Sore kemarin (07/9), oleh Yang Dipertuan Fadli Zon saya diberi kesempatan untuk melakukan wawancara khusus dengannya, menyusul pemberitaan di media soal foto selfi dengan salah satu bakal calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Saya diundang ke rumahnya pada pukul 16.00. Tidak boleh telat, juga kegasikan. Harus pas. Saya maklumi, karena saya sadar sedang akan mewawancarai siapa, Yang Terhormat Dipertuan Fadli Zon, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Demi memuluskan kesempatan wawancara kehormatan itu, saya pun berusaha untuk datang tepat waktu. Pukul 15.57 saya mengutarakan keperluan kepada satpam. Kemudian, pukul 15.58 saya langsung dihantar menuju taman yang berada di belakang rumah, lengkap dengan kolam renang berukuran 25 x 10 meter.
Pukul 15.59.58 tepat, saya sampai di hadapan beliau yang waktu itu masih terlihat agak basah rambutnya. Sepertinya beliau baru saja selesai berenang dan sengaja mengakhirinya karena teringat akan janjinya dengan saya. Wah, tiba-tiba saya merasa tersanjung.
Di meja gazebo sudah tersedia dua gelas minuman dingin. Ah, saya kembali tersanjung untuk kedua kalinya. Rupa-rupanya beliau telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut saya.
“Apa kabar Pak?" Tanya saya sambil menjabat tangan beliau. Beliau tidak langsung menjawab. Melainkan terlebih dahulu melontarkan sensenyum khas wakil rakyat.
“Cukup baik. Silakan duduk,”jawabnya kemudian.
“Wah, enak juga ya pak ya suasananya. Sejuk. Semilir. Kalau begitu kita wawancaranya bisa lebih santai Pak. Biar Bapak lebih rileks, karena saya yakin belakangan ini ada banyak hal yang menguras tenaga dan pikiran Bapak. Gimana Pak?”
“Boleh-boleh.. kamu memang wartawan yang bijak, mengerti kondisi nara sumbernya,’’
“Ah Bapak bisa aja.”
“Baik, kita mulai ya Pak. Bagaimana perasaan Bapak setelah bisa berselfi dengan Donald Trump, eh maaf, maksud saya setelah muncul pemberitaan-pemberitaan tentang lawatan Bapak beserta rombongan ke Amerika?”
“Walah.. baru aja dipuji langsung kayak gitu. Kamu ini jadi wartawan sudah berapa tahun? Pertanyaannya kok kayak wartawan tipi-tipi sebelah. Hadeh... capek deh.”
“Oh... maaf Pak. Itu tadi intro saja. Faktor keterpengaruhan, lha wong sebelum ke sini tadi saya nonton tipi itu. Hehe” Kilah saya sambil membenahi kerah baju.
“Jadi apa yang sebenarnya terjadi pak, eee.. maksud saya, apa yang Bapak dan rombongan lakukan di Amerika beberapa hari yang lalu?”
“Lha ya bekerja untuk rakyat to.. saya ini kan wakil rakyat. Masa’ ke sana saya cuma jalan-jalan. Beberapa waktu ini kan dolar terus menguat, sementara rupiah terus melemah. Ini kan tidak fair bagi dua negara sahabat seperti Amerika dan Indonesia. Seharusnya kalau dolar menguat, ya rupiah juga harus menguat dong. Kami sedang melobi pemerintah sana gimana caranya agar dolar sama rupiah bisa saling menguatkan. Sekali lagi, Amerika dan Indonesia itu kan negara sahabat. Jadi ya harus saling tolong-menolong lah,”
“Jadi bukan untuk sengaja bertemu dengan Donald Trump?”
“Ya jelas bukanlah. Cuman kebetulan kemarin pas saya lewat, Donald Trump sedang jumpa pers. Kami dipanggil Beliau, karena beliau sangat suka dengan (orang-orang) Indonesia. Ini yang oleh awak media tidak diberitakan secara proporsional,”
“Perlu kamu tahu juga, tapi ini off the record, saya itu sebenarnya ngefens banget sama si Donald. Beliau yang telah menginspirasi saya menjadi seorang politisi sejati. Lagi pula, ini kan zamannya selfi, sebagai penggemar, saya merasa harus selfi dong. Kan bisa buat bukti orang rumah kalau saya sudah bertemu dengan idola saya. Hihihi...kik kik kik kik,. Tapi apes, foto itu malah tersebar ke mana-mana.”
“Apakah Bapak tidak takut, kalau berselfi dengan Donald Trump itu bisa mengurangi kewibawaan Bapak sebagai Anggota DPR?”
“Walah Mbril, saya sudah tidak mikir sama yang begitu-begituan. Saya sudah selesai dengan fase seperti itu, gila hormat dan gila wibawa. Yang penting sekarang itu kerja kerja kerja, untuk rakyat. Contohlah presiden kita. Wibawa itu, baru dibutuhkan kalau sudah memberikan yang terbaik untuk rakyat.”
“Apakah ini juga berarti Bapak merasa belum bisa memberikan yang terbaik untuk rakyat, sehingga menepis kewibawaan seorang anggota DPR?’’
“Off the record ya..........................................”
“Baik... saat ini di media-media santer memberitakan “ulah” Bapak, bagaimana tanggapan Bapak?”
“Nyantai aja keles...mereka kan nggak tahu yang sebenarnya saya lakukan di sana. Biarkan saja. Saya tak perlu membela diri. Karena semakin membela diri, saya akan dinilai salah oleh rakyat. Ingat tuh pepatah Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe. Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Yang penting saya tetap kerja untuk rakyat.”
“Wah,, Bapak benar-benar politisi, eh, negarawan sejati.”
“Bukan Mbril, saya ini wakil rakyat. Kamu jangan sembarangan ganti-ganti nama gitu,”
“Maaf pak. Khilaf. Boleh saya minum minumannya pak? Saya haus. Agaknya saya memang grogi ini.”
“Oh iya silakan. Wah, saya jadi lupa menyilakan kamu minum. Maaf maaf.”
“ Iya pak. Ndak papa.”
“Terkait masalah ini pak, apakah Bapak sudah bertemu langsung, atau mungkin dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan DPR dan Ketua Partai pengusung Bapak?”
“Belum.. rencana besok Jum’at saya malah akan berinisiatif menemui mereka. Karena menurut hitung-hitungan hari, Jum’at besok sangat cocok untuk saya menemui beliau-beliau itu.“
“Wah.. ternyata Bapak masih sangat menjunjung tinggi yang begituan ya.”
“Lha iya dong. Itu kan warisan leluhur. Harus dijaga dan dilestarikan. Apalagi ini semua kan untuk kepentingan rakyat, jadi harus diperhitungkan betul. Jangan sampai salah mengambil keputusan gegara salah memilih hari.”
“Setelah menemuai mereka, apa rencana Bapak selanjutnya?”
“Sebagai wakil rakyat yang baik, saya tetap harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia, jikalau memang karena foto-foto saya itu, jikalau memang karena foto-foto saya itu, jikalau memang karena foto-foto saya itu, hati rakyat Indonesia jadi terluka. Perkara salah tidaknya saya, itu soal lain lah. Yang penting saya meminta maaf dulu. Kemungkinan juga akan saya lakukan Jum’at besok.”
“Tentang somasi yang diajukan beberapa anggota dewan itu Pak, gimana?”
“Halah, itu kan cuma kerjaan orang-orang oportunis. Memang, saat-saat seperti ini sangat cocok bagi sesama anggota dewan untuk cari muka kepada rakyat.”
“Menurut Bapak, apakah karena kasus ini, kunjungan keluar negeri akan semakin diperketat?”
“Sepertinya iya. Dan ini sangat berbahaya bagi stabilitas mental Anggota DPR.”
“Mengapa?”
“Kerjaan anggota DPR itu kan banyak. Yang belum selesai itu aja masih numpuk di gudang. Belum lagi janji-jani yang kami ucapkan waktu kampanye. Juga masih numpuk. Kerjaan anggota DPR benar-benar menggunung. Secara otomatis, anggota DPR itu butuh piknik. Biar otaknya nggak spaneng. Nggak pindah ke dengkul (lagi). Itulah sebenarnya salah satu alasan fundamental kami mengusulkan adanya dana aspirasi. Agar kami bisa terjun atau jalan-jalan ke daerah-daerah, untuk menyerap aspirasi dari rakyat, sekalian piknik. Karena ya cuma itu kok bonus jadi anggota DPR itu. Tidak ada yang lain. Lha yang gitu-gitu itu, rakyat gak mau mengerti.”
“Jadi, kunjungan ke AS kemarin itu?”
“Kerja untuk rakyat, sekalian piknik.”
“Kamu kalau mau membedakan apakah perjalanan dinas yang dilakukan pejabat negara itu lebih banyak jalan-jalannya atau tidak, itu gampang sebenarnya. Bisa dilihat dari foto-fotonya. Kalau banyak foto selfinya, berarti banyak jalan-jalannya. Kalau banyak foto formalnya, itu baru beneran. Beneran formalitasnya.”
“Oh begitu Pak...saya baru tahu. Ngomong-ngomong soal wawancara kita ini Pak, kok banyak off the recordnya ya? Gimana ini Pak? Bisa didamprat redaktur saya nanti Pak.”
“Kamu punya blog?”
“Punya, ya sudah, taruh di blogmu saja. Blogmu banyak yang baca nggak?”
“Nggak kok Pak. Tenang aja.”
“Ya sudah, terserah kamu aja lah. Yang jelas, besok Jum’at itu saya mau minta maaf sama rakyat Indonesia, jika karena foto selfi saya itu hati mereka jadi sakit hati.”
“Oke Pak.. sepertinya itu akan jadi berita bagus.”