Mengislamkan Gadis Muhammadiyah
Malam itu suasana kafe di bilangan Jalan Kaliurang, tempat cerita ini mencuat, sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa-mahasiswi yang tampak masyuk di depan laptop. Sepertinya sedang melembur tugas untuk dipresentasikan pada pagi harinya.
Di dalam kafe itu, terdapat dua pemuda NU, sebut saja namanya Darul dan Ulul. Mereka adalah teman karib yang memiliki banyak kesamaan. Sama-sama dari Jawa Timur, Darul dari Blitar sementara Ulul berasal dari Jombang. Keduanya juga mempunyai ikatan khusus dengan tanah Madura. Dan tentu, mereka juga sama-sama bergelut dalam organisasi kepemudaan yang berada di bawah naungan NU sejak masih SMA. Hanya ada satu perbedaan yang mencolok di antara keduanya, Ulul sudah menikah dan punya anak sedangkan Darul belum menikah meski sudah punya nama untuk calon anaknya.
“Cak, aku arep ngomong serius kambek sampeyan.” Darul tiba-tiba mengutarakan sesuatu hal yang mengejutkan. Raut mukanya menegang. Sorot matanya menajam.
“Ngomong opo? Kok medeni koen iku.” Ulul menimpali. Ia berusaha untuk tetap tenang.
“Aku tenanan Cak!”
“Yo wis, ngomong a. Tak rungokno,” kata Ulul lagi, setelah meniupkan asap rokok ke udara.
“Ngene Cak,” kata Darul sambil membenahi cara duduknya, berusaha lebih dekat dengan lawan bicara, “aku tahun ngarep wis kudu rabi. Umurku wis bidah ngelebihi masa nikahe kanjeng nabi Cak.”
“Lha koen iku wis nduwe modal a?”
“Yo uwis Cak. Tapi urong akeh. Nyambi nabung sik.” Darul menjawab dengan agak ragu.
“Lha terus apa masalahe?”
“Aku,” keraguan muncul lagi di benak Darul. Beberapa saat ia terdiam, lalu berkata.”Urong nduwe calon, Cak.”
Ulul tertawa keras. Tawa yang membuat kepercayaan diri Darul sedikit menurun.
“Lha kanca-kancamu kuliah, kanca organisasi, kanca-kanca sekolah ora onok sing gelem mbok jak rabi a?”
“Aku urong nemu sing cocok Cak.”
“Blas?”
“Blas Cak.”
“Wah, edan koen iku. Calon urong nduwe kok pengen rabi.”
Darul terskakmat. Suasana mendadak hening. Hanya ada desis tiupan asap rokok dari Ulul.
“Hmmm..nganu Cak,” Darul berkata lagi. Masih dengan keraguan. “aku sak jane lagi cerak karo cah wedok..”
“Lha kuwi nduwe. De’ne gelem ta gak mbok jak rabi?”
“Gelem Cak,”
“Wis mbok takoni tenan?”
“Uwis Cak.”
“Yakin?”
“Tenan Cak. Sumpah.”
“Lha terus opo masalahe?”
“De’ne cah Muhammadiyah Cak.”
“Lah? Ngunu wae kok mumet koen iku. Nek dekne gelem yo dirabi wae.”
“Orak opo-opo Cak?”
“Yo rak popo. Lha ngopo?”
“Tapi kan..”
“Cah Muhammadiyah?”
Darul mengangguk, sorot matanya seakan meminta penegasan dari lawan bicaranya.
“Gampang, mengko kan isok diislamno!” jawab Ulul enteng.
Mendengar itu, seketika perasaan Darul menjadi lega. Selega-leganya.