Dampak Penggunaan Gadget Secara Berlebihan/ Ilustrasi via www.youtube.com |
Malam itu segerombolan anak muda terlihat memasuki sebuah tempat makan. Seperti biasa, para pelayan menyambut, menyapa, dan bertanya butuh tempat untuk berapa orang. Segerombolan anak muda yang berjumlah 9 orang itu memilih tempat duduk lesehan, tak jauh dari tempat saya duduk menantikan makanan yang telah saya pesan.
Karena jarak yang dekat itulah, saya bisa mengamati mereka tanpa terhalang suatu apa. Dilihat dari gaya dan pakaiannya, sepertinya mereka adalah mahasiswa, komunitas mahasiswa, atau bisa jadi aktivis. Malam itu, tebakan saya, mereka akan menggelar rapat kecil-kecilan sembari makan malam. Saya agak hapal dengan yang begitu-begitu, karena selain pernah mengalaminya sendiri, saya juga sering menyaksikan hal serupa.
Setelah semua mengambil posisi duduk, seorang laki-laki berambut gondrong angkat bicara. Sepertinya, ia adalah orang yang dituakan di antara segerombolan anak muda itu.
“Teman-teman, seperti biasa, gadget harap disimpan di tas masing-masing. Sampeyan-sampeyan hanya boleh pegang hape yang cuma bisa buat sms sama telpon saja.”Saya tersentak mendengarnya. Waiki, apik tenan, pikir saya kala itu. Semua menurut, seperti telah ada kesepakatan sebelumnya di antara mereka. Ini terlihat dari kata "seperti biasa" yang dilontarkan pria berambut gondrong itu. Kalimat yang dilontarkan itu justru lebih bersifat mengingatkan kembali, bukan melarang. Satu dua orang terlihat meletakkan hape nokianya di atas meja makan. Setelah itu, mereka pun mulai mengobrol, saling garap, hingga tergelak tawa yang cukup keras. Ternyata dugaan saya meleset. Sampai saya mau pulang --sekira 30 menit sejak kedatangan mereka- tak ada obrolan serius sama sekali. Agaknya mereka tidak sedang akan menggelar rapat kecil-kecilan. Melainkan ngobrol-ngobrol biasa. Wasem.
*********
Suatu malam, di sebuah tempat makan (atau minum ya?) es krim, saya menyaksikan hal yang teramat menyayat hati,---apalagi jika disaksikan oleh seorang jomblo. Tak jauh dari tempat saya duduk, tampak sepasang sejoli duduk berhadapan, ditemani sebatang lilin, dan es krim berwarna pink telah terhidang di meja. Oh, romantis sekali.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit hingga dua puluh menih saya duduk di sana, nyaris tidak ada obrolan di antara mereka. Mereka hanya sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Sampai di sini, saya merasa prihatin. Trenyuh. Hingga muncullah naluri kelelakian saya.
“Mbok kene wae Nduk, karo Mamas kene. Daripada mung kaya ngunu iku,” Gumam saya. Tiba-tiba tangan saya terasa sakit. Seperti ada yang mencubit. Weladalah, ternyata saya sedang sama Mbak Pacar. Saya baru sadar, saya tadi tak hanya menggumam dalam hati, melainkan sampai terucap hingga Mbak Pacar mendengarnya. Untuk mencegah cubitan yang kedua, saya pun mengajaknya untuk turut serta mengamati sepasang sejoli itu dengan segala kejanggalannya.
Kini, pengamatan bukan hanya saya yang melakukan. Mbak Pacar jadi ikut mengamati. Saya pun menggodanya kembali dengan mengucap kata-kata serupa. Satu cubitan kecil mendarat lagi di tangan.
“Kan ya kasian, masak dianggurin gitu.” Saya membela diri.
Mbak Pacar mecucu sambil menghabiskan es krimnya.
Saya tersenyum
“Coba bayangkan, kalau yang menyaksikan ini adalah seorang jomblo. Gimana rasanya? Sakit Beib. Di sini sakitnya.” Lanjut saya sembari menunjuk hati saya, menirukan gaya anak-anak muda zaman sekarang.Gaya alay katanya.
Saya lanjutkan dengan mringis di hadapannya. Mbak Pacar pun tersenyum. Kami rukun kembali. Kami melanjutkan observasi. Selanjutnya, objek pengamatan kami geser ke jarak yang lebih jauh. Terlihatlah sepasang suami istri beserta seorang anak kecil tengah duduk di bawah pohon. Kami pun menemukan hal serupa. Sang istri (yang juga berarti sang ibu), sibuk memainkan gadgetnya. Begitu juga dengan sang suami (ayah), melakukan hal serupa. Nyaris tanpa interaksi. Sang anak bermain sendiri sambil sesekali plonga-plongo. Melihat mereka itu, sama sekali gak ada asyik-asyiknya.
“Sini nak, sama kakak aja. Daripada di situ, dicuekin mama papa,” ucap saya lirih.
Mbak Pacar langsung menatap saya. Kemudian tersenyum senang. Seolah percaya bahwa saya punya naluri kebapakan yang tinggi. Saya menang telak.
Gadget kini seakan seolah telah menjadi kebutuhan primer. Hampir semua orang, terlebih lagi anak-anak muda, telah memiliki gadget. Lengkap dengan berbagai fitur yang beragam, utamanya aplikasi media sosial dan game. Penggunaan gadget pun semakin meningkat intensitasnya, menyertai setiap aktivitas sehari-hari.
