Tiga belas tahun sudah ia membelah jalanan kota dengan roda tempurnya. Sebuah becak tua yang juga menjadi sumber penghasilannya.
Kakek Aboe/Foto via Youtube.com |
Usianya sudah berada di angka 77 tahun, namun ia mengaku selalu merasa seperti ketika berusia 45 tahun. Tenaganya masih begitu kuat. Semangatlah yang membuatnya bertahan dalam kayuhan demi kayuhan.
Ia tinggal di kota Malang Jawa Timur. Kota yang makin hari makin berkembang dan menawan. Tahun 2015 silam, Malang Raya mampu menarik hingga 2,5 juta wisatawan. Namun di sisi lain, kerumitan khas perkotaan masih terjadi di Malang. Jaringan kemanusiaan Jawa Timur mencatat sekitar 500 anak jalanan di Malang tidak bersekolah. Bagi mereka, jalanan adalah satu-satunya pilihan karena telah kehilangan kasih sayang.
Mbah Aboe adalah bagian dari mereka. Siapa sangka di antara rumah gedongan ada kehidupan orang-orang pinggiran yang termarginalkan. Di sanalah tinggal orang-orang dengan berbagai profesi jalanan, dari pengamen hingga pemulung sampah atau rongsokan. Tetapi mereka pantang menjadi penghuni liar. Mereka menyewa lahan dari seorang juragan seharga 240 ribu per bulan.
“Yang jelas 'kan mereka itu anak-anak ‘miskin’. Miskin dalam bidang pengajaran. Kalau dalam keuangan sebenarnya mereka berkecukupan. Jajan bisa. Tapi untuk pengendalian hidupnya yang tidak bisa. Orang memulung itu hari mendapat uang banyak hari ini, hari ini pun habis dan tidak bisa digunakan untuk masa depan.” jelas mbah Aboe.
Masa depan anak-anak mereka memang mengusik hati dan pikiran. Karena itulah sejak dua tahun lalu, mbah Aboe membuka pintu rumahnya bagi anak-anak di sekitar termpat tinggalnya. Tak ada harta yang ia bisa bagikan, ia hanya membantu anak-anak tersebut memahami tugas-tugas sekolah. Itu dilakukannya pada malam hari selepas bekerja.
Kakek Aboe saat mengajar di rumahnya/ Foto via Youtube.com |
Mbah Aboe memilih waktu malam hari karena pada pagi hingga sore, anak-anak harus bersekolah dan membantu orangtuanya. Rata-rata ada sekitar 40 anak datang ke rumahnya setiap malam. Ia pun sering merasa kewalahan.
Mbah Aboe tak pernah menduga, ternyata semangat belajar anak-anak begitu tinggi. Dari usia kanak-kanak hingga usia SMP dan itu membuatnya semakin senang karena bisa mengusir kejenuhan.
“Jadi semakin banyak datang anak, saya semakin senang. Karena jadi ndak jenuh. Habis menghadapi si A, lalu menghadapi si B. Lebih lucu lagi, lebih lucu lagi. Kalau anak-anak perempuan memang saya larang untuk ikut belajar malam di sini. Selain karena jauh, di sini lingkungannya juga beda.” ungkapnya.
Tetapi semakin dilarang, anak-anak perempuan tetap saja datang. Semangat dan keberaniannya tak kalah dengan anak laki-laki. Untuk menyiasati hal tersebut, mbah Aboe pun kemudian membatas pelajaran hanya sampai pukul 8 malam dan ditutup dengan unjuk kebolehan. Hitung-hitung untuk melatih keberanian.
Menyisihkan Separuh Pendapatannya Untuk Membeli Buku
Mbah Aboe sadar, ilmunya memang tak banyak. Tapi ia ingin anak-anak didiknya bisa meraih cita-cita, melebihi dari apa yang ia punya sekarang.
Setiap hari mbah Aboe mangkal di kawasan pasar burung Splendid Malang. Pukul 9 pagi biasanya ia sudah berada di sana. Namun semakin hari, ia mengaku, penumpang semakin sepi, karena langganan becaknya banyak yang beralih pada kendaraan pribadi. Dulu ia bisa mengantongi 100-200 ribu rupiah per hari, namun sekarang tidak.
“Harus sabar menunggu, sampai jam 1 atau jam 2. Nah, waktu untuk menunggu itulah kemudian saya gunakan untuk membaca.” paparnya.
Bagi mbah Aboe, tak ada kata jenuh dalam kamus hidupnya. Selama ada koran dan teman-teman yang menghiburnya.
