Perempuan-perempuan yang Tereksklusi - Jurnal Darul Azis

Perempuan-perempuan yang Tereksklusi

Perempuan-perempuan yang Tereksklusi




Tanpa sengaja saya menemukan sebuah tesis yang membahas tentang perempuan-perempuan Salafi di Yogyakarta, berjudul "Perempuan-perempuan Tereksklusi". Ditulis oleh Emy Ruby Astuti dari Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM pada 2010 lalu.

Bab pertama tesis ini dibuka dengan judul "Perempuan-perempuan di balik Cadar". Lalu dilanjutkan dengan sebuah cerita. Saya kutipkan sedikit ya.

"Pagi itu sekitar pukul 08.30 WIB, lantai atas masjid kampus UGM dipenuhi oleh sekitar puluhan perempuan-perempuan berpakaian serba longgar dan berwarna gelap yang duduk bergerombol".  

Membaca itu, saya nyaris misuh, tapi untung saya langsung ingat bahwa saya sedang berada di ruang publik. Ya sudah, misuhnya dalam hati saja. 

"Bedebah! Tesis macam apa ini? Asyik sekali!"

Saya seperti diajak ngobrol saja. Saya diajak mengimajinasikan pertemuan demi pertemuan peneliti dengan perempuan-perempuan Salafi itu. Mulai dari di gang, di kosan, hingga ketika mereka sama-sama tinggal di wisma. Saya jadi tahu aktivitas keseharian ibadah mereka. Juga koleksi barang-barang elektronik, gamis, dan buku-buku milik mereka.

Bab dua diberi judul "Jejak Kaki Nabi di Kampung Pogung", lalu dilanjutkan dengan subjudul "Perempuan-perempuan Bercadar di Kampung Giri". Ada pula subjudul lain yang berbunyi "Kelompok yang (merasa) terselamatkan". Membaca judulnya saja, orang akan langsung tahu kalau ini adalah tesis yang menarik. 

Ada banyak hal yang saya dapatkan dari tesis ini. Perempuan-perempuan Salafi dalam tesis ini rata-rata berkuliah di UGM. 

Awalnya ya perempuan biasa, bukan anak pesantren ataupun sekolah MTs dan MA. Itulah mengapa pula mereka memilih UGM, ketimbang UIN, UMY, atau UII. Mereka mengenal Manhaj Salaf setelah mengikuti kajian di Maskam UGM. 

Menariknya, mereka kemudian kehilangan motivasi untuk berkuliah. Mereka lebih tertarik mendalami ilmu agama. Jikapun mereka tetap berkuliah, itu semata-mata hanya sebagai pertanggungjawaban terhadap orang tua. Karena sudah telanjur kuliah.

Ketika ditanya oleh peneliti tentang rencana setelah selesai kuliah, mereka dengan mantap akan menjawab: menikah. Mereka tidak tertarik untuk bekerja di sektor publik, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran yang mereka yakini. 

Mereka tinggal secara eksklusif di sebuah wisma-wisma. Saking eksklusifnya, para tetangga tidak ada yang mengenali mereka. Termasuk ketua RT. Dalam kehidupan sosial, mereka cenderung cuek dan membatasi diri. 

Tapi karena keberadaan mereka pulalah, kemudian juga membuat masjid jadi semakin ramai oleh aktivitas kajian ilmu. Dari yang sebelumnya suwung dan hanya ramai ketika salat ied. Soal ini, masyarakat di tempat mereka tinggal sering merasa bersyukur.

Kesimpulan dari tesis ini ialah: proses eksklusi sosial perempuan Salafi di Yogyakarta dibangun oleh proses pemahaman keagamaan. Yang kemudian membentuk perilaku mereka sehari-hari dalam hal memilih model pakaian, cadar, obat-obatan, kosmetik, dan komunitas. Semua itu, merupakan simbol dan ciri khas yang membedakan kelompok mereka dengan kelompok lain. 

Perilaku kesalehan mereka juga membatasi interaksi sosial dengan kelompok lain yang mengakibatkan mereka menjadi tereksklusi dan mengeksklusi diri secara sosial dari masyarakat lain. 

Terdapat satu kalimat dalam tesis ini, yang bagi saya sangat menarik. Si peneliti menulis bahwasanya gerakan Salafi merupakan antitesis dari hegemoni Barat melalui globalisasi dan demokrasi

Tribalisme agama vs anarkisme pasar. Demikianlah kedua hal itu bisa diibaratkan. Tentu saja pengibaratan itu bukan murni dari saya, melainkan saya pinjam dari orang lain yakni B Herry Priyono, seorang pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Keduanya tidak bisa dibiarkan, karena sama-sama berbahayanya. 

Fenomena serupa sebenarnya juga sedang terjadi di kalangan masyarakat umum. Jika perempuan-perempuan Salafi menjadi eksklusif karena doktrin agama, perempuan-perempuan umum menjadi eksklusif karena banalitas (atau anarkisme?) pasar. 

Semakin maraknya kos-kosan eksklusif di D.I.Y bisa kita ambil sebagai contoh. Secara sosial, mereka juga tereksklusi dan mengeksklusikan diri. Mereka juga cuek dengan tetangga. Tidak kenal/dikenal oleh pemerintah setempat. 

Berkebalikan dengan perempuan-perempuan Salafi, proses eksklusi sosial perempuan modern-kaya-maju-progresif di Yogyakarta dibangun oleh proses pemahaman tentang individualitas, kebebasan, dan kemampuan finansial yang tinggi. Yang kemudian membentuk perilaku mereka sehari-hari dalam hal memilih tempat tinggal, model pakaian, gaya hidup, kosmetik, dan komunitas. 

Semua itu, merupakan simbol dan ciri khas yang membedakan kelompok mereka dengan kelompok lain.

Demikian.

Yogya, 25 Mei 2018
Please write your comments