Hari ini saya agak heran, kenapa kok tiba-tiba menjadi sok Eyedeis. Sok bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dan sok ngerti, sampai-sampai berani menuliskan, lalu mempublikasikannya di blog. Padahal saya cuma mau ngomongin dua mahkluk malang yang tertukar rohnya, yaitu Alibi dan Apologi.
Saya pertama kali mengenal Alibi sejak belum berumur tujuh belas tahun, tepatnya ketika kelas X (Sepuluh) SMK. Saya diperkenalkan langsung oleh Ketua Yayasan sekolah saya dulu –yang karena sekolah masih kekurangan guru, hingga akhirnya memaksa beliau untuk juga ikut mengajar. Waktu itu, beliau menjelaskan bahwa Alibi itu termasuk ke dalam istilah hukum.
“Jika Anda berada di tempat lain ketika suatu peristiwa pidana terjadi, maka Anda adalah Alibi.” Jelasnya.
Saat itu, sebagai siswa paling rajin dan paling patuh dalam mencatat semua yang diomongkan gurunya, saya kemudian mencatat begini : “Alibi adalah ketika saya tidak berada di tempat kejadian.”
Namun belakangan ini, entah siapa yang memulai terlebih dahulu dan atas dasar apa mereka melakukan itu, Alibi menjadi sangat kabur identitasnya. Ketika Anda digarapi (boleh dibaca : dibully) teman Anda --misalnya karena sebelumnya diam-diam ada yang memergoki Anda sedang makan malam dengan gebetan baru-, lantas Anda mengelak –-meskipun pada kenyataannya memang iya, namun karena alasan-alasan tertentu Anda masih belum ingin memubilkasikan hubungan Anda dengannya-- saat itulah Anda akan berubah menjadi Alibi. Ketika Anda sedang terpojok dalam sebuah percakapan, lantas Anda membela diri, saat itu pula Anda berubah menjadi Alibi. Ketika Anda selingkuh, kemudian Anda berupaya mengecoh kekasih Anda dengan cara-cara tertentu, maka saat itu Anda akan berubah menjadi Alibi. Simpulannya, belakangan ini Alibi dipahami sebagai makhluk bernama pembelaan diri, tipu muslihat, dan kebohongan.
“Halah alibi kamu...............alibi kamu. Udah ngaku aja....” Biasanya sih gitu saya sering mendengar.
Eh, bahkan beberepa situs berita ini, ini, dan ini pun, juga cukup ngawur dalam menggunakan kata alibi. Silakan Anda cek.
Kalau saya jadi Alibi, saya tentu marah karena sudah disalahkaprahi begitu. Alibi seakan telah difitnah, digagalpahami, dan direndahkan martabatnya oleh sebagian dari kita. Bagaimana tidak menjadi rendah, pada dasarnya Alibi adalah fakta. Sementara sekarang ini, Alibi lebih dikonotasikan dengan sebuah pembelaan diri atau bahasa gahulnya ngeles. Alias karangan. Alias pembohongan. Sekali lagi, seandainya saya jadi Alibi, saya akan marah besar karena sudah diperlakukan dengan tidak proporsional.
Pun seandainya saya jadi Apologi, saya juga akan marah besar. Betapa tidak, ibarat dalam sebuah hubungan, Apologi sama dengan istri yang tak dianggap oleh suaminya sendiri, sementara sang suami lebih memilih perempuan lain (yakni Alibi) untuk ia “pakai”. Apologi nyaris tidak pernah “dipakai” oleh suaminya sendiri. Diabaikan sama sekali. Ini pasti sangat menyakitkan bagi Apologi, padahal dialah istri yang sesungguhnya, makna yang sebenarnya.
Di sini kita akan menemukan kenyataan pertukaran roh antara Alibi dan Apologi. Roh Alibi kita buang entah kemana, kita gantikan dengan roh Apologi. Sementara jasad Apologi kita biarkan begitu saja, tanpa diisi oleh roh lainnya. Apologi menjadi selayak jasad yang tak berguna, dikubur tidak, dirawat pun tidak. Kasihan Apologi.
Apakah Anda juga merasa kasihan dengan Apologi?
Kalau iya, ayo, kita kembalikan lagi roh masing-masing dengan sebenar-benarnya. Roh Alibi kita kembalikan ke jasadnya sendiri sehingga menjadi Alibi yang merupakan bukti bahwa seseorang ada di tempat lain ketika suatu peristiwa pidana terjadi. Dan jasad Apologi juga kita hidupkan dengan rohnya yang sebenarnya, agar ia dapat menjadi lebih berguna dan bisa benar-benar menjadi sebuah tulisan atau pembicaraan formal yang digunakan untuk mempertahankan gagasan, kepercayaan, dan lain sebagainya, atau sebuah pembelaan diri.