Akses Pendidikan Tinggi Bagi Kaum Miskin; Alternatif Cara Mengurai Diskriminasi Pendidikan di Indonesia - Jurnal Darul Azis

Akses Pendidikan Tinggi Bagi Kaum Miskin; Alternatif Cara Mengurai Diskriminasi Pendidikan di Indonesia

Akses Pendidikan Tinggi Bagi Kaum Miskin; Alternatif Cara Mengurai Diskriminasi Pendidikan di Indonesia


Kendati usia kemerdekaan bangsa ini hendak memasuki tahun ke70, sistem demokrasi kita diapresiasi dunia serta otonomi daerah telah dilaksanakan sejak tahun 14 tahun lalu,  namun pada kenyataanya kondisi bangsa ini masih jauh dari cita-cita nasional sebagaimana telah dirumuskan oleh pendiri bangsa dan termuat dalam naskah pembukaan UUD 1945.

Padahal sejatinya kemerdekaan, demokrasi,dan otonomi daerah merupakan sebuah upaya untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Beriringan dengan hal tersebut kondisi bangsa justru kian terpuruk, angka kemiskinan masih sangat tinggi, lebih dari 30 juta rakyat Indonesia hidup dalam garis kemiskinan, sementara kebijakan pemerintah justru seringkali bertentangan dengan kehendak rakyat dan semakin menyudutkan nasib kaum miskin.

Di lain kondisi, pejabat pemerintah semakin menyibukkan diri mengamankan harta hasil korupsinya dengan aksi pencucian uang (money laundry), mengembalikan modal kampanye,  berkelit dari jeratan hukum, serta memperluas jaringan untuk mengeruk uang negara. Pada akhirnya,  rakyat kecillah yang selanjutnya menjadi korban.

Secara komprehensif kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan  taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, fisik, dalam kelompok tersebut. (Sukamto 1982 :320).
"Kemiskinan merupakan sebab salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakat di bidang ekonomi. Kepincangan ini akan menjalar pada berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya, seperti kemiskinan struktural, kemiskinan wilayah, serta kemiskinan intelektual sebagai dampak terbesarnya."
Lebih lanjut Sukamto mengungkapkan kemiskinan merupakan problem sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, artinya segala permasalahan yang menyangkut sumber daya alam dan sumber daya manusia merupakan awal dan akhir dari kemiskinan.

Telah menjadi kesepakatan dunia bahwa sumber daya manusia yang belum berkembang dicirikan oleh pendidikan rendah, konsumsi gizi rendah, penyediaan fasilitas pendidikan kurang, dan pelayanan prima terhadap pendidikan dan kesehatan sulit didapatkan.

Dalam pandangan lain kemiskinan juga dapat dicirikan dengan belum optimalnya keterampilan dan kemampuan yang ada (under utilization). Permasalahan sumber daya manusia juga menjadi sorotan organisasi-organisasi internasional, salah satunya adalah penerbitan berbagai hasil penelitian dunia tentang kegagalan negara dalam membangun masyarakatnya, dimaksudkan agar menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara.

Menyikapi permasalahan kemiskinan di negeri ini yang tak jua terselesaikan, ada baiknya kita mereview langkah efektif yang telah diambil pemerintahan era orde baru. Di masa tersebut keberhasilan pengurangan kemiskinan dahulu didukung  oleh tiga faktor utama. Pertama program padat karya yang meluas dan berkelanjutan.

Kedua, kaum miskin diikutsertakan dalam pertumbuhan melalui perbaikan mendasar pada bidang pendidikan, kesehatan, investasi dan infrastruktur. Ketiga, pertumbuhan penduduk dapat berjalan stabil (H.S. Dillon dalam Nitisastro 2010).

Oleh sebab itu untuk memulai langkah tersebut, perlu juga didukung dengan komitmen nasional mengurangi jumlah penduduk miskin, agar segala langkah dan strategi yang dicanangkan tidak sia-sia, karena ternyata dalam perjalanannya kita semua menyerah ketika menuai sedikit masalah.

Dalam berbagai isu, rakyat Indonesia sering kali mengeluhkan pengelolaan sumber daya alam yang belum optimal dan dikuasai oleh kelompok tertentu bahkan asing, sedangkan kondisi masyarakat lokal justru semakin jauh dari hasil kekayaan alam di daerahnya.

