Keraton Yogyakarta/Trip Advisor |
Pada suatu senja yang muram, seorang wartawan magang tampak sedang harap-harap cemas menantikan kedatangan calon narasumbernya. Sehari sebelumnya mereka telah membuat janji akan bertemu di sebuah gubuk terpencil di pinggiran kota. Sedianya, mereka akan bertemu di tempat itu sekitar pukul 16.30 untuk sebuah wawancara khusus (lebih tepatnya, obrolan khusus tapi santai). Namun sampai pukul 17.30, calon narasumber itu belum jua datang.
Ia kemudian memejamkan mata. Merasakan semilir angin khas persawahan yang membelai-belai rambut gondrongnya. Angin sore itu, ia rasakan tengah berbisik di telinganya. Mengabarkan kabar gembira.
Kira-kira tinggal satu hisapan lagi, calon narasumbernya menampakkan diri. Sang calon narasumber datang seorang diri. Ia nyaris tak terkenali karena pakaian yang dikenakannya bergaya tahun 60-an. Sangat kuno. Senyum sumringah yang berpendar dari wajahnya membuat suasana petang itu terasa semakin teduh. Hati sang wartawan menjadi berdebar karenanya.
“Hari ini beliau berulang tahun, pastilah sibuk sekali. Baiklah, aku mengerti dan akan tetap menunggunya,’’ batinnya menghibur diri.Hape pintarnya berbunyi nyaring. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi wasap.
“Mbril, aku baru isa teka sekitar setengah jam maneh. Kowe shalat'o sik wae. Ndunga sing akeh.” Kata si pengirim pesan. Dialah calon narasumber yang akan diwawancari. Kedekatan di antara keduanya membuat komunikasi mereka menjadi sangat santai, pun sepertinya dengan wawancara yang akan berlangsung.
“Oke. Saaaap Boskuh.” Balasnya.Tak lama kemudian suara adzan terdengar saling bersahutan dari satu masjid ke masjid lain.
“Shalat ndiasmu. Aku ki dudu wong Islam je.” Gerutunya dalam hati. Tapi memang demikianlah si calon narasumber yang akan diwawancarainya, terkadang sangat ngawur kalau sedang bercanda.Ia pun kemudian duduk di gubug sambil memandang semburat senja yang sebentar lagi akan meninggalkan langit tua kota yang konon istimewa itu. Tak jauh dari tempatnya berada, rumah-rumah kecil tampak berjajar tak beraturan, padat, dan berimpit. Orang-orang bersarung dan bermukena tempak berjalan menuju masjid. Di sana juga terlihat anak-anak yang masih bermain-main dan berlari-lari ke sana kemari, sampai salah seorang laki-laki menegurnya. Seketika mereka berlari memasuki masjid, sepertinya menuju tempat berwudhu.
Ia kemudian memejamkan mata. Merasakan semilir angin khas persawahan yang membelai-belai rambut gondrongnya. Angin sore itu, ia rasakan tengah berbisik di telinganya. Mengabarkan kabar gembira.
“Wahai Bapa yang ada di surga, terimakasih atas semua nikmat yang engkau berikan hari ini, kasih dan sayang-Mu sungguh tak terkira. Bimbinglah aku menjadi manusia yang berkasih sayang kepada sesama manusia.”Selesai berdoa, ia kembali ke tempat duduknya. Kemudian mengeluarkan rokok yang tinggal sebatang dari bungkusnya. Ia terlihat begitu menikmati setiap hisapan rokoknya itu.
Kira-kira tinggal satu hisapan lagi, calon narasumbernya menampakkan diri. Sang calon narasumber datang seorang diri. Ia nyaris tak terkenali karena pakaian yang dikenakannya bergaya tahun 60-an. Sangat kuno. Senyum sumringah yang berpendar dari wajahnya membuat suasana petang itu terasa semakin teduh. Hati sang wartawan menjadi berdebar karenanya.
“Maaf aku terlambat, tadi banyak sekali tamu yang hadir untuk sekedar mengucapkan selamat padaku.”
“Tidak apa-apa Boskuh. Aku maklum,”
“Sudah makan?”Yang ditanya menggeleng.
“Sebaiknya kita sambil makan saja. Tadi sebelum ke sini, aku sempat mampir ke warung pecel lele langgananku. Ini kubawakan lele bakar lengkap dengan lalapan dan sambal terasinya. Kita makan enak malam ini.” Ucap Si Boskuh seraya meletakan dua bungkusan nasi berikut lauk-pauknya.
“Sungguh merupakan suatu kehormatan bagi hamba bisa ditraktir Boskuh malam ini,”Sang wartawan pun tersipu.
“Sudah santai saja. Aku memang begini. Gak usah lebay kamu.”
