Lomba Diam Sebelum Pulang - Jurnal Darul Azis

Lomba Diam Sebelum Pulang

Lomba Diam Sebelum Pulang

Anak SD pulang sekolah/ Ilustrasi via wpitv.stmik-wp.ac.id


Di sekolah barangkali salah satu masalah terbesar guru kita adalah mengatasi tingkah polah muridnya yang masya allah ada ada saja. Iya... ada yang lempar-lemparan kapur, ada yang tebak-tebakan, ada yang coret-coretan, ada yang duh... pokoknya macem-macem deh. 

Begitu pula dengan masih kecil saya.  Saya pastikan, sebagian besar dari kalian pasti demikian, hingga tak jarang hal itu membuat guru saya marah dan melayangkan pukulan, baik dengan penggaris, punggung buku, rotan, bambu, atau dengan sebuah jeweran. Kalau sekarang saya jamin tuh pasti gak ada yang namanya guru mukul siswa, karena pada takut dipolisikan.

Keributan-keributan yang kami lakukan tentu saja menuntut guru untuk berlaku lebih kreatif ketimbang siswanya.  Karena toh kalau cuma pukulan dan jeweran tak membuat kami jera.

Mereka pun akhirnya menggunakan otoritasnya untuk menenangkan kami. Salah satunya adalah dengan menggelar lomba diam sebelum pulang. Mungkin mereka tahu, yang paling menyenangkan bagi muridnya bukanlah saat belajar, melainkan saat hendak istirahat dan pulang. Bukan karena muridnya bandel, bukan. Ini lebih karena pada saat-saat seperti itu, para muridnya bisa bebas bermain dengan teman-temannya. Itu saja.

Dulu ketika saya masih SD, lomba diam sebelum pulang ini digelar setiap hari. Di akhir-akhir jam pelajaran menjelang, keributan di kelas selalu saja tak terelakkan, baik ada maupun tidak ada guru.  Seolah ini menjadi rumus baku bagi kami. Dan itulah mungkin urgensi pelaksanaan lomba diam sebelum pulang.

Jadi setelah berdoa dan berucap salam, kami tidak diperbolehkan langsung keluar serentak dari kelas. Keluarnya harus satu-satu. Dan diam adalah tiket keluar yang harus kami punyai. Ya... siapa yang bisa duduk diam dan tenang, dialah yang berhak keluar kelas duluan. Walhasil, kami pun berlomba untuk menjadi sesosok siswa yang diam dan tenang kala itu. Sambil mata kami lirik sana-sini. Bibir terkatup rapat. Tangan di atas meja. Dan dalam hati kami berharap cemas, ingin segera ditunjuk dan bisa segera keluar kelas.

Setelah berhasil keluar, tentu senang bukan kepalang rasanya. Hingga pernah sekali waktu, Beki salah seorang teman saya berteriak kegirangan ketika masih di depan pintu karena saking senangnya bisa keluar duluan. Dan karena euforianya itu, ia pun disuruh masuk lagi oleh guru kami dan membuatnya pulang paling belakangan.


Bagaimana dengan masa kecil kalian? Yuk saling berbagi kisah masa kecil di sini. Atau ada ide tukar cerita?
Please write your comments