Pentingnya Perencanaan Pernikahan - Jurnal Darul Azis

Pentingnya Perencanaan Pernikahan

Pentingnya Perencanaan Pernikahan

Pentingnya Perencanaan Pernikahan/Azastranesia

Inspirasi postingan kali ini adalah  peristiwa yang baru saja saya alami. Saya terjebak kemacetan selama berjam-jam di Yogyakarta. Memang, perjalanan Sabtu malam di kota ini lumayan menguras kesabaran, lalu lintas kendaraan sangat padat, merayap dan menuntut ketelitian. Tapi belakangan ini di Yogyakarta juga terindikasi menjadi kota dengan tingkat kemacetan yang tinggi, di hari-hari biasa untuk menempuh perjalanan kurang lebih 5 km, memerlukan waktu yang sangat lama karena begitu padatnya lalu lintas kendaraan.

Inspirasi saya yang pertama semakin terstimulus oleh sebuah tayangan televisi swasta yang mengekspos kasus Rusunawa, perkampungan kumuh di tepian kota, bayi kurang gizi, mayat bayi ditemukan di tong sampah, perkampungan kumuh di pinggir sungai, banjir dan kasus-kasus lainnya. Intinya, dalam tayangan tersebut menggambarkan sisi lain Indonesia yang sangat memprihatinkan. Sungguh ironi kondisi kependudukan di negeri kita, tepat pada 11 Juli tahun ini, kita memperingati hari Kependudukan Dunia. Saya rasa inilah momentum tepat untuk kita bersama-sama memperbaiki kondisi kependudukan di negara kita, salah satunya dengan mengekspos tulisan di blog sederhana ini.

Setelah memeras otak atas dua inspirasi tersebut di atas, maka saya menarik kesimpulan bahwa secara garis besar permasalahan-permasalahan di atas merupakan implikasi atas permasalahan kependudukan di Indonesia.Tentu ide ini sangat relevan menurut saya. Bagaimana tidak,  saat ini laju pertumbuhan penduduk masih sangat tinggi, sedangkan kesiapan pemerintah maupun masyarakat sendiri masih sangat minim. Sebuah contoh, seorang dengan umur belasan tahun sudah menikah (karena berbagai sebab), sedangkan kesiapan orang tersebut masih sangat minim, terutama pada pengetahuan berkeluarga, penghasilan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Dalam pernikahan tersebut, kebanyakan di antara mereka langsung menghasilkan keturunan dalam waktu yang relatif singkat, inilah salah satu fenomena umum di tengah-tengah kita. Pernikahan dini dan tanpa perencanaan yang matang membuat keberlangsungan keluarga terancam serta menambah angka laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi.

Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tentu akan berpengaruh langsung pada kepadatan aktivitas masyarakat. Di negara kita, tingginya angka pertumbuhan penduduk ini tidak diikuti dengan kesiapan yang memadai, misalnya lapangan pekerjaan, transportasi, dan akses pelayanan umum. Di sini muncul masalah baru lagi, yakni pengangguran, kemacetan, dan rendahnya kualitas hidup sehat seseorang, serta rendahnya minat serta kemampuan masyarakat terhadap pendidikan.

Banyak anak banyak rezeki, saya rasa istilah tersebut tidak lagi relevan untuk kehidupan zaman sekarang. Arus global yang kian deras, menyulut api persaingan yang sangat panas, persaingan-persaingan tersebut akhirnya akan menyingkirkan kelompok lemah dan mendominasikan kelompok-kelompok kuat. Jika hal itu dibiarkan, bisa jadi kehidupan manusia ini sama persis dengan kehidupan di hutan belantara dong, siap kuat dia berkuasa, siapa mampu dia berjaya. Namun dalam beberapa tahun terakhir perkawinan dan kehamilan remaja masih menjadi masalah serius dan menjadi perhatian dunia, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal inilah yang kemudian melatarbelangi Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) menetapkan tema “Kehamilan Remaja“  pada peringatan Hari Kependudukan Dunia tahun ini.
Dari tema yang telah ditetapkan oleh UNFPA tahun ini, kita bisa menganalisa bahwa sebenarnya kasus perkawinan dan kehamilan remaja merupakan suatu permasalahan pelik  dan memerlukan penyelesaian yang serius. Mengapa? Karena perkawinan dan kehamilan remaja secara medis beresiko lebih besar terhadap keselamatan bayi maupun ibu, di sini ada dua kemungkinan buruk yang mengancam yakni kematian ibu ataupun anak dan angka kelahiran cacat yang tinggi, berarti dalam kasus ini ada isu HAM yang tertera. Selain itu, perkawinan dan kehamilan remaja juga berpeluang terhadap semakin banyaknya keturunan yang dihasilkan karena rentang waktunya yang begitu panjang.    Dalam hal pendidikan, fenomena umum yang bisa kita lihat adalah semakin perkawinan dan kehamilan dilakukan diusia dini, maka kesempatan menempuh pendidikan yang lebih tinggi juga semakin terbatas.

Angka Putus Sekolah
Angka putus sekolah untuk berbagai jenjang pendidikan di Indonesia masih sangat tinggi, untuk jenjang SMP melebihi angka 200 ribu siswa, dan sebanyak 500.000 tamatan SD dan MI tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Ada keterkaitan khusus antara tingginya angka putus sekolah dengan perkawinan dan kehamilan remaja. Mungkin selama ini banyak diantara kita yang menyangka bahwa kehamilan di luar nikah dan perkawinan di usia dini menjadi penyebab tingginya angka putus sekolah. Perkiraan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena hal tersebut dapat lebih dirasionalisasikan bahwa sebenarnya angka putus sekolah yang tinggi itulah yang menyebabkan perkawinan dan kehamilan remaja di usia dini. Kita bisa melihat fenomena nyata yang dapat dengan mudah ditemukan, setelah drop out dari sekolah banyak remaja Indonesia yang mengalami masa perkawinan dan kehamilan lebih cepat.

Data BPS tahun 2010 tentang umur perkawinan pertama di Indonesia menunjukkan fakta yang sangat mengejutkan.  Sebanyak 12 persen perempuan Indonesia ternyata sudah/pernah menikah di usia 10 hingga 15 tahun. Sedagkan pernikahan di usia 16-18 tahun sebanyak 32 persen. Jika digabungkan, hampir 50 persen perempuan di Indonesia sudah/pernah menikah di usia dibawah 20 tahun. Dari sinilah berimplikasi pada tingginya angka perkawinan, kehamilan dan kematian ibu dan bayi pada perempuan Indonesia di usia remaja. Sangat miris.

Lalu langkah apa yang bisa ditempuh?

1.  Pendidikan Berkeluarga Usia Dini (PBUD)

Langkah ini saya tempatkan pada urutan pertama, karena inilah proses awal munculnya berbagai permasalahan kependudukan di Indonesia. Selama ini yang selalu digaungkan dengan keras baru sebatas pendidikan sex usia dini, pendidikan kependudukan, sosialisasi Keluarga Berencana (KB), pencatatan sipil, dan masalah-masalah skunder di masyarakat. Kita semua lupa bahwa didalam sebuah negara terdapat unsur terkecil yang akan memperkuat negara tersebut, yakni keluarga. Permasalahan yang dihadapi negara terlebih dulu akan dihadapi oleh keluarga, sehingga kondisi umum keluarga itulah yang akan menjadi permasalahan negara. Bukankah negara yang kuat itu ditopang oleh keluarga-keluarga yang sehat, cerdas serta teratur?

Namun permasalahannya, tidak banyak yang mengetahui bagaimana membina rumah tangga yang baik, karena selama ini memang tidak ada pendidikan berkeluarga yang disosialisasikan baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga. Padahal, pendidikan berkeluarga ini sangat penting adanya, apalagi jika dilakukan pada masa-masa remaja dan usia dewasa menjelang usia ideal pernikahan, dapat mematangkan perencanaan berkeluarga bagi setiap generasi. Pendidikan berkeluarga mengarahkan kepada generasi untuk tidak hanya mengikuti program KB, menikah di usia ideal, dan mengatur jangka kelahiran anak, tapi meliputi perencanaan pernikahan, mengatur rumah tangga dengan baik sesuai hukum agama dan negara, menggerakkan keluarga agar mampu lebih produktif, menguatkan posisi keluarga di tengah-tengah masyarakat serta merencanakan masa depan dengan baik.

Pendidikan seperti ini selain dapat mengurangi pernikahan usia dini -yang selama ini cenderung tanpa perencanaan yang matang- juga dapat menekan permasalahan-permasalahan keluarga dan imbasnya terhadap permasalahan negara. Pendidikan berkeluarga secara lebih luas juga memberikan pemahaman tentang bagaimana mengelola anggota keluarga dengan baik seperti mendidik anak, mengelola keuangan, menjaga keharmonisan hubungan serta pergaulan tentang sosial kemasyarakatan. PBUD ini idealnya disosialisasikan pada remaja usia 15- 20 tahun karena usia inilah yang sampai saat ini rentan terhadap perkawinan dan kehamilan di usia remaja. Jika PBUD ini diterapkan secara konsisten, berkesinambungan serta mendapatkan pengawasan yang ketat, apalagi jika obyeknya adalah generasi usia muda,  kita sudah selangkah lebih maju dalam menghadapi segala persoalan yang selama ini dihadapi oleh remaja Indonesia, generasi bangsa Indonesia.

