Pemerintah akhirnya mengeluarkan paket kebijakan ekonomi guna mengatasi kondisi perekonomian Indonesia yang terus melemah. Paket kebijakan ekonomi tersebut berisi tiga poin besar. Pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokrasi, penegakan hukum, dan peningkatan kepastian usaha. Poin ini akan ditempuh dengan mengubah 89 peraturan dari 154 peraturan yang ada. Sehingga dapat menghilangkan peraturan-peraturan yang tumpang tindih, tidak relevan, dan justru dapat menghambat industri nasional.
Poin kedua adalah mempercepat proyek strategis nasional, termasuk penyediaan lahan dan penyederhanaan izin, serta pembangunan infrastruktur. Dan yang ketiga adalah meningkatkan investasi di bidang properti dengan mendorong pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Paket kebijakan tersebut adalah paket kebijakan yang pertama, karena masih akan diikuti dengan paket kebijakan ekonomi lanjutan, mengingat saat ini kondisi perekonomian Indonesia berada di titik terendah sejak tahun 1998. Kurs rupiah terus melemah, pasar modal melesu, dan harga-harga melonjak tinggi. Belum lagi persoalan lain seperti gagal panen, kebakaran hutan, krisis air sebagai akibat dari musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya. Kondisi tersebut tentu sangat rentan memancing kepanikan, kepesimisan, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sehingga dapat berekses pada munculnya gejolak sosial.
Karena itulah, setelah paket kebijakan ekonomi tahap pertama dikeluarkan, pemerintah harus terus mengawal pelaksanaan paket kebijakan tersebut agar dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan yang telah dikonsepkan. Hal ini penting diupayakan karena para pelaku ekonomi masih akan menilai sejauhmana keseriusan dan keberpihakan pemerintah terhadap mereka. Mereka sangat memerlukan jaminan dan kepastian arah pengembangan ekonomi nasional. Tak hanya itu bahkan, kebijakan ekonomi tersebut juga harus diikuti dengan iklim politik di pemerintahan yang stabil. Jika tidak, maka seterusnya para pelaku ekonomi hanya akan menunggu, menonton, dan enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Belajar dari DIY
Meski kondisi perekomian nasional sedang mengalami perlambatan, tidak demikian dengan DIY. Fondasi ekonomi DIY yang ditopang UMKM dinilai sangat kuat. Kondisi tersebut yang menyebabkan perekonomian di DIY masih dapat berjalan baik. Hal ini dibuktikan dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama tahun 2015 yang tumbuh 4,20 persen. Angka tersebut mengalami peningkatan pada tiga bulan berikutnya menjadi sebesar 5,18 persen. Artinya selama semester pertama tahun ini perekonomian di DIY yang ditopang UMKM mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi (Harian Jogja, 25/8).
Belajar dari kondisi di DIY tersebut, maka pada paket kebijakan selanjutnya pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan lain yang dampaknya dapat langsung dirasakan oleh kalangan menengah ke bawah sehingga kinerja perekonomian dapat berangsur membaik. Tak hanya mendorong masuknya investasi dari luar negeri, pemerintah juga perlu memperluas akses perbankan kepada UMKM di tingkat lokal. Kemudahan akses inilah yang nantinya dapat menciptakan lapangan kerja baru, sehingga pendapatan masyarakat pun akan meningkat, disusul dengan meningkatnya daya beli masyarakat.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi masyarakat di pedesaan dengan menggerakkan ekonomi di pedesaan. Misalnya dengan memberdayakan usaha mikro dan kecil dengan menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah, menambah jumlah raskin, mempercepat dan mempermudah pencairan dana desa guna mendorong percepatan pembangunan di desa, dan terakhir yang juga tak kalah penting adalah menjaga stabilitas harga di pasaran, terutama harga komoditas pangan. Melalui langkah-langkah tersebut, penulis yakin, beban masyarakat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi menjadi terkurangi dan geliat ekonomi –dimulai--dari tingkat bawah kembali bergairah.