Tulisan saya kali ini terinspirasi dari cerita salah satu penulis buku satu tahun yang lalu, beliau lulusan S2 di salah satu Universitas yang tak begitu terkenal di India. Kondisi kampus yang masih sangat memperihatinkan, dan tidak didukung dengan fasilitas yang memadai, pendek kata kampus tersebut justru lebih jelek jika dibandingkan dengan kampus-kampus di Indonesia.
Namun ada satu hal yang perlu digaris bawahi, beliau menceritakan aktivitas di kampus tersebut sangatlah padat. Setiap hari, mahasiswa di tempa tugas-tugas yang harus diselesaikan dalam waktu yang cepat. Bahan-bahan (referensi) tugas pun tidak sembarangan, mahasiswa diwajibkan untuk setidaknya mengambil 3 Jurnal berbahasa Inggris dan berpuluh-puluh buku pilihan. Aktivitas tersebut menyebabkan suasana perpustakaan selalu ramai dengan aktivitas baca mahasiswa, dan lagi perpustakaan pun melayani sampai dengan jam 12 malam. Its, Great Right.!!!!!!!!!!!
Inilah pelajaran menarik untuk Indonesia, yaitu budaya akademik yang sangat dijunjung tinggi. Di India semua masyarakatnya dibiarkan dalam persaingan yang ketat, tentu mahasiswa luar yang studi di negara tersebut juga harus mengikuti persaingan tersebut, mau tidak mau harus terlibat bukan? Nah, dalam persaingan inilah semua orang akan dituntut untuk lebih kompetitif. Pun dalam dunia akademik, di India seluruh peserta didik akan dituntut untuk mengikuti persaingan yang ketat itu, mereka yang tidak dapat bersaing sudah pasti akan tersisih, akan terbuang dan menjadi sampah. Persaingan akademik yang dimunculkan tersebut memicu padatnya aktivitas peserta didik agar dapat terus bersaing mengukir prestasi, mengasah soft skill, dan menambah wawasan. Kebiasaan peserta didik yang setiap hari menanggung aktivitas yang padat tentunya akan mengubah pola perilaku akademik dan akan terintegrasi dalam budaya akademik. Ada aktivitas yang sinergis, rutin dan terstruktur dari setiap diri peserta didik untuk menghadapi persaingan yang ketat itu, sehingga mau tidak mau peserta didik harus berupaya sekeras mungkin agar tetap dapat hidup dalam dunia akademik itu.
Di Indonesia, kita banyak melihat budaya akademik dalam lembaga/instansi pendidikan masih sangat rendah, terlebih lagi instansi pendidikan yang masih kecil dan kurang berkembang. Bahkan aktivitas akademiknya pun masih sangat rendah, bagaimana mungkin aktivitas yang minim akan mampu membentuk budaya akademik.? Hal ini tidak sejalan dengan kebutuhan pasar global yang menuntut terciptanya manusia-manusia yang tangguh, berwawasan tinggi, berketerampilan tinggi dan berkarakter tentunya. Jika masih sedikit instansi pendidikan yang berbudaya akademik tinggi, maka pertanyaannya adalah mampukah output pendidikan di Indonesia bersaing dengan negara-negara lain?Penyebab utamanya, masih begitu rendahnya kesadaran peserta didik di Indonesia terhadap persaingan global yang sedang dan yang akan dihadapi. Padahal, jelas sekali globalisasi telah menuntun kita untuk berkompetisi tanpa batas, semua orang bertekad untuk menang sehingga persaingan jadi semakin panas dan ketat.
Saya rasa untuk menumbuhkan kesadaran untuk bersaing bagi peserta didik di Indonesia bukanlah solusi yang tepat disamping harus memerlukan waktu yang sangat lama. Satu hal mendesak yang harus segera dilaksanakan baik oleh pemerintah, pimpinan lembaga/instansi pendidikan maupun peserta didik adalah membentuk perilaku akademik yang lebih struktur secara perlahan. Langkah ini dapat dimulai dari memadatkan aktivitas akademik maupun aktivitas sosial dalam rangka mengembahkan kualitas peserta didik, sehingga dengan adanya pemadatan aktivitas tersebut akan dapat berkurang angka tawuran antar pelajar, narkoba, free sex antar pelajar, anarkisme mahasiswa dan kegiatan-kegiatan konyol lainnya. Kepadatan aktivitas akademik ini akan mempengaruhi perilaku peserta didik untuk terus mengupayakan dirinya dapat semakin berkualitas. Langkah ini tentunya juga harus diikuti oleh dimunculkannya persaingan akademik yang sangat ketat, seperti lomba-lomba, penganugerahan, beasiswa, dan berbagai reward yang mampu mendongkrak persaingan peserta didik dalam dunia akademik. Kondisi ini secara perlahan akan membentuk perilaku terstruktur dalam diri peserta didik sehingga terbentuklah budaya akademik yang baik dalam setiap instansi pendidikan.
Berbicara aktivitas akademik, perilaku akademik dan budaya akademik maka jangan disanggah dengan argumen humanisasi pendidikan dan Hak Asasi Manusia dengan alasan kegiatan tersebut (persaingan akademik yang ketat) akan menghilangkan sisi kemanusiaan dan HAM dari peserta didik. Justru dengan dimunculkannya ketiga faktor inilah yang akan mengangkat harkat dan martabat peserta didik, karena mereka mendapatkan hak-haknya untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan kebutuhan pasar dan tetap berada di jalur masing-masing, misalnya peserta didik ilmu eksak akan diarahkan pada ilmu tersebut, begitupun hal tersebut berlaku untuk semua disiplin ilmu. Bagaimanapun juga, saat ini kita sudah berada dalam lembah globalisasi maka mau tidak mau kita harus menyiapkan generasi dengan baik agar dapat bersaing satu sama lain.
Sebagai langkah sederhana, pemerintah dapat meningkatkan pelayanan perpustakaan umum 24 Jam misalnya, agar minat baca peserta didik semakin meningkat. Contoh lain, para pengajar dapat memberikan tugas-tugas yang padat, agar peserta didik benar-benar menguasai ilmu dan berwawasan tinggi.
Semoga pak Menteri Pendidikan membaca ini, ataupun kalau tidak para pengajar, peserta didik dan masyarakat dapat membaca sehingga cita-cita negara ini akan segera terwujud. MENCERDASKANN KEHIDUPAN BANGSA. Aamin.
Salam Akademik
Karangwaru, 12 Desember 2013. (Azis)