Mengutuk Kekerasan Atas Nama Pendidikan - Jurnal Darul Azis

Mengutuk Kekerasan Atas Nama Pendidikan

Mengutuk Kekerasan Atas Nama Pendidikan

Satu-satunya penyesalan terbesar saya saat bersinggungan dengan dunia kampus adalah tidak pernah berani melawan kakak-kakak senior di kala ospek. 

Saat itu, mereka dengan wibawa, kedisiplinan, dan ketegasan yang dibuat-buat, seenak hati membentak dan mempermainkan kami para mahasiswa baru. Menyuruh kami melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan tak ada hubungannya dengan pendidikan.


Ilustrasi via uwb2

Belakangan kemudian kami tahu itu semua hanya sandiwara belaka. Kata mereka, itu dilakukan untuk membentuk karakter dan mental kami sebagai mahasiswa. Cuih!

Namun menjijikkannya lagi, tahun berikutnya saya justru mengikuti apa yang dilakukan oleh para senior itu. Berlagak sok berwibawa, sok disiplin, sok tegas, tok intelek, dan lain sebagainya. 

Saya, juga teman-teman panitia lainnya, merancang berbagai sandiwara di depan mahasiswa baru. Sementara di belakang mereka kami penuh aksi tipu-tipu. Ya allah, mengingatnya benar-benar membuat saya merasa terkutuk dan malu.

Saya beruntung, itu tak berlangsung lama. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan ilmu, saya akhirnya tersadar apa yang saya lakukan itu sepenuhnya salah. 

Dan sejak saat itu saya sangat jijik dengan aksi, sikap, ataupun mental senioritas. Karena bagi saya, sikap semacam itulah yang kemudian memunculkan berbagai perilaku hina lainnya; menjilat, asal bapak senang (ABS), kesombongan, dan kemunafikan. 

Menghormati orang yang lebih tua itu memang penting. Dan harus! Namun bukan berarti itu bisa menjadi alat bagi mereka yang tua (merasa senior) untuk bertindak semena-mena kepada yang muda (dianggap junior) 'kan? 

Celakanya, mental-mental semacam itu ternyata masih mewabah di negara kita, bahkan pengidapnya adalah mereka yang berada di lingkungan pendidikan. 

Atas nama 'pendidikan', 'pembentukan karakter', 'latihan mental', mereka melegalkan tindakan kekerasan. Seolah-olah itu merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh.

Mereka tak pernah peduli dan mau tahu, bahwa mental semacam itu adalah mental penjajah. Ketika seseorang mahasiswa menganggap orang lain lebih rendah darinya, maka yang sikap yang akan muncul kemudian adalah pelecehan, penghinaan, dan kekerasan. 

Dan ironisnya lagi, mental seperti itu akan terus menular secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, sampai ada yang berani dan mau memotong rantainya.

Lembaga pendidikan pun sekarang ini banyak yang lepas tangan dan tak mau tahu dengan hal-hal semacam itu. Mereka baru akan bertindak ketika ada insiden yang merenggut nyawa seseorang. 

Terus berulangnya kasus aksi kekerasan dalam pendidikan adalah bukti minimnya tanggungjawab dan kepedulian lembaga pendidikan terhadap jaminan keamanan peserta didik untuk terbebas dari aksi kekerasan selama yang bersangkutan menempuh pendidikan di sana. 


Belum lekang dalam ingatan kita perihal kematian seorang siswa tingkat satu di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, Jakarta Utara, Amirulloh Adityas Putra, pada 10 Januari lalu. 

Ibarat kata, tanah kuburan korban belumlah kering. Namun apa yang terjadi sekarang? Korban kekerasan atas nama pendidikan terus bertambah. Dan mirisnya, kali ini terjadi di Jogja yang dikenal sebagai kota pendidikan. 

Korban meninggal saat mengikuti Pendidikan Dasar Mapala dengan dugaan akibat adanya tindak kekerasan. Tiga korban tersebut adalah Muhammad Fadli, Syaits Asyam dan Ilham Nur Padmi Listiadi, mahasiswa UII Yogyakarta. Kini kasus tersebut tengah dalam penyelidikan kepolisian dan semoga pelaku yang terbukti terlibat bisa mendapatkan hukuman yang setimpal, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Prof. Mahfud MD dalam analisisnya hari ini (26/01) di KR mengatakan, selama ini ia mengenal Mapala Unisi sebagai UKM yang tak pernah bermasalah, santun, dan baik-baik saja. 

Mapala Unisi, dalam pengamatannya bukanlah UKM yang beringas. Ia juga mengaku, sebagai ketua Ikatan Alumni UII (IKA UII) kerap bekerjasama dengan Mapala Unisi. 

Maka dari itu, kasus tersebut membuatnya benar-benar emosional dan menuntut agar dibubarkan saja, atau dikembalikan ke khitahnya sebagaimana selama ini ia kenal.


Gagal Memahami Pendidikan Alam

Karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Pepatah itu agaknya sangat cocok untuk menggambarkan kondisi Mapala Unisi sekarang ini. Mapala Unisi mungkin selama ini dikenal baik dan bermanfaat, namun insiden tersebut tentu saja telah menghancurkan semuanya. Terlebih sampai ada nyawa yang sampai terenggut.

Saya percaya, anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) sebenarnya adalah orang-orang baik. Mereka sering berinteraksi secara intim dengan alam. Alam telah mengajarkan banyak hal pada mereka. 

Mereka juga punya kecakapan lebih dalam hal bertahan di alam bebas. Tak hanya itu, mereka juga sering terlihat aktif terlibat dalam aksi pelestarian alam, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Saya punya cukup banyak teman yang mampu menjadi representasinya.

Mereka yang mampu menjiwai pendididikan yang diberikan oleh alam, biasanya akan lebih berhati mulia, penuh kasih dan sayang, mampu menghargai sesama dan isi semesta. 

Saya percaya dan hormat pada mereka. Sebagaimana saya menghormati para sopir lintas provinsi, orang-orang pegunungan, orang-orang pesisir, orang-orang pedalaman, dan orang-orang pingggiran kota yang hidupnya begitu keras dan kejam. Mereka adalah orang-orang yang dididik langsung oleh kerasnya alam. 


Namun saya juga percaya, tidak semua orang-orang tersebut mampu menjiwai pendidikan yang telah ia terima dari alam. Begitu juga dengan para anggota Mapala. 

Tetap ada di antara mereka yang bermental penjajah dan menganggap yang lain lebih rendah. 

Tetap ada di antara mereka yang justru tidak mencintai alam, bahkan merusaknya. 

Tetap ada di antara mereka orang-orang yang tega berlaku keji kepada sesamanya. Orang-orang seperti itulah yang berpotensi menjadi pembunuh atau pelaku kekerasan atas nama pendidikan. 

4 comments

  1. pendidikan dan ilu itu tidak semuanya harus lewat dari pendidikan sekolah yang tinggi. mereka yang gak sekolah orang-orang zaman dulu bisa mengayomi oranglain dengan ilmu dari pengalaman mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget Mbak. Bahkan mereka jauh lebih bijak dari orang2 sekolahan.

      Delete
  2. Iya saya juga suka ikut sedih soal kekerasan dalam dunia pendidikan ini dan terkahir baca berita guru dipukuli oleh muridnya dan tewas 😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semua orang tua, guru, maupun masyarakat, saya kira juga sedih Bund. Dunia pendidikan Indonesia benar-benar berduka atas kejadian tersebut.

      Delete