Salah satu penyebabnya adalah kualitas SDM Indonesia yang belum mampu menjadi aktor utama pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah tersebut. Meskipun di luar itu, tak bisa pula dikesampingan permasalahan politisasi kekayaan alam yang juga marak di Indonesia, khususnya di daerah-daerah.

Harus kita akui, sejak otonomi daerah digulirkan eksploitasi sumber daya alam seolah menjadi bumbu utama pemekaran daerah, sedangkan nasib rakyat tak jauh berbeda dengan masa sentralisasi. Penerapan desentralisasi di Indonesia justru kerap diwarnai oleh kesewenang-wenangan mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan elit.

Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia adalah negara paling beruntung. Kekayaan alam yang lengkap mulai dari minyak, gas, hingga mineral dan batu bara. Keseluruhan potensi alam tersebut selain menghasilkan banyak devisa, juga dapat membawa efek bergulir yang akan menggerakkan roda perekonomian nasional dan semakin mendekatkan bangsa ini pada kesejahteraan nasional.

Peneliti dari Harvard Kennedy School, Jonathan Pincus berpendapat bahwa Indonesia gagal memanfaatkan peluang yang terbuka dari globalisasi, bagaimana tidak, saat ini komoditas ekspor Indonesia justru didominasi oleh bahan mentah dan setengah jadi, sehingga kontribusi Indonesia terhadap dunia barulah sebagai pemasok bahan mentah, bukan pemasok barang jadi bagi masyarakat internasional seperti yang telah dilakukan Cina, India, Singapura dan Amerika.

Indonesia dan Tantangan Global

Masalah terbatasnya akses pendidikan dan kemiskinan pada dasarnya menyangkut dua kebijakan dasar yakni kebijakan tentang pendidikan dan tentang tata kelola ekonomi. Kebijakan terkait pendidikan, berarti perlunya upaya konsisten untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas SDM di Indonesia. Anggaran pendidikan sebanyak 20 % dari dana APBN ternyata masih belum mampu memfasilitasi pendidikan di Indonesia, sehingga peran daerah dituntut lebih besar dalam membangun kualitas pendidikan didaerahnya masing-masing.

Sedangkan kebijakan tata kelola perekonomian berkaitan dengan sejauh mana perhatian pemerintah terhadap sendi dasar perekonomian di Indonesia misalnya pertanian, UMKM, perindustrian dan lain sebagainya. Kemajuan sektor strategis bagi sumber penghasilan masyarakat ini secara rasional akan turut membantu peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang, karena sampai saat ini kesenjangan pendidikan merupakan buntut atas kesenjangan perekonomian masyarakat.


Dengan pengelolaan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia secara optimal, idealnya pembangunan perekonomian dapat dipercepat, terlebih lagi jika masyarakat mampu menjadi pemeran utama dalam pengelolaan kekayaan alam tersebut, bukan hanya menjadi kuli atau buruh di negerinya sendiri. Namun apakah hanya ketidakmampuan masyarakat yang dibutuhkan, bukankah selama ini tidak sedikit anak bangsa yang berkarya untuk kepentingan masyarakat?

Bagaimana dengan political will pemerintah terhadap pembangunan kualitas SDM serta nasionalisasi SDA di Indonesia? Padahal  percepatan pembangunan di Indonesia haruslah diawali dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia agar menjadi masyarakat yang tangguh, berpengetahuan luas dan mandiri. Luasnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat inilah yang akan mempengaruhi kreatifitas dan inovasi ke arah pembangunan.

Sampai saat ini kesempatan memperoleh pendidikan sampai jenjang yang tinggi masih sangat terbatas, padahal instrumen terkuat bagi rakyat miskin untuk mengangkat derajat serta harkat dan martabatnya adalah pendidikan. Pendidikan tinggi akan menghilangkan ketergantungan rakyat terhadap pemerintah, melalui pendidikan yang merata, terarah dan berkelanjutan bangsa ini akan menjadi bangsa yang mandiri karena rakyatnya berdaya dalam menghadapi persaingan, globalisasi, pasar bebas serta tantang global lainnya.

Diskriminasi Pendidikan Mengancam Nasionalisme  

Dengan disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004, dan terakhir adalah UU Nomor 12 tahun 2008 yang kesemuanya mengatur tentang Pemerintahan Daerah, maka sejak saat itu kewenangan Pemerintah Daerah terbuka lebih lebar  untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri serta pelaksanaannya tetap merujuk pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan, partisipasi masyarakat dan potensi daerah.

