Saatnya Kembali ke Mataram dan Melirik Sungai - Jurnal Darul Azis

Saatnya Kembali ke Mataram dan Melirik Sungai

Saatnya Kembali ke Mataram dan Melirik Sungai

Menyandang status sebagai kota wisata, hingga kini Jogja masih menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlah wisatawan yang datang ke Jogja terus meningkat. Berdasarkan data Dinas Pariwisata kota Jogja (2017), tingkat realisasi kunjungan wisatawan mancanegara dan dalam negeri selalu melebihi angka seratus persen dari yang ditargetkan. Secara akumulatif, pertumbuhan rata-rata jumlah kunjungan wisatawan dari tahun 2012-2016 adalah sebanyak 3,24 persen. 

Sungai Karangwaru

Di samping itu, sektor pariwisata juga memiliki kontribusi cukup besar terhadap nilai PDRB kota Jogja-meskipun bukan yang tertinggi karena masih lebih rendah dari kontribusi sektor informasi dan komunikasi dan industri pengolahan. Menurut BPS (2017), PDRB sektor penyediaan akomodasi dan makan minum bernilai 2,32 triliun pada tahun 2013 meningkat sampai dengan 2,74 triliun pada tahun 2016.

Namun demikian, dalam kurun waktu yang sama pula, jumlah penduduk miskin di kota Jogja terus meningkat. Tingginya kunjungan wisatawan ke Jogja ternyata masih belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat.

Bahkan selama ini kota Jogja menjadi penyumbang angka kemiskinan yang terbesar apabila dibandingkan dengan kabupaten lain di DIY. Hal tersebut terjadi tak lain karena masih timpangnya distribusi pendapatan antarmasyarakat dan antarwilayah (kecamatan). Kondisi itulah yang kemudian menjadi penyebab utama tingginya angka kemiskinan di kota Jogja. 

Tinggal di kawasan sungai

Apabila ditelisik lebih jauh, secara spasial ternyata proporsi keluarga miskin di atas rata-rata kota Jogja (14 persen) sebagian besar tersebar di daerah kawasan sungai, yaitu kecamatan Tegalrejo, Jetis, Danurejan, Gedongtengen, Wirobrajan, Gondomanan, Pakualaman, dan Mergangsan.

Selain itu, proporsi keluarga miskin di kecamatan Kraton juga masih cukup tinggi persentasenya, yakni sebesar 17, 97 persen (Bapeda kota Jogja, 2015). Kedelapan kecamatan tersebut dilintasi oleh aliran sungai Code, Winongo, dan Gajahwong sementara kecamatan Kraton memiliki banyak destinasi wisata sejarah dan budaya. 

Berpijak dari fakta tersebut, maka kita kemudian dapat menemukan langkah apa yang bisa dilakukan untuk menurunkan angka kemiskinan di Jogja, terutama berkaitan dengan upaya optimalisasi sektor pariwisata.

Kondisi di kecamatan Kraton mengingatkan kita untuk segera kembali menghidupkan kawasan tersebut sebagai “zona kekratonan” yang “Mataram banget”. Hal itu bisa diwujudkan melalui seni pertunjukan, religi, kuliner, festival budaya ataupun pola kehidupan (pranata sosial) masyarakat Mataram.

Adapun kondisi di delapan kecamatan lainnya, seyogianya semakin membukakan mata kita bahwa kini saatnya sungai-sungai di Jogja mulai dioptimalkan sebagai destinasi wisata alternatif, sehingga dapat memberikan dampak ekonomi secara luas kepada masyarakat sekitar. 

Selama ini destinasi wisata di Jogja terlalu Malioboro-sentris, sehingga kawasan sungai yang sebenarnya memiliki potensi begitu besar dalam menarik wisatawan menjadi jarang dilirik oleh pemerintah dan pegiat wisata.

Begitu populernya kampung warna-warni kali Code dan Karangwaru Riverside dua tahun terakhir menjadi salah satu bukti bahwa sebetulnya wisatawan juga memiliki antusias yang tinggi terhadap wisata sungai. Karena ada banyak hal yang bisa mereka temukan di sana, yang tak akan mereka temukan di tempat lain. 

Beberapa strategi yang bisa dilakukan dalam hal ini misalnya dengan menjadikan sungai sebagai wisata pemancingan, kuliner, budaya, maupun sebagai tempat berolahraga dan belajar-mengajar. Akan lebih menarik lagi jika kemudian di kawasan tersebut disediakan pula spot-spot foto terbaik guna memenuhi hasrat generasi zaman sekarang. 

Apabila hal ini dilakukan, maka tak hanya keuntungan ekonomi yang didapatkan, melainkan juga dapat menimbulkan dampak ekologis, kesehatan, dan perubahan perilaku hidup masyarakat di kawasan sungai. Sebab, dengan dijadikannya sungai sebagai tempat wisata, minimal sungai kita akan lebih diperhatikan kelestariannya.

*Tulisan ini pertama kali terbit di koran Harian Jogja, Rabu 14 Februari 2018

Sumber gambar: greeners.co

4 comments

  1. sungai saat ini lagi dilirik sebagai objek wisata yang harus dikelola kembali, seperti mengembalikan citra diri zaman dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget Koh. Banyak manfaat yang bisa diambil dari sungai, daripada sekadar dibiarkan.

      Delete
  2. saya pernah menyusuri kawasan sayidan yang gak jauh banget dari malioboro
    ampun deh kumuhnya
    belum lagi kalau Transjogja lewat selokan Mataram seringkali liat sampah menggunung. Tapi yang bikin nyesek sih banyak kubangan air, terutama di parit-parit kecil
    semoga apa yang mas harapkan bisa terlaksana, terutama sungai2 di daerah Kota Yogyakarta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayidan memang termasuk kawasan padat penduduk Mas. Tapi mereka di sana masih tergolong cukup banyak kecipratan dampak wisata.

      Dan soal sampah, memang di Jogja masih menjadi problem serius. Selain karena volumenya yang sangat tinggi, daya tampung TPA di Bantul juga lama2 semakin terbatas. Butuh penanganan yang lebih serius lagi mengenai hal ini.

      Salah satunya seperti yang saya sebutkan dalam artikel saya, yaitu dgn mulai melirik sungai dan sekitarnya.

      Makasih atas kunjungannya Mas Ikrom.

      Delete