Keraton Jogja/Trip Advisor |
Setelah pertemuan petang itu (kalau belum membaca postingan sebelumnya, silakan baca dulu [Memahami Perubahan Jogja yang Tak Lagi Seperti Dulu]), Gambril tak pernah lagi bertemu dengan Boskuh. Hingga pada suatu malam, saat sedang ada libur panjang kenaikan kedua mahkluk pilihan Tuhan, Muhammad dan Isa, keduanya secara tak sengaja bertemu di angkringan batas kota.
“Loh, Boskuh di sini rupanya,” Sapa Gambril.
“Welah, kamu Mbril. Ke mana saja kok ndak pernah kelihatan?”
“Hehe...biasalah Boskuh. Anak muda kayak aku ini kan harus banyak berkegiatan, mumpung energinya masih banyak."
“Sini-sini, duduk." Kata Boskuh seraya menggeser badannya, memberi ruang untuk Gambril.
"Kok aku sudah nggak pernah baca beritamu di koran, kamu sudah nggak magang jadi wartawan lagi?”
“Sudah nggak Boskuh.”
“Kenapa?”
“Waduh, gimana ya?” Gambril bingung memilih jawaban yang tepat.
“Jawab saja, nggak usah ragu atau takut. Kayak sama siapa saja. Oh ya, kamu mau wedhang jahe nggak? Kalau mau sana mesen. Tak traktir.”
“Wih...Boskuh memang baik hati lagi berbudi.” Puji Gambril sambil kemudian memesan segelas wedhang jahe kepada pemilik angkringan.
“Jadi gimana pertanyaanku tadi,” desak Boskuh kepada sosok pemuda di hadapannya tanpa memperdulikan pujian Gambril.
Karena merasa didesak, akhirnya Gambril pun angkat bicara. Ia telah mengundurkan diri sejak lima bulan yang lalu, dua bulan setelah pertemuannya dengan Boskuh petang itu. Alasannya, lama-lama ia merasa tidak cocok dengan ideologi yang diusung perusahaan pers tempatnya magang. Walaupun sebenarnya, saat itu ia nyaris diangkat sebagai wartawan koran tersebut dengan gaji yang lumayan. Tapi bagi Gambril, menjadi wartawan bukan hanya soal gaji, melainkan lebih dari itu, menyangkut soal hati nurani.
“Ya itu wajarlah Mbril. Setiap media massa kan punya ideologi dan kecenderungannya masing-masing. Dan wartawan, sebagai bagian dari media massa tersebut, mau tidak mau ya harus mengikuti apa kata Bapak.”
“Maka dari itu Boskuh, aku lebih baik mundur saja. Untuk melawan arus tentu sangatlah berat, aku tak yakin bakalan mampu. Sementara jika ingin mengikuti arus, maka sama saja dengan membunuh hati nurani sendiri.”
“Lalu, sekarang apa kegiatanmu?”
“Jadi penulis lepas Boskuh.”
“Baguslah. Orang-orang sepertimu memang tidak selayaknya menggantungkan diri pada orang lain.”Wedhang jahe pesanan Gambril sudah jadi. Pak Trimo si pemiliki angkringan itu pun siap menimbrung obrolan mereka berdua yang sama-sama pelanggan lawasnya itu.
“Kalau ada kalian berdua begini, mau sampai pagi pun, saya layani.” Kata Pak Trimo menyela obrolan Gambril dan Boskuh dengan pemilihan kalimatnya yang kurang nyambung dari obrolan sebelumnya. Selesai dengan kalimatnya, ia terkekeh ringan.
“Loh.. bukannya dari dulu njenengan memang sampai pagi to Pak?”
“Sudah sebulan ini saya tidak berani kalau mau sampai pagi Mas.”
“Lha kenapa?”
“Wah..sepertinya Mas Gambril terlalu sibuk dengan kegiatan barunya, sampai tidak sempat melihat dan mendengar perkembangan tempat tinggalnya sendiri,”Si Boskuh bergeming, seolah memang tak ingin berbicara.
“Tempat tinggal kita sekarang ini terasa tidak aman lagi. Yang pembunuhanlah, penyayatanlah, penembakanlah, tawuranlah, ada aja kasusnya. Makanya itu saya jadi nggak berani dagang sampai larut malam.”
“Oh...kalau soal itu saya dengar Pak. Cuma memang nggak terlalu merisaukan sampai sebegitunya, kayak Pak Trimo. Karena kan sudah ada yang nangani, polisi.”
“Ya iya sih jane Mas. Tapi walaupun begitu, saya tetap was-was je. Atiku nggak tenang. Lha kalau bekerja tapi hati nggak tenang kan nanti malah nggak baik hasilnya.”Gambril mengangguk, membenarkan ucapan Pak Trimo. Dan mencoba memahaminya.
“Aku benar-benar merasa tua dan lemah sekarang. Kewibawaanku, sepertinya juga sudah mulai terkikis habis.” Boskuh angkat bicara.Mendengar Boskuh berkata seperti itu, Pak Trimo seketika merasa menyesal dengan apa yang telah diucapkannya. Begitu juga dengan Gambril, ia merasa pembicaraan malam itu akan jadi seenggaknya.. tidak menyenangkan.