Otonomi daerah pada dasarnya berorientasi pada percepatan pembangunan oleh pemerintah pusat dengan cara mendistribusikan kewenangannya kepada pemerintah daerah, hal ini dimaksudkan agar agenda pembangunan lebih tepat sasaran serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Otonomi daerah mencita-citakan kesejahteraan dan keadilan sosial dapat semakin dekat dengan rakyat melalui sentuhan-sentuhan kearifan lokal.

Selama hampir 15 tahun pelaksanaan otonomi daerah, dalam berbagai evaluasi ilmiah justru semakin jauh dengan tujuan awalnya. Kekayaan alam daerah dikuras habis-habisan, perambahan hutan semakin meluas, transaksi politik pemerintah daerah dengan pemodal semakin tak terkendali, biaya pilkada mahal sehingga semakin memperluas ruang korupsi di tingkat daerah.

Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran dan buruknya pelayanan publik di Indonesia. Serta semakin terbatasnya kesempatan masyarakat terhadap akses kebutuhan dasarnya sebagai manusia, yakni pendidikan, kehidupan yang layak dan kesehatan.

Otonomi daerah yang seyogyanya semakin mendekatkan pembangunan dan kesejahteraan dengan rakyat, justru menjadikan rakyat semakin sengsara dibuatnya. Dalam berbagai kasus, ternyata kesiapan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sangatlah minim, pengesahan rancangan undang-undang di tingkat legislatif pun sarat dengan transaksi-transaksi politik sehingga pelaksanaan pemerintahan daerah terkesan asal-asalan dan otonomi daerah hanya dijadikan ladang bagi para elit untuk memperkaya diri.

Otonomi daerah seharusnya mampu mendekatkan rakyat dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya, pendidikan, kesehatan dan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Awal tahun lalu, negeri ini diributkan dengan kasus penghapusan RSBI karena dinilai sebagai bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan. Meski RSBI telah dihapuskan di Indonesia, namun hak mendapatkan pendidikan yang berkualitas masih terhambat di jenjang yang lebih tinggi, yakni di perguruan tinggi. Akses pendidikan tinggi bagi rakat miskin masih sangat terbatas, terutama yang berada didaerah terpencil.

Secara umum diskriminasi diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk membedakan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis, kelompok, golongan, status, kelas sosial ekonomi,jenis kelamin, kondisi fisik tubuh,  usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, serta batas negara dan kebangsaan. Kasus di Indonesia, diskriminasi pendidikan yang terjadi menyangkut kelas sosial ekonomi dan teritorial, yakni semakin tingginya perbedaan kesempatan menempuh pendidikan tinggi antara rakyat miskin dan masyarakat borjuis, antara daerah maju dan daerah terpencil.

Pasal 28 I Ayat 2 UUD 1945 telah menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Sementara pasal 3 UU No 30 Th. 1999 tentang HAM telah menegaskan bahwa ......setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat.
"Di negara dengan sistem demokrasi terbaik ini seharusnya diskriminasi sudah tidak ada lagi. Kesetaraan dalam bidang hukum, kesederajatan dalam perlakuan adalah salah satu wujud ideal dalam kehidupan negara yang demokratis. Akan tetapi berbagai penelitian dan pengkajian menunjukkan bahwa kondisi di Indonesia saat ini belum mencerminkan penerapan asas persamaan di muka hukum secara utuh" (Setiady dalam  Sudiran, 2010).

Harus menjadi kesadaran nasional sebagai salah satu negara berkembang, pendidikan masih menjadi instrumen penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Sebagai media pembangunan SDM, pendidikan harus menjadi prioritas kemauan politik (politicall will priority) agar keberhasilan pembangunan dapat berjalan seiring dengan keberhasilan pembangunan SDM.

Dalam berbagai pendapat pembangunan SDM belum bisa dikatakan berhasil jika ternyata jumlah masyarakat terdidiknya masih rendah serta akses pendidikan tidak merata bagi seluruh masyarakat. Pada tahun 2013 ini UNDP menempatkan  posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada posisi ke 121 di dunia, angka tersebut masih jauh di bawah angka rata-rata negara dengan nilai IPM menengah. 
Di Indonesia, sebagai salah satu contoh paling mencolok adalah kesenjangan harapan pendidikan yang terjadi di Papua. Angka harapan pendidikan di daerah yang kaya akan tambang emas ini masih jauh tertinggal dengan daerah-daerah lain.

Jika permasalahan kesenjangan ini tidak segera diselesaikan  dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan NKRI karena negara dianggap tidak mampu mewujudkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Gejolak yang terjadi di Papua dan Aceh seharusnya dijadikan sebagai titik refleksi bahwa nilai-nilai keadilan sosial  masih belum dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia juga dikhawatirkan akan melunturkan jiwa nasionalisme, kemanusiaan dan pengabdian generasi muda. Nilai-nilai pengorbanan dan kemanusiaan akan semakin jauh dari karakter bangsa Indonesia karena selama menjalani proses pendidikan selalu identik dengan perilaku kapitalis.

Padahal menurut M Baiquni dan Susilowardani dalam bukunya “Pembangunan yang tidak berkelanjutan” pendidikan merupakan kunci bagi pengembangan sumber daya manusia. Wilayah yang maju pada umumnya ditandai dengan tingkat melek huruf yang tinggi dan kesadaran akan pendidikan sebagai upaya transformasi yang dapat mempengaruhi perkembangan berikutnya di segala bidang

Otonomi Daerah dan Keberpihakan   

Dalam UU No 22 tahun 1999 partisipasi masyarakat dibagi dalam dua hal yakni masuknya anggota masyarakat sebagai Elected Member dari DPRD dan Kepala Daerah serta desentralisasi kepada unit yang lebih rendah yakni desa sebagai bentuk dari decentralization within cities. Selanjutnya UU No 32 tahun 2004 lebih memperkuat partisipasi publik ini dengan mengatur pemilihan Kepala daerah secara langsung oleh masyatakat. Dampaknya dapat kita rasakan sekarang yakni DPRD hanya sebagai kepanjangan tangan partainya, bukan konstituennya. (Muluk, 2006 :152).

Sampai saat ini perlu dievaluasi ulang penghapusan sistem perwakilan kursi parlemen yang pernah terjadi dimasa Orde Baru. Penghapusan sistem perwakilan ini serta merta dihapuskan sebenarnya karena masalah atas dwi fungsi ABRI, namun sayangnya sistem perwakilan lainnya juga ikut dihilangkan, seperti perwakilan petani, perwakilan nelayan, perwakilan wartawan, perwakilan pendidik, budayawan dan lain sebagainya.

Padahal wakil-wakil tersebutlah yang benar-benar mengetahui seluk beluk permasalahan berikut alternatif solusinya. Ironinya lagi, sistem perwakilan daerah yang dalam hal ini diwakili oleh DPD tetap terlahir dari partai politik, sehingga DPD tetaplah mengusung aspirasi partai bukan aspirasi daerah.

Kita tidak menafikkan jika kemudian pendapat tersebut terbantahkan oleh fungsi partai politik sebagai media penyampaian hak-hak dan aspirasi rakyat, namun kenyataan yang terjadi sekarang adalah antara aspirasi rakyat dan kepentingan elit partai politik semakin jauh adanya. Bahkan disinyalir wakil rakyat saat ini lebih mengutamakan kepentingan parpol dibandingkan kepentingan rakyat. Maka patutlah jika kemudian partai politik di Indonesia kehilangan elektabilitasnya. Lalu kemanakah suara rakyat akan dibawa, terutama nasib pendidikan di masa mendatang?

Menjawab pertanyaan di atas, maka keberpihakan terhadap pendidikan nasional adalah salah satu solusinya. Di tingkat nasional dibutuhkan komitmen politik yang mencakup alokasi anggaran yang memadai di APBN, begitupun di daerah pengalokasian anggaran pendidikan dalam APBD perlu dijadikan kontrak politik dalam satu masa kepemimpinan. Komitmen politik atau keberpihakan menjadi kata kunci jika pemerintah dan masyarakat (diwakili oleh DPR/DPRD) berkomitmen meningkatkan kualitas SDM. Keberpihakan ini tidak hanya sebatas jargon dan program, lebih dari itu yang menjadi hal terpenting adalah kebijakan dan implementasinya.

Pendidikan Tinggi Untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa


Sesuai amanat UUD 1945 pemerintah bertanggungjawab penuh untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagai media mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada akhirnya sistem pendidikan nasional inilah yang akan menjadi penentu masa depan. Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pemberdayaan dan pembudayaan kebangsaan, oleh karena itu kualitas dan akses mendapatkan pendidikan tinggi  menjadi sangat penting karena menyangkut kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. 
Daya saing bangsa Indonesia di kancah internasional baik untuk saat ini maupun untuk masa depan juga ditentukan oleh bagaimana sistem pendidikan nasional, sebagai media peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Sebagai level pendidikan tertinggi dalam proses pendidikan di Indonesia, pendidikan tinggi menjadi titik sentral dalam pembangunan sumber daya manusia. Hal ini dilandasi oleh adanya fokus transformasi nilai-nilai kebangsaan dan karakter keilmuan yang selaras dengan ideologi bangsa ini. Dalam pendidikan tinggi out put yang dihasilkan diorientasikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan sebagai keberlanjutan proses  mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni, bagi kemajuan, kemandirian, dan  meningkatkan daya saing bangsa.

Disahkannya UU Nomor 12 Tahun 12 tentang Pendidikan Tinggi setidaknya telah memberikan angin segar bagi rakyat Indonesia, khususnya bagi masyarakat kurang mampu. Undang-undang ini mengamanatkan kepada seluruh penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia agar tidak berlaku diskriminatif dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, memahami multikulturalisme serta menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

Selain itu UU Pendidikan Tinggi juga berprinsip keberpihakan pada kelompok kurang mampu secara ekonomi dan melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam rangka peningkatan mutu layanan pendidikan tinggi.

Selanjutnya, pendidikan tinggi saat ini juga didukung oleh konsep budaya akademik yang dilakukan melalui interaksi sosial tanpa membedakan ras, suku, agama, golongan, kedudukan sosial ekonomi maupun aliran politik.  Secara sosio-psikologis, Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini telah membukakan pintu ke arah sistem pendidikan yang humanis, merata dan berkeadilan. Permasalahannya saat ini sebenarnya bukan lagi pada sistemnya, melainkan pada implementasinya, karena disitulah akan jelas terlihat bagaimana komitmen bangsa ini terhadap dunia pendidikan, komitmen bangsa ini untuk mengangkat martabatnya.

PENUTUP

Optimalisasi kearifan lokal


Tanggungjawab pembangunan suatu negara idealnya memang tidak hanya dipikul pemerintah sebagai penyelenggara negara, melainkan diperlukan juga partisipasi aktif masyarakat dan swasta. Keberhasilan Indonesia dalam bertoleransi meski hidup berbeda-beda suku, agama dan ras,  gotong royong, serta memiliki ideologi nasional yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dapat dijadikan modal dalam kerangka pembangunan nasional. Suatu prestasi tersendiri bagi Indonesia dapat mempersatukan keberagaman yang ada didalamnya, meskipun kita tidak pernah menutup mata terhadap konflik dengan berbagai latarbelakang masalah belakangan ini. Setidaknya Indonesia memiliki power lebih dibandingkan dengan negara-negara di dunia dalam hal penyatuan keberagaman.

Sejarah nasional telah membawa dampak besar bagi negeri ini, pesan sejarah mampu ditransformasikan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi.  Pada awalnya para pendiri bangsa memang menyadari perbedaan yang ada, tingginya kesadaran tentang perlunya bangkit menjadi manusia yang merdeka memunculkan sebuah konsensus ke-Indonesia-an sebagai langkah awal mencapai kemerdekaan. Sampai sekarang, nilai-nilai sejarah itulah yang menjadikan bangsa ini tetap bersatu dan hidup rukun, maka tak berlebihan jika ideologi kita dipuji oleh dunia karena keberhasilannya menyatukan perbedaan. Selama sejarah persatuan tidak terhapus dari pikiran rakyat Indonesia, maka mustahil bangsa ini akan terpecah-pecah.

Jika dipahami benar-benar peran dan fungsinya, Bhienika Tunggal Ika dan Pancasila adalah mutiara mahal bangsa ini sebagai salah satu upaya mengatasi keragaman sosiokultural di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, gerak generasi muda dalam menyuarakan persatuan juga semakin kentara terlebih lagi di daerah-daerah. Inilah angin segar bagi masa depan bangsa Indonesia, semakin ramainya suara persatuan dalam menjemput masa depan berarti semakin memperkokoh kaki-kaki negara di setiap daerah, menambah kekuatan lokal untuk menghadapi arus global.