Mbah Aboe tak mengenyam bangku sekolah tinggi. Hanya dari membaca, ia sedikit demi sedikit menimba ilmu pengetahuan. Ia meyakini sebuah pepatah lama, bahwa membaca bisa membuka cakrawala dunia. Hobi itulah yang ingin ia tularkan kepada anak-anak didiknya.
Penghasilan sehari-hari, biasanya ia bagi dua. Sebagian untuk keluarga, sebagian lagi untuk membeli buku. Tak bisa baru, bekas pun jadi.
“Kalau baru ‘kan mahal.’’ selorohnya.
Di rumah mbah Aboe sudah ada 300 buku. Tapi hasrat baca anak-anak semakin tinggi. Dan mbah Aboe tak ingin semangat membaca itu pergi.
“Kasihan. Saya kan maunya mereka jadi cerdas.”
Masa Kecil yang Kurang Kasih Sayang Seorang Ibu
Sejak kecil mbah Aboe dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, di Bone Sulawesi Selatan. Tahun 1952 ia merantau ke Jawa Tengah demi mencari sang ibu. Saat itu usianya baru menginjak angka 12 tahun. Sepuluh tahun merantau, barulah ia bertemu ibunya. Tak lama kemudian, sang ibu pergi dan ia kembali berjuang pergi. Mbah Aboe sempat terombang-ambing, terbawa arus deras kehidupan kota.
Ia mengaku, sebenarnya sudah putus asa dan tidak ingin punya keluarga. Pun demikian untuk pulang ke kampung halamannya, ia merasa malu.
"Untuk apa saya pulang, saya tidak menjadi orang sukses. Saya malu kalau pulang.” keluhnya.
Namun lima tahun lalu, mbah Aboe bertemu sosok wanita penyabar yang merawatnya saat sakit di jalanan. Wanita itu adalah Kasiati yang kini bersetia hati menemaninya.
Kehidupan mbah Aboe semakin semarak dengan kehadiran Yudi, anak angkatnya. Yudi sudah ia rawat sejak usia 4 bulan, karena orangtuanya tak sanggup membesarkan. Pengalaman buruk pernah terjadi, Yudi pernah dibawa kabur oleh pengasuhnya hingga 3 tahun tidak kembali. Kini Wahyudi sudah berusia 8 tahun dan bercita-cita menjadi tentara agar bisa membela negara.
Berbuah Manis
Kegigihan mbah Aboe dalam mendampingi anak-anak didiknya ternyata berbuah manis. Afif contohnya, ia kini menjadi anak yang rajin dan cepat menangkap pelajaran. Dulu ia tak pernah mendapatkan nilai 8, tapi sekarang 8 adalah nilai terendahnya di sekolah. Sang ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sementara ayahnya menjadi pemulung di luar kota. Ia tinggal bersama neneknya yang sakit-sakitan. Afif ingin bisa membaca Alqur’an dengan lancar, sukses, dan membanggakan orangtuanya.
Dalam menjalankan tugas mulianya itu, kini mbah Aboe tidak sendiri. Pada awal tahun 2016 lalu, ada komunitas pemuda yang membantunya. Mereka menamakan diri Dulur Never End (DNE), meski hanya mengajar setiap hari minggu. Mereka datang dari berbagai latar belakang profesi dan pendidikan, mereka mengajar sesuai keahlian. Rumah bambu sederhana untuk kegiatan belajar pun mereka yang menyewa. Awalnya mereka hanya bakti sosial, namun ketika mendapati kenyataan bahwa anak-anak sangat antusias, mereka pun akhirnya konsisten datang setiap Minggu.
Mbah Aboe mengatakan, sebelum mereka (DNE), sebetulnya juga ada banyak komunitas pemuda datang silih berganti. Namun tidak pernah bertahan lama. Sekali, dua kali, setelah itu pergi.
“Setiap anak-anak yang membantu saya itu biasanya cuma dua sampai tiga minggu. Setelah urusan dengan fakultas, universitas, BEM atau PKL-nya selesai, mereka tidak pamit (pulang dan tidak kembali lagi, ed).“ kisahnya.
Senyum ceria Kakek Aboe/Foto via Youtube.com |
Mbah Aboe senang semakin hari anak-anak semakin percaya diri. Tak ada istilah rendah diri. Mbah Aboe punya moto, “mengajar itu mudah, asal mau terjun langsung dan semangat.”
Ia juga berpesan, kita memang tidak bisa memilih dari rahim siapa kita dilahirkan, tapi kita bisa berusaha menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kita.
Catatan : Tulisan di atas adalah transkripsi narasi video berjudul "Kisah Tukang Becak Pengantar Cita-cita Anak Bangsa" Program "Lentera Indonesia" Net TV, dengan gubahan seperlunya. Cerita disampaikan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga.