Yang Membeli Cilok di Muka Masjid - Jurnal Darul Azis

Yang Membeli Cilok di Muka Masjid

Yang Membeli Cilok di Muka Masjid

Cilok Enak

Ia keluar dari masjid dengan wajah berseri. Barangkali kalau ada orang yang sedang bersedih dan kemudian melihat wajahnya, maka orang tersebut akan langsung gembira hatinya. Ceria pula wajahnya. Sebab seperti halnya kesedihan, kebahagiaan dan keceriaan juga bisa menular dengan cepat.

Tokoh kita sudah plong setelah proses pertaubatan tadi. Dengan langkah ringan, ia segera pulang. Baru beberapa langkah berjalan, ia berpapasan dengan seorang pedagang cilok. Sepertinya pedagang itu juga hendak salat Zuhur. 

Secara spontan tangannya merogoh kantong. 

"Hei! Ada uang." Ia bergumam dalam hati. 

Lalu ingatannya kembali pada momen Jumatan pekan lalu. Uang itu sedianya akan ia infaq-kan, tapi karena saat kotak infaq berjalan menghampirinya ia sedang tidur, uang itu urung masuk ke kotak infaq. Selepas salat Jumat, uang yang akan diinfa-kan itu sudah hilang dari ingatannya. Sehingga hari itu tidak berinfaq sana sekali. Niat tinggal niat, yang hari ini menjelma menjadi cilok yang nikmat.

"Mang, beli Cilok." Tanpa kontrol yang baik, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Membuat si pedagang yang sudah terlihat akan menuju tempat wudhu segera kembali ke gerobaknya. 

"Berapa Mas?" 

"Sepuluh ribu." Sekali lagi kata-kata begitu cepat keluar dari mulutnya. Lalu pikirannya menginterupsi, seharusnya beli lima ribu saja. Yang lima ribu bisa dimasukkan ke kotak infaq yang bertengger menetap di sisi pintu masjid itu.

Tapi rupanya ada pikiran lain yang menyela. 

"Membeli cilok ke penjual ini juga sama saja. Sudah seperti infaq." 

"Ya beda. Beli-beli, infaq-infaq. Dia bukan pengemis. Dia pedagang."

"Ya tapi kan ini ngelarisin. Kalau ciloknya habis, dia senang. Dapat banyak uang. Anak istrinya di rumah juga senang. Mungkin bahkan mereka akan merayakan dengan makan nasi rendang di rumah makan padang."

"Halah, itu kan cuma dalihmu aja. Karena mau nurutin kehendak perut. Iya, kan?"

"Astagfirullah. Kamu terlalu gemar berburuk sangka."

"Lihat saja nanti. Allah akan tunjukkan kebenarannya padamu."

Pertengkaran antarpikiran itu membuat ia kehilangan fokus. Sampai si penjual cilok harus menempelkan bungkusan cilok ke tangannya. Rasa hangat-hangat kuku di kulit tangan membawanya kembali pada kesadaran penuh.

"Mas, sudah."

"Oh iya Mang. Ini uangnya. Makasih ya Mang." 

Si penjuak cilok tersenyum, "Sama-sama Mas." 

Tokoh kita kini benar-benar pulang. Tapi karena debat pikiran yang kontraproduktif tadi, ia jadi kehilangan nafsu makan.

Ia, sambil meniti langkah menuju rumah, kembali teringat pada pekerjaan yang akan segera digarapnya. Tulisan tentang bagaimana membuat paragraf pembuka, panduan khusus bagi penulis pemula.


(Jogja, 2018)

*Tulisan ini merupakan lanjutan (bag.3)  dari cerita berjudul "Yang Hadir di Tengah Salat"
Please write your comments