Pelajaran Pertama di Hari Pertama di Beijing - Jurnal Darul Azis

Pelajaran Pertama di Hari Pertama di Beijing

Pelajaran Pertama di Hari Pertama di Beijing

Kami tiba di Bandara Peking Beijing sekira pukul 06 pagi setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 7 jam dari Jakarta. Setibanya di bandara, kami langsung menuju toilet untuk menunaikan hajat, bersih-bersih, dan berganti baju. Namun sebagaimana telah menjadi pembicaraan sebelumnya, ternyata memang persoalan toilet di negara ini cukup pelik bagi orang yang terbiasa menyiram kotoran dengan air. Kejadian perdana pagi itu, menjadi momen yang sangat “berkesan” dan terus menjadi bahan pembicaraan selama kami berada di Beijing.

Selanjutnya, kami menuju imigrasi untuk proses pemeriksaan. Teknologi dan pengamanan di imigrasi cukup ketat. Kami harus memindai visa kami dengan alat khusus, melakukan sidik jari secara mandiri, untuk kemudian mendapatkan nomor khusus yang akan diberikan saat proses pemeriksaan oleh petugas imigrasi. Setelah proses pemeriksaan imigrasi purna, kami pun bisa menghirup udara Beijing di ruang terbuka dan merasakan suhu kota tersebut untuk pertama kalinya yang saat itu mencapai 5 derajat celcius. Cukup dingin, tapi untungnya sinar matahari saat itu cukup terik. Jadi ini semacam cuaca yang ambigu.

Kami pagi itu juga bertemu dengan dua orang penunjuk perjalanan (tour guide) bernama Yu Li dan A Li. Mereka berdua adalah orang yang menemani kami selama di Beijing, mengajak ke mana-mana, dan tentu saja memberitahu banyak hal tentang Beijing dan Republik Rakyat Tiongkok. Rombongan dibagi menjadi dua kelompok; bus 1 dan bus 2. Saya termasuk ke dalam rombongan bus 1 dan dipandu oleh Yu Li. 

Setelah berfoto-foto sejenak dan meluapkan euforia menginjakkan kaki di negerinya Mao Zedong, kami kemudian masuk bus dan memulai perjalanan menuju Chinese Herbal (Foot Massage). Kunjungan ini merupakan kunjungan wajib bagi setiap wisatawan yang datang ke Beijing. Acara pagi itu tidak sesuai dengan rencana karena seharusnya kami ke Tiananment Square terlebih dahulu. Namun pilihan itu masuk akal, karena secara fisik kami membutuhkan pijit kaki atau sekadar beristirahat barang sejenak. 

Kami tiba di Chinese Herbal Foot Massage sekira pukul 09 pagi dan langsung digiring di sebuah ruangan pemijitan. Sebelum pemijitan dilakukan, kami dipersilakan untuk merendam kaki di air hangat bercampur teh sembari mendengarkan penyambutan dari seseorang juru bicara laki-laki yang lancar berbahasa Indonesia. Dikatakannya, bahwa pekerja yang akan memberikan pijitan kepada kami ialah orang-orang desa setempat dan kami disarankan agar memberi tips sekurang-kurangnya 20 Yuan atau setara dengan Rp.21.000,-.

Setelah pengantar selesai, para pemijit masuk dan mulai memijit kaki kami. Di luar dugaan saya, mereka rata-rata masih muda (berusia 20-an tahun). Sayangnya, para pemijit itu kurang cakap dalam berbahasa Inggris sehingga saya dan juga peserta lain tidak dapat berkomunikasi secara optimal. Kami berkomunikasi dengan bahasa paling purba; isyarat dan rasa. Sepuluh menit berselang, pijit selesai. Lalu kami didatangi oleh seorang Shinse diikuti seorang penerjemah yang lancar berbahasa Inggris. Sinshe tersebut dapat melihat kondisi kesehatan seseorang hanya melalui telapak tangan. 

Saya diperiksa oleh Sinshe tersebut dan ia memastikan beberapa keluhan yang sering saya alami, seperti “Apakah saya sering merasa lelah?”; “Apakah saya sering merasa sakit punggung?”; “Apakah saya kurang teratur dalam hal makan dan tidur?”. Apa yang ditanyakannya saya jawab “Ya” karena memang demikianlah adanya. Kemudian dikatakannya bahwa saya rentan terserang penyakit gagal ginjal. Usia 25-27 menurutnya merupakan usia paling rentan bagi seorang pria mengalami gagal ginjal. 

Saya kemudian ditawarkan untuk melakukan pengobatan dengan tarif sebesar 600 Yuan. Tentu saja saya keberatan, karena kedatangan saya ke Beijing tidak dengan membawa uang sebanyak itu. Akhirnya saya hanya diberi nasihat agar lebih banyak mengonsumsi makanan yang bergizi dan minum air putih. Sinshe tersebut lupa memberi nasihat saya agar lebih giat bekerja sehingga punya uang untuk membeli makanan yang bergizi. 

(Pelajaran pertama yang saya dapatkan: mintalah bantuan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang memaksa agar para wisatawan berkunjung ke tempatmu, lalu paksa secara halus (dengan menunjukkan kelemahan) para wisawatan itu agar kemudian mereka membelanjakan uangnya di tempatmu, sebanyak-banyaknya.)

Beijing, 31 Oktober 2018
Please write your comments