Gambar oleh Mas Wiki |
Meski Sabdaraja dan Dhawuhraja yang dikeluarkan Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwana X, beberapa waktu lalu lebih diperuntukkan bagi kalangan internal Kraton, namun tidak dapat kita pungkiri bahwa hal tersebut pada akhirnya akan berdampak hingga keluar Kraton, seperti Undang-Undang Keistimewaan, Perdais. Selain itu, Sabdaraja dan Dhawuhraja juga mengundang banyak komentar, diskusi, dan perdebatan masyarakat DIY di berbagai ruang publik. Wajar memang, karena penerus pewaris tahta kraton kelak tak hanya akan menjadi Raja di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat saja, melainkan juga menjadi Gubernur DIY. Inilah salah satu konsekuensi logis atas pengintegrasian DIY ke dalam NKRI, suka tidak suka, suksesi kepemimpinan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat akan terus mendapat sorotan dari media, masyarakat dan bahkan negara.
Terkait Sabdaraja dan Dhawuhraja itu, sebagai kawula alit (orang kecil) kita hanya bisa menafsir sendiri-sendiri –dengan penuh kehati-hatian- sampai Ngarsa Dalem bersedia menjelaskan kepada masyarakat DIY dengan segamblang-gamblangnya. Sampai saat ini, kita hanya bisa menafsir bahwa Sabdaraja dan Dhawuhraja itu sangat berkait erat dengan suksesi kepempinan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan DIY. Secara politis-demokratis, pengangkatan GKR Pembayun menjadi Putri Mahkota akan menjadi jalan untuk merepresentasikan hak politik kaum perempuan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan demikian, Kraton Ngayogyakarta akan menjelma menjadi institusi yang akan menonjolkan semangat demokrasi modern, menyesuaikan perkembangan zaman.
Namun secara historis-budaya, hal tersebut menjadi sangat kontroversial lantaran harus mengubah paugeran yang merupakan konstitusi kerajaan. Pengubahan paugeranini pun, menurut Penulis juga dapat dikatakan terlambat, karena baik Undang-Undang Keistimewaan dan Perdais -yang di dalamnya juga mengatur kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY- sudah diteken oleh DPR dan DPRD. Sehingga akan cukup “merepotkan” para regulator karena harus disesuaikan lagi dengan paugeran keraton. Karena biar bagaimana pun, keduanya saling memengaruhi satu sama lain sehingga harus selaras dan semakna.
Atas kondisi itu, pertanyaannya sekarang adalah manakah yang hendak dijunjung tinggi oleh ngarsa dalem, politik, dan demokrasi atau sejarah dan budaya Kesultanan Ngayogyakarta? Jika yang hendak dijunjung tinggi adalah demokrasi, maka sah-sah saja jika kemudian Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang ratu. Sebaliknya, jika yang hendak dijunjung tinggi adalah nilai historitas dan budaya, maka mutlak, Sultan Hamengku Buwana X harus legawa untuk menyerahkan tahta kepada adiknya.
Namun (sekali lagi) sebagai kawula alit, kita hendaknya juga tidak terlalu buru-buru untuk menyimpulkan bahwa Kepala Kraton Ngayogyakarta selanjutnya adalah GKR Pembayun. Kita perlu menilik pernyataan HB IX berikut ini sebagaimana ditulis Kustiniyati Mochtar dalam buku Tahta Untuk Rakyat.
“Terus terang, apabila seseorang telah diberi gelar Mangkubumi, itu adalah langkah pertama ia dicalonkan untuk menjadi putra mahkota. Namun, apakah ia benar-benar akan menjadi putra mahkota masih tergantung penilaian, atau katakanlah periode ia menjadi Mangkubumi adalah periode penjajagan. Saya menilainya, para keluarga pun menilainya, untuk nanti pada pertemuan keluarga, sebagaimana waktu saya dulu, ditetapkan apakah ia bisa diterima atau tidak sebagai putra mahkota.”
Bertolak dari sumber ini, selanjutnya kita hanya dapat menantikan proses penilaian, penjajagan, dan urun rembug keluarga kraton dalam suksesi kepemimpinan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dan, kita semua berharap Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat akan tetap kokoh, kuat, dan tidak terpecah belah, serta tetap menjadi pusat budaya Jawa yang adiluhung. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah berdiri sejak dua setengah abad yang lalu, kita tidak ingin semua itu berakhir begitu saja.