Dalam sehari, bisa jadi aktivitas memencet-mencet gadget lebih tinggi (atau minimal sebanding) intensitasnya dengan aktivitas lain. Karena sekarang ini, memainkan gadget di kamar mandi, di kelas, di tempat kerja, di jalan, di meja makan, dan di tempat ibadah, agaknya telah dianggap menjadi sesuatu hal yang lumrah, karena selalu disertai alasan-alasan pembenaran dari para penggunanya.
Penggunaan gadget di era sekarang ini memang cenderung tidak terbatas, karena memang tidak/belum ada hukum atau norma yang melarang penggunaan gadget —kecuali di SPBU atau tempat-tempat tertentu yang dapat mengundang bahaya. Jika demikian, masih bisakah pembatasan/larangan pemakaian gadget diterapkan? Belajar dari apa yang dilakukan segerombolan muda-mudi dalam cerita di awal tulisan ini, saya jadi yakin bahwa pada prinsipnya pembatasan pemakaian gadget dapat dilakukan. Yakni melalui kesepakatan-kesepakatan tertentu.
Di lingkungan keluarga misalnya, agar komunikasi dan hubungan antar anggota keluarga dapat terjalin dengan baik tanpa harus terganggu dengan aktivitas pemakaian gadget yang berlebihan, maka perlu ditetapkan norma-norma tertentu seperti : anjuran untuk tidak memainkan gadget ketika sedang makan, anjuran untuk tidak memainkan gadget sebelum tidur --karena biasanya akan membuat pengguna tidur larut, larangan agar tidak memainkan gadget ketika belajar, larangan agar tidak memainkan gadget ketika sedang bercengkrama dengan keluarga, dan berbagai aturan main lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Dengan begitu, maka hubungan di dalam keluarga dapat menjadi lebih komunikatif dan interaktif, sehingga waktu berkumpul dengan keluarga menjadi momen yang benar-benar berkualitas. Tidakkah kita mau merenungkan mengapa Steve Jobs, mantan CEO Apple itu, sampai tidak mengizinkan anak-anaknya menggunakan iPad saat di rumah? Karena mungkin, salah satu alasannya adalah agar mereka dapat merasakan quality time bersama keluarga.
******
Gadget kini seakan seolah telah menjadi kebutuhan primer. Hampir semua orang, terlebih lagi anak-anak muda, telah memiliki gadget. Lengkap dengan berbagai fitur yang beragam, utamanya aplikasi media sosial dan game. Penggunaan gadget pun semakin meningkat intensitasnya, menyertai setiap aktivitas sehari-hari.
Dalam sehari, bisa jadi aktivitas memencet-mencet gadget lebih tinggi (atau minimal sebanding) intensitasnya dengan aktivitas lain. Karena sekarang ini, memainkan gadget di kamar mandi, di kelas, di tempat kerja, di jalan, di meja makan, dan di tempat ibadah, agaknya telah dianggap menjadi sesuatu hal yang lumrah, karena selalu disertai alasan-alasan pembenaran dari para penggunanya.
Penggunaan gadget di era sekarang ini memang cenderung tidak terbatas, karena memang tidak/belum ada hukum atau norma yang melarang penggunaan gadget —kecuali di SPBU atau tempat-tempat tertentu yang dapat mengundang bahaya. Jika demikian, masih bisakah pembatasan/larangan pemakaian gadget diterapkan? Belajar dari apa yang dilakukan segerombolan muda-mudi dalam cerita di awal tulisan ini, saya jadi yakin bahwa pada prinsipnya pembatasan pemakaian gadget dapat dilakukan. Yakni melalui kesepakatan-kesepakatan tertentu.
Di lingkungan keluarga misalnya, agar komunikasi dan hubungan antar anggota keluarga dapat terjalin dengan baik tanpa harus terganggu dengan aktivitas pemakaian gadget yang berlebihan, maka perlu ditetapkan norma-norma tertentu seperti : anjuran untuk tidak memainkan gadget ketika sedang makan, anjuran untuk tidak memainkan gadget sebelum tidur --karena biasanya akan membuat pengguna tidur larut, larangan agar tidak memainkan gadget ketika belajar, larangan agar tidak memainkan gadget ketika sedang bercengkrama dengan keluarga, dan berbagai aturan main lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Dengan begitu, maka hubungan di dalam keluarga dapat menjadi lebih komunikatif dan interaktif, sehingga waktu berkumpul dengan keluarga menjadi momen yang benar-benar berkualitas. Tidakkah kita mau merenungkan mengapa Steve Jobs, mantan CEO Apple itu, sampai tidak mengizinkan anak-anaknya menggunakan iPad saat di rumah? Karena mungkin, salah satu alasannya adalah agar mereka dapat merasakan quality time bersama keluarga.
Selanjutnya, dalam lingkup yang lebih luas hal yang sama juga bisa diterapkan. Yakni melalui aturan main yang disepakati bersama, misalnya saat berkumpul/makan bersama teman-teman, tidak diperkenankan memainkan gadget. Jika hal semacam itu mulai diterapkan, kemungkinan besar akan mudah diterima, karena saya yakin sebagian besar orang telah menyadari dampak buruk pemakaian gadget terhadap kualitas interaksi mereka. Hanya saja masih belum berdaya untuk mengatasinya, karena minimnya fasilitas atau pun modal sosial yang mereka miliki.
Sampai di sini, apakah Anda tertarik untuk mencoba? Kalau iya, semoga Anda berhasil.