“Ah...lagi-lagi, Boskuh selalu saja begitu. Merasa paling bersalah setiap kali ada masalah di masyarakat,’’ ujar Gambril.
“Iya Boskuh. Saya rasa ini bukan salah boskuh. Tapi salah para pelakunya itu.” Susul Pak Trimo.
“Begini, kalau di rumahmu, ada tamu atau bahkan anggota keluargamu yang bertindak semaunya sendiri, itu namanya apa?”
“Ngelunjak.” Jawab Gambril dan Pak Trimo serempak. Membuat mereka kemudian saling pandang, kok bisa mereka bisa sepemikiran seperti itu?
“Lha ya itu maksudku. Penyebabnya bisa jadi karena dua hal, pertama bisa karena memang orang tersebut tidak paham tata krama, adab, sopan santun, atau apalah namanya yang sepadan dengan itu. Kedua, karena di rumah tersebut sudah tidak ada lagi yang perlu disegani atau dihormati.” Boskuh berhenti sejenak, menghela napas. Lalu meraih wedhang jahe kemudian menyeruputnya.Sementara Gambril dan Pak Trimo masih berusaha menyimak dengan takzim.
“Nah, dua hal itulah yang belakangan ini membuat aku benar-benar takut. Apa iya, hal-hal baik itu sudah benar-benar dilupakan? Atau apa iya, kalau aku ini sudah tak berwibawa karena sudah sepuh dan kurang berdaya?”
“Aku yakin, bukan dua hal itu penyebabnya Boskuh. Itu terlalu jauh dan mengada-ngada. Berlebihan juga.”
“Aku sepakat dengan Mas Gambril.”
“Aku berani bilang begini karena punya dasar." Gambril melanjutkan dengan penuh nada bicara yang mantap. "Berdasarkan keterangan polisi, motif perbuatan mereka itu didasari oleh masalah pribadi pelaku yang bahkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan korban. Kekalutan perekonomian keluarga dan kekacauan pikiranlah hingga ketidaksadaran dirilah yang membuat mereka bisa bertindak senekat itu.”
“Betul!” Seru Pak TrimoBoskuh tetap bergeming. Tapi dapat dipastikan ia tetap menyimak apa yang dikatakan Gambril.
“Boskuh tidak seharusnya mempersalahkan diri sendiri seperti itu. Takutnya nanti malah jadi beban pikiran yang membuat kondisi kesehatan Boskuh tergang...”Belum selesai Gambril berbicara, suara batuk yang sangat berat lebih dulu menyela. Suara itu berasal dari orang yang diajaknya bicara, Boskuh. Membuat Gambril tak kuasa melanjutkan perkataannya.
“Sudah dulu ya Mbril, Pak Trimo. Maaf sepertinya aku musti pulang duluan ini. Badanku tiba-tiba nggak enak rasanya.”
“Boskuh tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa, sepertinya cuma kurang istirahat saja.”
“Ya sudah, aku antar ya Boskuh.”
“Tidak usah, aku masih bisa pulang sendiri. Oh iya, ini pak buat bayar wedhang jaheku sama Gambril. Sampai ketemu besok lagi ya Mbril, Pak Trimo.” Pungkas Boskuh seraya berlalu meninggalkan angkringan.Baik Pak Trimo maupun Gambril, malam itu benar-benar menyayangkan pertemuan singkatnya dengan Boskuh. Padahal sudah lama sekali mereka tidak saling bertemu. Namun apa mau dikata, Boskuh sedang tidak enak badan. Maka malam itu, seiring malam yang semakin larut, Pak Trimo mulai bersiap-siap untuk pulang. Gambril turut membantunya sekaligus menemani penjual angkringan yang dulu sering jadi tempatnya ngutang itu. Ketika ia masih menjadi mahasiswa dan krisis uang, Pak Trimo lah yang kerap ia jadikan tumpuan harapan.
“Mbril, ada satu hal yang kamu harus tahu tentang Boskuh.” Ujar Pak Trimo di sela-sela aktivitasnya membereskan terpal yang menjadi atap gerobak angkringannya.
“Apa pak?”
“Boskuh itu hebat sebenarnya. Linuwih. Menurut titenan-ku, beliau selalu punya cara khusus untuk mengatasi masalah-masalah yang menimpa dirinya. Jadi sebenarnya kita tak perlu terlalu khawatir atas apa yang terjadi belakangan ini.”
“Loh, bukannya njenengan sendiri yang terlalu khawatir dan berlebihan?” Gambril menimpali dengan nada meledek. Dan Pak Trimo pun kemudian terkekah lepas.
“Tapi ngomong-ngomong, apa contohnya Pak?”
“Kamu cari saja sendiri. Yang jelas kamu harus percaya, tak akan ada orang yang kuat menampung banyak racun di dalam tubuhnya. Suatu saat, pasti akan dimuntahkan. Titenana!”
Gambril tak memberikan jawaban apa-apa selain tetap melanjutkan beres-beres sebagaimana yang juga sedang dilakukan Pak Trimo. Setelah selesai, mereka pun berpisah untuk kembali ke kediaman masing-masing. Malam kian larut. Sepi.
Tapi kota itu, sebagaimana malam-malam sebelumnya, tak pernah tidur.