Orang itu Mirip Pak Harto, Membicarakan Keruwetan Jogja - Jurnal Darul Azis

Orang itu Mirip Pak Harto, Membicarakan Keruwetan Jogja

Orang itu Mirip Pak Harto, Membicarakan Keruwetan Jogja


Orang itu mirip Pak Harto. Senyumannya, wibawanya, dan sorot matanya nyaris mirip Jenderal yang pernah memimpin Indonesia selama 32 tahun itu. Kata-katanya tegas dan sarat makna-makna tersirat. Sangat selaras dengan postur badannya yang tegap. Sore itu, kami seolah sengaja dipertemukan oleh Tuhan dengan maksud yang sangat istimewa dan dalam waktu yang cukup lama.

Dari pertemuan kami yang cukup lama itu, aku bisa mengenal beliau sebagai seorang tua yang gemar bercakap dan bercerita. Selera humornya pun tampak tinggi. Hingga sesekali kami tertawa bersama di sela-sela beliau meminum jamu yang telah kuhidangkan untuknya. Setelah lama bercerita ngalor-ngidul, beliau pun akhirnya mengaku sebagai seorang pensiunan.
“Pensiunan apa Pak?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Tukang tembak” Jawabnya ringan. Dulu, kalau ada orang yang macam-macam, kami yang ngurus.” Sampai di sini, nyaliku langsung ciut untuk terus bertanya -meski itu semua profesi yang sangat kuhormati dan kukagumi. Karena beliau berkata dengan penuh ketegasan dan mantap, maka aku tak bisa membedakan sedikit pun apakah beliau sedang bercanda atau memang serius. Pembunuh bayaran, begal, penembak jitu, perampok, eksekutor terpidana mati,  atau yang lainnya, aku tak tahu.
Selanjutnya, pembicaraan kami pun berlanjut ke mana-mana.  Termasuk tentang kondisi Kota Jogja kini, yang menurut beliau makin aneh-aneh, tak logis, dan tak terjangkau oleh (barangkali) otaknya yang semakin menua (baca : mendekati pikun).
“Turis-turis itu kan, datang ke Jogja bukan untuk berkunjung ke mall-mall, gedung-gedung tinggi, atau pun enak-enakan tidur di hotel mewah. Kalau cuma semacam itu yang mereka inginkan, di negara mereka pun sudah tentu ada dan saya yakin jauh lebih bagus kualitasnya. Tapi anehnya, di sini kok makin banyak saja hotel-hotel dan pusat perbelanjaan. Diatasnamakan kepentingan pariwisata.”
Mendengar itu, aku sengaja tak memberi respon selain perhatian penuh untuk terus menyimak. Beliau melanjutkan.
“Mereka ke sini itu, karena ingin melihat, niteni, dan menikmati suguhan kearifan lokal. Tak sedikit di antara mereka juga yang mencatat apa yang menurut kita tak menarik untuk kita catat. Mereka ingin mengenal masyarakat Jogja berikut budayanya. Mereka ingin keliling Jogja ini sambil naik andong, becak, dan belanja di pasar Beringharjo. Mereka (sebenarnya, red) juga ingin tidur di rumah-rumah Joglo, makan dengan peralatan gerabah, dan menikmati indahnya alam lereng Merapi, Parangtritis, dan puluhan pantai di Gunungkidul.” Katanya.
 Aku hanya manggut-manggut takzim, sebagaimana murid yang sedang diceramahi guru barunya.
“Saya kadang juga tak habis pikir, kan sudah ada hotel, mall, dan macem-macem, kok ya masih ada saja ya yang mbangun lagi, bahkan yang baru-baru ini terlihat lebih besar seperti raksasa.”
“Bukankah memang begitu teorinya Pak? Responku setelah beliau diam sejenak.
“Yang punya modal banyak sengaja rela berkorban lebih banyak agar kemudian bisa membunuh si pemodal kecil. Hingga kemudian, si pemodal besar akan menjadi pemain tunggal. Di hadapan pemodal, sepertinya semua daerah, budaya, dan semua penguasa sama Pak.” Ucapku penuh keyakinan.
“Barangkali memang begitu. Saya merasa, kalian  sekarang ini sedang digiring untuk menjadi manusia supra-modern, modern yang semodern-modernnya, melebihi kemodernannya itu sendiri. (Walah, piye jal kuwi logikane?)
“Dados, sebagai kawula muda kula kudu pripun Pak?"
Ya wis, jualan jamu wae. Iki wis bener.” Ujarnya sambil melontarkan senyum.


Please write your comments