“Oh iya Boskuh, selamat ulang tahun ya. Semoga Boskuh panjang umur, sehat selalu, dan tetap disayang banyak orang.” Ucapnya seraya mengulurkan tangan kepada calon narasumbernya itu.
“Iya, terimakasih.”
“Boskuh sudah tua juga ya ternyata. Sudah 259 tahun.”
“Ya begitulah. Saya juga menyadari itu. Saya sudah semakin tua."
“Tapi lebih tepatnya semakin dewasa Boskuh. Tua itu, kalau kata anak zaman sekarang, adalah aib,”
“Tidak, aku memang semakin tua. Bukan semakin dewasa. Aku merasa semakin lemah. Semakin tidak sehat dan semakin tidak bijaksana. Apalagi kok sampai adil,”
“Boskuh tidak boleh berkata seperti itu,”
“Kenapa tidak boleh? Apa aku tidak boleh berkata jujur mengakui kelemahan diri sendiri?"
“Ya.... ya, boleh Boskuh." Jawab sang wartawan tergagap. "Tapi saya kan jadi sedih mendengarnya Boskuh. Kalau orang-orang mendengar Boskuh berkata seperti itu, mereka pasti tidak akan terima. Mereka sangat mengistimewakan Boskuh,” jelasnya.
“Iya. Aku juga menyadari itu. Baik itu pendatang, baik itu pribumi, semua mengistimewakanku dengan sangat buta. Tapi kebanyakan, yang mengistimewakanku dengan sangat buta itu ya pendatang.”
“Tapi kan, memang kenyataannya begitu Boskuh. Boskuh sangat istimewa. Beda dengan yang lain.”
“Apa bedanya?”Yang ditanya kebingungan. Gelagapan.
“Boskuh berbudaya, berilmu, berhati nyaman, dan memiliki pesona bagi banyak orang.” Jawabnya kemudian. Ia sadar itu adalah jawaban klise.
“Ya, mungkin itulah keistimewaanku selama ini.”
“Bukan itu saja Boskuh. Boskuh punya keraton, punya raja, punya kampus-kampus terkenal, punya bangunan-bangunan bersejarah, punya tempat-tempat wisata yang super indah.”
“Ada lagi?”
“Masih banyak lagi Boskuh. Boskuh punya pemuda-pemudi kreatif, inovatif, cerdas, punya penyair-penyari tenar, sastrawan, aktor, seniman, dan lain sebagainya yang rata-rata bisa dibilang sukses tentunya. Karena Boskulah mereka bisa seperti itu.”
“Kamu seperti penjilat. Memuji-mujiku seperti itu. Sejujurnya, aku sudah muak dengan pujian semacam itu.”
“Ya memang begitu kenyataannya loh Boskuh.”
“Ya wis, sak karepmu meh ngomong apa. Ayo kita makan.” Serunya kemudian.
Tanpa malu dan sungkan lagi, sang wartawan segera membuka bungkusan nasi, sambal, lele, dan beberapa lalapan. Lalu mereka makan bersama.
“Mbril, asal kamu tahu, sebenarnya itu bukan aku. Itu semua hanya brand, citra, dan sesuatu yang sengaja dilekatkan padaku.” Ucap Si Boskuh.
“Aku bukan siapa-siapa, lanjutnya. Semua itu kan bukan aku yang menciptakan, tapi para pelajar, politikus, seniman, budayawan, sastrawan, akademisi, dan jurnalis-jurnalis macam kamu itu. Kamu tahu? Karena citra itu, kini akulah yang menderita karenanya.” Keluhnya.
“Loh, kenapa Boskuh?’’
“Begini, sebelum aku disebut-sebut sebagai kota pelajar, kota budaya, kota pariwisata, aku sama seperti daerah-daerah lain. Biasa-biasa saja. Tetapi kemudian, lama-kelamaan aku dicitrakan sebagai kota pelajar hingga banyak sekali pemuda-pemudi yang berdatangan ke sini untuk menuntut ilmu. Aku juga dicitrakan sebagai kota pariwisata, hingga kemudian banyak sekali pelancong yang berdatangan ke sini. Baik yang dari luar negeri maupun yang dari luar daerah. Tak hanya itu, aku juga dicitrakan sebagai tempat yang nyaman, aman, ngangeni, dan tenteram. Sehingga kemudian banyak sekali orang-orang yang datang ke sini, baik untuk sementara waktu maupun untuk beberapa waktu lamanya. Bahkan, ada yang merasa saking nyamannya, mereka kemudian banyak yang menetap di sini. Satu konsekuensi logisnya adalah tubuhku semakin padat. Semakin penuh karena populasi terus tumbuh dan bertambah dan semakin tidak seimbang.” Si Boskuh menjelaskan sambil kepedasan.Setelah berhenti sejenak, kemudian Si Boskuh melanjutkan.
“Dari pertumbuhan populasi yang pesat itu Mbril, kemudian semakin terbuka pasar di tubuhku ini. Karena dicitrakan aman dan nyaman, maka para investor tertarik untuk menanamkan modal di sini. Mereka percaya dan merasa terjamin di sini. Lalu mereka mendirikan hotel, kafe, tempat-tempat hiburan, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Semua itu, tentu dalam rangka memenuhi keinginan dan kebutuhan para pelancong dan para pendatang yang ada di sini. Dari sinilah masalah kemudian timbul. Entah itu siapa, para pendatang atau pribumi, merasa tidak nyaman lagi tinggal di sini.”
“Nasibku kini jadi terombang-ambing. Setiap hari aku selalu dihadapkan pada persoalan yang sangat dilematis. Salah satu contohnya, kini di tubuhku ini telah ditanam batu-batu, besi-besi, dan bangunan-bangunan raksasa. Itu semua demi kepentingan pariwisata. Demi kenyamanan para wisatawan. Demi kepentingan kemajuan tempat di mana kita hidup ini. Demi kepentingan kesejahteraan rakyat. Tapi kemudian banyak aktivis berteriak-teriak, menolak pendirian hotel dan mall-mall. Karena menurut mereka, semua itu tidak mencerminkan aku yang dulu. Karena semua itu, masih kata mereka, akan merusak jati diriku. Katanya lagi, aku ini ora didol.
Aku memang ora didol Mbril, tapi banyak yang bersedia menyewaku. Dan sekarang ini, mereka semua sedang menyewa tubuhku.”
“Dan anehnya lagi, di saat yang sama, di media sosialnya masing-masing mereka terus mengagungkanku sebagai destinasi pariwisata yang harus dikunjungi, sementara hotel-hotel dilarang berdiri. Mereka mengagungkanku sebagai kota pelajar, sementara mereka tidak siap dengan segala kemungkinan masalah yang ditimbulkan oleh para pelajar. Padahal kalau mau balik lagi pada persoalan di awal, kemajuan pariwisata Jogja, kemajuan pendidikan di Jogja itulah yang turut membentuk pasar. Baik jasa maupun barang. Ingat Mbril, di pasar semua orang mau dan butuh makan. Butuh uang. Semua orang mau untung. Maka jangan heran kalau semua juga ingin mendirikan hotel, apartemen, kos-kosan, kafe-kafe, dan berbagai ladang usaha lainnya,”Sang wartawan masih menyimak dengan penuh perhatian. Seperti ketika ia sedang mendengar kotbah dari pendeta di gereja.
“Lha nek wis ngunu iku, saiki aku kudu piye jal Mbril?”
“Boskuh kudu minum dulu, biar nggak tersedak.” Jawabnya ringan.
“Baiklah,” jawab Si Boskuh sambil meraih segelas air putih
“Yang tidak disadari dari orang-orang sekarang adalah, bahwa kemajuan suatu daerah itu akan mengundang kerusakan dan ketidakidealan di daerah tersebut. Semakin maju dan ramai, semakin rusaklah tempat itu. Itu sudah jadi hukum alam. Tak ada yang pasti di dunia ini Mbril, selain perubahan dan penuaan. Aku kini telah berubah dan telah menjadi tua,”
“Itu kalau pengelolaannya tidak baik Boskuh. Kalau kemajuan dan keramaian bisa dikelola dengan baik, tentu tidak akan jadi seperti itu.” Sanggah sang wartawan.
“Kurasa kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pengelola Mbril. Meski kita memang tidak bisa memungkiri itu. Karena biar bagaimanapun juga, kemajuan, perubahan, dan pertumbuhan itu bergerak lebih cepat dari kesigapan manusia. Kalian yang hidup di sini, di tubuhku ini, mulai sekarang tidak bisa hanya mengutuk perubahanku, penuaanku, dan ambang kehancuranku. Kalian harus mulai menerimanya, agar kemudian dapat mengantisipasi akibat-akibat terburuk yang mungkin akan kalian derita. Hanya dengan begitulah, setidaknya, kerusakan dan penuaanku bisa diperlambat. Sekali lagi, yang harus kalian ingat adalah bahwa aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu lagi. Aku telah banyak berubah. Aku telah lebih maju, lebih modern, lebih macet, lebih panas, lebih polutif, lebih tua, lebih lemah, lebih tidak adil, lebih tidak bijaksana. Karena itulah konsekuensi dari sebuah “pembangunan” dan sebuah “kemajuan" -yang bisa jadi- merupakan buah dari andil kalian juga."Sang wartawan tersedak. Dengan sigap ia langsung menyambar bungkusan es teh di depannya. Ia teguk sampai habis. Dan sekilas kemudian Si Boskuh telah lenyap dari hadapannya.
“Boskuh memang benar-benar telah berubah.” Batinnya seraya menitikkan air mata.Baca juga kisah lanjutannya : Memahami Perubahan Jogja (Bagian 2)