Antusias generasi muda ini perlu terus dijaga dan dipelihara konsistensinya agar terhindar dari faham-faham diluar Pancasila. Semangat generasi muda terhadap suara persatuan tersebut  merupakan bukti nyata kesadaran menjadi bangsa yang maju semakin meningkat, nilai-nilai sejarah masih tertanam kuat serta nasionalisme tak pernah luntur di benak mereka. Selain itu aksi toleransi kehidupan juga semakin terlihat lebih nyata, membuat rasa kebersamaan/gotong royong terus tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu adalah lebih tepat bagi Indonesia agar memosisikan rakyat sebagai pelaku utama penanggulangan kemiskinan dibawah naungan pemerintahan daerah yakni dengan memaksimalkan partisipasi pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Hal ini akan mendorong terwujudnya manusia Indonesia yang mandiri. Selain itu kebijakan yang disusun pemerintah hendaknya ditentukan oleh komposisi kebutuhan dan kemampuan rakyat, semuanya bermuara pada pemulihan harkat dan martabat seluruh rayat. Disinilah inti sebenarnya otonomi daerah, yakni semakin mendekatkan kesejahteraan dan keadilan sosial dengan masyarakat di daerah.
Satu Konsensus

Keberhasilan para pejuang mendirikan negara ini setidaknya tak lepas dari dua hal, yakni rasa senasib sepenanggungan (terjajah) dan kesatuan visi (merdeka) secara menyeluruh di wilayah Indonesia. Kedua hal inilah yang pada akhirnya mempersatukan bangsa ini meski dengan kondisi bermacam-macam pulau, suku, ras dan agama.

Mengingat begitu kuatnya bangsa ini ketika bersatu, namun mengapa saat ini ketika kemerdekaan sudah berhasil direbut bangsa ini justru lemah menghadapi persoalan-persoalan yang ada, ketidak adilan hukum, ketimpangan sosial, penindasan, kemiskinan teritorial, korupsi dan seterusnya? Hal ini tak lain karena kedua rasa tersebut hilang dari benak sebagian besar rakyat Indonesia, pasca kemerdekaan bangsa ini seolah lepas dari sangkar dan mencari  kehidupan masing-masing, padahal para pahlawan kita menghendaki persatuan dan kesatuan kita tetap utuh untuk mengisi kemerdekaan sebagai imbalan atas darah yang telah dikorbankannya.

Rasa persatuan dan kesatuan bangsa ini tak hanya dibutuhkan saat kita ingin merdeka, sampai saat ini rasa senasib sepenanggungan dan kesatuan visi perlu kembali dikobarkan, meski dalam konteks yang berbeda.

Rasa senasib sepenanggungan itu tak lain adalah bahwa negara kita sedang “bermasalah”, permasalahan itu sama-sama harus menjadi keprihatinan nasional agar menumbuhkan kesadaran nasionalis dan semangat menyelesaikannya. Sedangkan kesatuan visi yang perlu dibangun adalah mencapai cita-cita nasional secara menyeluruh di wilayah Indonesia.

Cita-cita bangsa seperti yang termuat dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila harus menjadi konsensus nasional agar semangat mewujudkan impian itu dapat dilakukan secara massif seperti halnya dulu para pahlawan kita berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan.

Permasalahan ketidak adilan dan pemenuhan hak dasar hidup masyarakat saat ini juga masih jauh dari konsensus nasional. Meski berbagi regulasi terkait penanganan kemiskinan, pemerataan akses pendidikan dan kesehatan telah digulirkan, namun diberbagai daerah hal ini masih luput dari perhatian pemerintah.

Di sinilah perlu dituntut konsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan, keterlibatan swasta dalam berkontribusi terhadap pendidikan dan antusias masyarakat dalam menempuh pendidikan sampai jenjang tertinggi. Ketika pendidikan mampu menjadi solusi permasalahan dalam kehidupan manusia terutama kemiskinan, maka secara tidak langsung bangsa ini telah mengangkat harkat dan martabat rakyatnya.

Tentu kita tak ingin bermimpi harkat dan martabat bangsa ini terangkat, sedangkan dibalik itu semua permasalahan pelik masih menjerat rakyatnya.  Karena sejatinya harkat dan martabat bangsa ini terletak pada harkat dan martabat rakyatnya.


Bacaan: 
Khairul M.R.  Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, 2006. Bayumedia : Malang
M Baiquni dan Susilowardani, Pembangnan Yang Tidak Berkelanjutan, 2002, Transmedia Global Warna : Yogyakarta,
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, 1982,  Rajawali Press: Jakarta
Sudiran Florentinus, Prof.Dr.M.Hum. M,Si., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar : 2011 , Laksbang : Yogyakarta.













Please write your comments