2.      Menekan Angka Putus Sekolah

Angka putus sekolah menjadi penyebab terbesar perkawinan dan kehamilan di usia remaja, maka diperlukan identifikasi penyebab utama putus sekolah. Beberapa faktor penyebab yang dimungkinkan adalah kemiskinan, terbatasnya akses ke sekolah, kualitas sekolah yang tidak memadai, prestasi yang buruk, kesehatan, terbatasnya akses pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta minimnya pemahaman orang tua terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Dari penyebab diatas, maka perlu segera direspon dengan adanya komitmen pemerintah dalam menekan angka putus sekolah melalui kebijakan-kebijakan berbasis daerah teritorial, bukan hanya sekedar bersifat politis. Angka putus sekolah yang disebabkan oleh kemiskinan, bisa diselesaikan melalui penyediaan fasilitas pendidikan yang lebih terjangkau bagi kaum miskin, pemerataan pemberian beasiswa berprestasi oleh pemerintah daerah maupun pusat, serta menghapus segala bentuk diskriminasi pendidikan antara golongan kaya dan miskin.

Di beberapa daerah tertinggal, sering kita dengan siswa-siswi harus menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer untuk menuju sekolahnya, ini perlu segera direspon oleh ekspansi fasilitas pendidikan baik formal maupun non formal, misalnya boarding house, homeschooling, kursus, pelatihan dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Di era reformasi dan otonomi ini, kita juga seringkali dihadapkan pada kenyataan pada buruknya kondisi sekolah-sekolah di Indonesia. Hal ini juga memicu angka putus sekolah, sehingga perbaikan kualitas sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius misalnya dengan mengalihkan anggaran subsidi BBM yang dalam beberapa waktu lalu dicabut pada perbaikan kualitas sekolah-sekolah terutama di daerah tertinggal, hal ini tentu juga harus melibatkan pemerintah daerah sebagai penanggungjawab permasalahan di daerahnya.

Permasalahan kesehatan juga menjadi pemicu besar angka putus sekolah, dari sini pemerintah perlu mengoptimalkan program-program yang berorientasi pada peningkatan kualitas kesehatan rakyat Indonesia, terutama anak-anak usia sekolah. Disini juga diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk serta merta menjaga kondisi lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, mengkonsumsi air yang benar-benar bersih, menjaga kebersihan lingkungan, serta menerapkan pola hidup sehat secara sederhana.

Akses pendidikan yang lebih tinggi  juga menjadi penyebab utama tingginya angka putus sekolah, sehingga diperlukan pemerataan akses pendidikan tinggi di daerah-daerah terpencil. Namun seiring dengan penyelesaian permasalahan-permasalahan diatas, akses pendidikan tinggi ini akan secara perlahan akan semakin mudah didapatkan. Misalnya pendidikan semakin terjangkau oleh semua golongan,kualitas pendidikan ditingkatkan, dan pemerataan institusi pendidikan non formal maupun non formal dapat dioptimalkan


3.      Kontrol Keluarga Indonesia (KKI)

Langkah ini merupakan keberlanjutan atas pendidikan berkeluarga. Tentang bagaimana hasil dari pendidikan keluarga yang telah dilakukan, maka pemerintah dan masyarakat juga perlu memberikan pengawasan secara konsisten terkait kondisi keluarga dari tingkat paling rendah yakni desa. Pengawasan disini tidak hanya pada satu masalah, tetapi juga berkaitan dengan bidang lainnya seperti misalnya pencatatan sipil secara update, sensus pendidikan SD, SMP,SMA sampai tingkat perguruan tinggi. Memang dalam mengatasi permasalahan rakyatnya, pemerintah perlu campur tangan lebih jauh sehingga dapat mengintervensi kehidupan berkeluarga masyarakatnya. Disinilah akan dihasilkan berbagai pertimbangan  dari segala bentuk kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Jika hal ini dilakukan, saya rasa tidak ada lagi rakyatnya yang takut membuat akta kelahiran karena harus membayar denda keterlambatan (saat ini denda tersebut telah dihapus oleh MK), tidak ada lagi anak-anak yang kehilangan hak didiknya di sekolah formal, dan angka perceraian dan KDRT dapat diminimalkan.  Program KKI ini dapat diterapkan dengan mengintegrasikan program-program yang telah ada yakni Keluarga Berancana (KB), Program Keluarga Harapan (PKH), Pendidikan Berkeluarga Usia Dini (PBUD) dan program-program lainnya.


Married by Planning merupakan sebuah terobosan yang bisa diterapkan untuk mengatasi tingginya angka perkawinan dan kehamilan di usia remaja, sehingga angka kematian ibu dan bayi, bayi lahir cacat dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat menurun. Isu perkawinan dan kehamilan remaja merupakan sebuah isu pembangunan dalam arti luas, karena menyangkut pembangunan SDM di masa depan, kemiskinan, pertumbuhan penduduk, kesehatan, gender,  HAM dan faktor sosial lainnya. Jika untuk membentuk negara saja perlu sebuah perencanaan dan analisa yang matang, kenapa untuk membentuk keluarga tidak dilakukan dengan cara yang sama? Sekali lagi, bukankah sebuah negara yang kuat hanya akan ditopang oleh keluarga yang baik pula? Mari merencanakan pernikahan dengan baik, untuk menciptakan generasi yang baik. Mari merencanakan pernikahan dengan baik, untuk membentuk keluarga yang baik, untuk Indonesia yang lebih baik. Terimakasih.
Please write your comments