Mengapa Marah Dengan Pertanyaan Kapan Nikah? - Jurnal Darul Azis

Mengapa Marah Dengan Pertanyaan Kapan Nikah?

Mengapa Marah Dengan Pertanyaan Kapan Nikah?

Saya perhatikan, orang Indonesia sekarang semakin gampang tersulut amarahnya, oleh hal-hal yang sebetulnya sepele dan tidak perlu dipermasalahkan. Orang Indonesia kini, gampang sekali tersinggung. Perasaannya menjadi oversensitif.

Mereka kini banyak sekali yang cepat tersinggung hanya oleh pertanyaan "Kapan nikah?", "Kapan nyusul (nikah)?", "Kapan wisuda?" dan pertanyaan-pertanyaan basa-basi lainnya.

Oleh mereka, pertanyaan-pertanyaan semacam itu, dianggap sebagai pertanyaan yang penuh rasa kepo, mengintimidasi, dan tidak pantas dilontarkan.

Benarkah demikian?

Menurut saya sih tidak sepenuhnya begitu. Tapi sebelum kita berbicara lebih jauh, agaknya perlu saya sampaikan mengapa hal itu bisa terjadi.

Ketersinggungan orang Indonesia dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, menurut saya, merupakan bagian dari meningkatnya individualitas orang Indonesia; surutnya kekomunalitasan orang Indonesia. Dalam masyarakat yang individualistis, rencana menikah, rencana punya anak, rencana menyelesaikan kuliah, masuk ke ranah privat, sehingga orang lain tidak berhak menanyakannya karena dianggap mengganggu. Berbeda dengan masyarakat komunal macam di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, pada dasarnya hanya berfungsi sebagai pemelihara hubungan sosial dan ucapan sopan santun semata. Berikut saya berikan dua contohnya.

"Mari makan." kalimat ini sering diucapkan oleh orang yang sedang makan. Bernada mengajak, tapi sebenarnya hanya basa-basi. Dan inilah jawaban yang juga diucapkan, "Terima kasih, saya sudah makan." Meski belum makan pun, biasanya orang akan tetap mengatakan itu sebagai bentuk ucapan sopan santun.

"Mau ke mana?" Pertanyaan itu sering kita dapatkan ketika kita lewat atau bertemu dengan seseorang. Meski mereka sudah tahu kita akan berangkat bekerja misalnya, mereka akan tetap bertanya seperti itu atau bertanya "Kerja mas?".  

Bukankah begitu? Sekarang coba bayangkan, jika kalimat-kalimat semacam itu tidak lagi ada. Oh, betapa garingnya intereksi sosial kita.
 
***

Saya baru saja membaca tesis Sailal Arimi (mahasiswa Prodi Humaniora Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada yang lulus pada tahun 1998) yang berjudul Basa-basi Masyarakat Bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya, Arimi mengupas etnografi basa-basi yang pada mayarakat Indonesia dan jenis-jenis basa-basi pada bahasa Indonesia.

Secara etnografi basa-basi berfungsi sebagai bagian dari percakapan rutin, tegur sapa, sopan santun dan ramah tamah, penjalin solidaritas dan harmonisasi.

Sedangkan jika dilihat berdasarkan maksudnya, Arimi membagi menjadi 24 yaitu: salam, perkenalan, sapaaan, konsratulasi, pengharapan, ajakan, tawaran, himbauan, larangan, rejeksi, persetujuan, penerimaaan, pemakluman, janji, pujian, penilaian, perendahan hati, simpati, perhatian, pengingatan kembali, apologi, persilahan, terimakasih, dan berpamitan.

Jadi, sebenarnya pertanyaan-pertanyaan yang oleh manusia Indonesia zaman kiwari itu merupakan bagian dari ke-24 maksud dari basa-basi. Pertanyaan-pertanyaan itu, bisa jadi hanya sebagai pengharapan, ajakan, imbauan, pengingatan kembali, atau malah mengandung tawaran.

Nah loh, ternyata malah ada peluang kan?

Tapi peluang itu tidak akan mampu dibaca oleh orang-orang yang sudah gondok duluan. Haha

Selow aja, makanya! Dan kalau dapat pertanyaan seperti itu, jawab dengan santai saja...

Ini saya kasih contohnya.

"Wah, belum tahu e. Belum ada pasangannya."

Siapa tahu kan, terus ditanya. "Sama ponakanku, mau nggak?"

Atau kalau pertanyaannya seputar wisuda, jawab saja begini,

"Wah belum tahu nih, dosennya susah ditemuin."

Siapa tahu terus ada bantuan dari si penanya, ya kan? "Siapa dosen pembimbingmu? Nanti saya bantu."

Kalau nggak ada gimana?

Ya nggak gimana-gimana. Namanya juga basa-basi. Nggak rugi juga kan mengutarakan kejujuran. 

"Gitu saja kok repot!" ejek Gus Dur dari dalam kubur.



Please write your comments