Di antara remang lampu, wajah kita bertemu, kata-kata berjumpa, kemudian cahaya berpendar mengiringi setiap kalimat yang keluar dari bibir kita yang gemetar oleh rasa lapar.
Di atas sepasang kursi kayu panjang yang membentang di depan gerobak ini, setiap diri kita adalah saksi bahwa aroma teh melati yang kental dan panas telah menjadi penghangat perbincangan tentang harga hidup yang terus melonjak tinggi dan harga diri yang terus diinjak-injak oleh mereka yang punya banyak kaki.
Lewat merah nyala bara di lubang tungku, kauceritakan padaku tentang kemarahanmu pada orang-orang di kota ini yang kian enggan beramah-tamah tersebab telah terbakar syak wasangka.
Ah, kau sepertinya lupa, kita sekarang memang hidup di zaman yang semakin menipiskan rasa saling percaya. Masing-masing terbutakan oleh ilmu pengetahuan yang dangkal dan doktrin agama yang sempit, serta ancaman kehidupan yang kian mengimpit.
Ah, kau sepertinya lupa, kita sekarang memang hidup di zaman yang semakin menipiskan rasa saling percaya. Masing-masing terbutakan oleh ilmu pengetahuan yang dangkal dan doktrin agama yang sempit, serta ancaman kehidupan yang kian mengimpit.
Lewat bungkusan nasi kucing, aku berkisah padamu perihal kesederhanaan yang semakin mahal.
Lalu kau gantian mengingatkanku bahwa kita saat ini memang tengah hidup di zaman yang lebih memuja kemewahan sebagai simbol keberadaan.
Lalu kau gantian mengingatkanku bahwa kita saat ini memang tengah hidup di zaman yang lebih memuja kemewahan sebagai simbol keberadaan.
Di angkringan ini kita bertemu, untuk sama-sama menyantap menu utama yang terhidang di meja gerobak; perbincangan tentang diri kita yang lucu dan sengsara.
(Darul Azis, 2017)
Sumber gambar: travelingyuk
Sumber gambar: travelingyuk