Akumulasi; Sebuah Renungan Dari Lawatan Intelektual Saya ke Beijing
Bagi orang lain, terlebih mereka yang terlahir sebagai manusia kota dan punya akses ekonomi, pendidikan, dan informasi yang cukup, mungkin ini bukan sesuatu hal yang menakjubkan. Pun demikian bagi teman-teman fesbuk saya ini yang di antara mereka ada yang berprofesi sebagai pejalan (traveler), wartawan, dan pejabat negara.
Namun bagi saya, anak kesepuluh dari seorang petani biasa yang hidup dengan penuh keterbatasan di pelosok kampung; manusia biasa-biasa saja ini; ini merupakan momen yang sangat mengharukan. Akhirnya ada juga anak Talang Kangkung yang memperoleh kesempatan menginjakkan kaki di negeri panda ini.
Padahal, selama ini saya tak pernah berani membayangkan untuk dapat mengarungi negeri China meski sejak kelas 4 SD saya sudah mengetahui negeri ini lewat Tembok Besar China-nya. Dulu, negeri China bagi saya terlalu jauh. Saya tidak pernah peduli dengan sebuah pepatah "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China" karena bagi saya itu hanyalah omong kosong. Jangankan ke China, ke ibukota saja, bagi saya tidaklah mungkin, saat itu.
Sampai akhirnya, pada tahun 2011, setahun sejak kelulusan saya dari bangku SMK , saya nekat merantau ke Jogja, berbekal keyakinan setengah penuh dan sedikit uang. Di negeri Sultan Hamengkubuwono inilah, titik demi titik perlahan saya temukan.
Singkat cerita, dari Jogja inilah kemudian langkah kaki terhantar ke negeri yang tak pernah berani saya bayangkan sebelumnya, Republik Rakyat Tiongkok.
______________
Perjalanan saya untuk menimba ilmu berbatas waktu ke negeri ini disertai oleh doa restu ibu, ayah, saudara kandung dan ipar, pak lik, bu lik, sepupu, dan para tetangga dan dibiayai oleh APBN. Uang rakyat. Uang Anda semua. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Anda semua. Salam hormat saya untuk Anda dan keluarga.
Tak lupa, saya laporkan pula bahwa di Beijing ini, saya telah melihat kemajuan negara China itu seperti apa.
Kota ini terlihat gagah, indah, teratur, dan hidup. Membikin takjub. Mungkin karena saking ndesonya saya. Mungkin juga karena memang demikian adanya.
Namun saya juga perlu mengatakan bahwa apa yang telah saya lihat itu adalah sebuah hasil dari kerja-kerja pemerintahan Negara Republik Rakyat Tiongkok selama bertahun-tahun lamanya; juga merupakan warisan dari kerja keras penuh peluh -dan bahkan darah- para leluhurnya.
Beijing dan China sekarang adalah akumulasi dari hasil kerja-kerja pembangunan yang senantiasa berlanjut hingga sekarang. Kerja-kerja pembangunan itu akan terus berlanjut sampai nanti, sampai mereka menjadi negara nomor 1 dan memimpin dunia menggantikan Amerika.
Negara ini adalah negara tempat para pekerja keras berada. Bangsa China umumnya memiliki semangat kerja keras yang tinggi. Sosialisme yang diberlakukan di negara ini juga berupaya untuk membangun dan memelihara sikap mental bekerja keras warga negaranya. Mereka percaya, kerja keras merupakan kunci untuk menghadapi era baru seperti sekarang ini. Selain itu, kerja keras juga dapat mengangkat martabat seseorang menjadi lebih tinggi.
“Bekerja keras membuat seseorang menjadi terhormat, mulia, hebat, dan mendatangkan banyak kebaikan.” demikian presiden Republik Rakyat Tiongkok saat ini, Xi Jinping, selalu berkata.
Orang-orang China telah sadar sejak zaman baheula bahwa mereka tidak bisa duduk diam dan menikmati hasil pekerjaan orang lain. Mereka sangat yakin dengan usahanya masing-masing. Itulah salah satu hal penting yang saya dapatkan di sini.
Semangat tersebut bisa kita tiru. Demi masa depan diri sendiri, keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan negara ini.
________
Darul Azis
NB
1. Syal batik foto sebelah kiri: Giriloyo Batik, Bantul
2. Syal batik foto sebelah kanan: Adiningrat Batik
3. Baju: Giriloyo Batik
4. Penjahit baju dan celana: Muba Tailor, Kasihan Bantul
5. Pemotong rambut: Pangkas Rambut Madura, perempatan Bugisan
6. Pomade: Bellagio
Beijing-Indonesia, November 2018