh dengan berbagai perdebatan dan sebaran isu-isu yang tak jelas sumbernya. Tak hanya itu, sering kali isinya pun sangat provokatif dan beringas atau kalau dalam istilah Jawa biasa disebut 'kaya arep mangan-mangana'.


Tahukah Anda siapa sebenarnya mereka dan mengapa isi pembicaraannya hanya soal sosok tertentu? 

Ya. Mereka adalah tim buzzer politik yang bertugas menggiring memengaruhi persepsi dan opini publik.


Acara 'Benang Merah' yang tayangkan TVOne pada 03 November 2016 lalu cukup memberikan gambaran tentang bagaimana sebenarnya cara kerja buzzer politik di Indonesia. Secara sederhana bisa dijelaskan sebagai berikut:  


Kandidat A membayar buzzer untuk menyebarkan isu, berkampanye, menggiring opini publik, dan membikin keributan di media sosial.

Kandidat B membayar buzzer yang sama untuk melakukan hal serupa atau sebaliknya. Tarif jasa mereka sangatlah tinggi, bisa miliaran. Bahkan untuk sekelas Pilkada bisa mencapai 8-15 miliar.

Sebagai informasi, para buzzer itu kini telah serupa perusahaan. Mereka punya tempat, tim, tarif (harga) layanan,  pimpinan, dan karyawan.


Harga sudah disepakati, isu sudah disiapkan.


Lalu buzzer bekerja bersama timnya, menggerakkan akun-akun kloningan (palsu/anonim) peliharaannya. Selain itu mereka juga menghubungi para seleb medsos untuk ikut menjadi bagian dari proyek tersebut.

Isu diangkat ke internet. Bentuknya bisa foto-foto editan, potongan video, atau tulisan singkat.

Sebagai medianya, mereka menggunakan blog-blog gratisan atau berbayar, akun media sosial palsu, Fanpage, Grup Facebook, grup WA, dan akun seleb medsos.


Isu dilemparkan ke internet pada jam-jam di mana banyak orang mengakses internet dan media sosial (pukul 7-8 pagi, 12-1 siang, dan 6-10 malam).


Jika isunya cukup menarik dan lumayan kontroversial (menyinggung SARA), dapat dipastikan akan segera memancing reaksi netizen dan tanpa perlu menunggu waktu lama ia akan langsung menjadi viral.


Lalu bagaimana jika netizen tidak terpancing?

Secara ramai2 mereka bergerak. Sebagian berperan sebagai pihak pro, sebagian lagi berperan sebagai pihak kontra. Lalu pancingan pun dimulai, biasanya dengan debat atau komentar-komentar kasar, provokatif, SARA, dan lain sebagainya.

Kalau sudah begitu, pasti bakalan tambah ramai. Like, komentar, share/retweet/repost terus bertambah, itulah yang biasa kita kenal dengan sebutan viral.

Setelah isu menjadi viral, media-media online baik arus utama maupun alternatif mau tak mau (atau sebenarnya juga seneng?) turut ambil bagian. Memberitakan hal-hal yang tengah ramai (aktual) dan menjadi perdebatan (kontroversial) di media sosial. Produk berita pun kemudian variatif, sesuai dengan ideologi yang diusung atau kepentingan pemilik media.


Isu pun kemudian menjadi berita nasional, menutupi isu-isu lain. Pemerintah mau tak mau harus menanggapi. Jika tanggapan saja dirasa tak cukup, maka kemudian harus naik tingkat, yakni mengambil tindakan.


Tanggapan disampaikan, tindakan sudah diambil. Buzzer bekerja lagi, memprotes tanggapan dan mengkritik tindakan. Isu menjadi lebih kompleks dan kabur. Wacana-wacana baru mulai bermunculan, lengkap dengan segala kepentingannya. (Pada kondisi seperti inilah kita butuh sosok jurnalis, seleb medsos, tokoh, dan kaum intelektual berpikiran jernih, independen, dan progresif, untuk mencerahkan publik tentang keadaan yang sebenarnya.


Begitulah cara kerja mereka. Membikin kegaduhan, fitnah, dan prasangka setiap hari. Para pengguna internet pun banyak yang kemudian menjadi korban. Mencaci dan memaki karena sudah terprovokasi. Padahal mereka bukan merupakan bagian dari tim buzzer. Artinya, mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali dosa, prasangka, dan energi negatif. Eh, ada dampak lain yang juga tak kalah merugikannya. Secara perlahan merema akan dijauhi teman, dikeluarkan dari grup WA, dan dikucilkan dari pergaulan sosial.


Dan di antara yang kita sebut 'mereka' itu bisa jadi adalah Anda.

Ya, Anda dan para pengguna internet lainnya, hanya menjadi mainan dan pasar bagi mereka : pihak pengguna jasa dan buzzer. Para pengguna jasanya adalah para politisi dan para pemodal.

Isu SARA akan terus dijadikan alat, karena itu menyangkut prinsip hidup manusia secara umum sehingga menjadi sangat sensitif. Orang akan mudah bereaksi jika itu sudah menyangkut sukunya, agamanya, rasnya, dan golongannya.


Demikian seterusnya. Entah sampai kapan.

Please write your comments